Sejarah Musik Dugem
Bergoyang menikmati musik disko. Sampai lupa kemarin dan esok.
CERITA ini tentang musik kaum muda. Musik yang mampu membawa mereka ke dunia lain. Dunia tanpa waktu kemarin dan esok. Dunia yang cuma punya waktu sekarang. Kaum muda menikmati musik ini sembari bergoyang di bawah lampu kelap-kelip. Sekarang mereka menyebutnya musik ajeb-ajeb atau dugem (dunia gemerlap). Tapi dulu ia bernama disko.
Semua bermula dari kerisauan generasi baby boomers di Amerika Serikat dan Eropa. Mereka lahir seusai Perang Dunia II dan tumbuh besar dengan hasrat menata ulang kehidupan secara lebih tertib. Mereka sekolah, bekerja, menikah, lalu punya anak.
Lama-lama kehidupan begitu membosankan dan melelahkan bagi baby boomers. Stres menyerang dan pikiran terkekang. Mereka butuh hiburan setelah bekerja keras. Di negeri Barat sana, “bersantai adalah produk dari kerja keras”, tulis Erwin Ramedhan dalam “Gaya Hidup Disco di Jakarta” termuat di Prisma, 6 Juni 1977.
Musik yang bisa dinikmati sembari menari adalah wahana bersantai bagi baby boomers. Tapi pilihan mereka bukan pada musik rock, jazz, swing, funk, soul, dan salsa. Pilihan mereka jatuh pada musik campur-baur. Musik anak-anak muda itu melintas kultur Afro-Amerika, Hispanik, dan Italia-Amerika. Inilah musik disko. Demikian menurut Bob Batchelor dalam American Pop Volume 3: 1960–1989.
Rock, jazz, swing, funk, soul, dan salsa sanggup menggerakkan kepala, kaki, tangan, pinggul, bokong, dan badan orang. Tapi musik-musik itu tak pernah punya tempat khusus untuk dinikmati. Sedangkan musik disko punya. Tempat itu bernama diskotek.
Diskotek berasal dari bahasa Perancis, artinya perpustakaan piringan hitam. Ia berubah total di lorong-lorong sempit kota New York pada 1960-an. Ia menjadi tempat baby boomers menikmati musik disko ala Bee Gees, Donna Summer, dan Village People. Bir dan marijuana menemani baby boomers di diskotek sejak malam hingga hampir pagi.
Diskotek berbeda dari klub malam. Mereka memang jenis hiburan malam, sama-sama buka hanya pada malam hari. Tetapi diskotek tidak menyajikan musik langsung dari band atau penyanyi, melainkan lewat piringan hitam.
Aturan di diskotek juga lebih luwes ketimbang di klub malam. Oleh sebab itu, diskotek menjadi panggung bagi siapa saja untuk menunjukkan identitas tersembunyinya: gay, lesbi, dan biseks. Orang-orang itu melepaskan beban sosialnya di masyarakat melalui musik disko.
Mereka menggerakkan tubuh mengikuti lagu-lagu disko yang bermuatan sensualisme dan kebebasan bercinta. Musik disko menjadi pemersatu. Begitu gambaran Alan Jones dan Jussi Kantonen dalam Saturday Night Fever: The Story of Disco tentang pengaruh musik disko terhadap masyarakat multikultur Amerika Serikat.
Buku karya Alan Jones dan Jussi Kantonen meminjam judul film laris pada 1977, Saturday Night Fever. Film ini bercerita tentang bagaimana gaya hidup disko menjadi obsesi laki-laki bernama Tony Manero (diperankan oleh John Travolta). Film ini punya andil dalam menyebarkan musik disko berikut gaya hidupnya ke seluruh dunia.
Musik Disko ke Indonesia
Musik disko tak perlu menunggu lama untuk tersebar ke berbagai belahan dunia. Seorang pengusaha muda bernama Ahmad Fahmy Alhady membuka diskotek pertama di Indonesia dan Asia Tenggara pada November 1970.
Tahun-tahun berikutnya diskotek lain bermunculan seperti Guwa Rama, Mini Disco, Pit Stop, Disco 369, dan Samantha Disco. Begitu catatan majalah Mas, No. 70, Agustus 1975, dalam artikel “Ajojing di Discotheque Lebih Murah Sebab No Hostess.”
Baca juga: Awal mula hostes di Jakarta
Diskotek mengumandangkan musik disko di hotel, di tepi jalan, dan di gedung bertingkat. Kaum muda berdatangan malam demi malam. Hampir mirip di negeri Barat. Bedanya, sebagian besar kaum muda Indonesia penikmat musik disko berlatar belakang kelompok ekonomi menengah. Sehingga musik disko di sini menjadi simbol satu kelas sosial.
Penikmat musik disko punya cara berpakaian, berbahasa, berhias, dan berbelanja sendiri. Lelaki muda memakai sepatu bot, celana jeans yang melebar ke bawah atau ketat, kemeja impor dari Prancis dan Italia. Kaum perempuan menggunakan pakaian terbuka dengan bagian dada terbelah.
Baca juga: Skinny jeans, punk, dan rock & roll
Penikmat disko berbahasa asing campur dengan bahasa Indonesia. Perhiasan mereka antara lain jam, kalung, medali, dan korek api mahal. Mereka membeli piringan hitam musik disko terkini supaya tidak ketinggalan bahan obrolan dengan sesama penggemar musik disko.
“Mereka yang melanggar undang-undang tidak tertulis ini akan segera menjadi bahan tertawaan atau lelucon,” tulis Erwin Ramedhan.
Harga menikmati musik disko tak terjangkau oleh kebanyakan kaum muda pas-pasan. Fahmy Alhady menyebutnya kaum tongpes (kantong kempes). Maka dia berupaya mengangkat Tanamur sebagai tempat untuk menikmati musik disko bagi kaum tongpes.
Baca juga: Tanamur, diskotek pertama dan tertua di Indonesia dan Asia Tenggara
“Gak peduli siapapun kamu. Pakai sendal jepit atau sepatu. Supir truk atau berdasi, sepanjang mau dengar musik disko, silakan ke Tanamur,” kata Vincent, mantan DJ Tanamur 1982–2005, kepada Historia. Tapi harga masuk Tanamur dan segelas bir tetap kelewat mahal bagi sebagian besar kaum muda di Jakarta. Kaum muda tongpes ini hanya bisa membayangkan musik disko dari liputan media massa seperti Midi, Varia, Mas, dan Kompas.
Menyebarkan Musik Disko
Hingga datanglah anak muda bernama Adiguna Sutowo, putra Direktur Pertamina Ibnu Sutowo, mengantar musik disko dari rumah ke rumah. Merindink Disco, begitu Adiguna menamakan diskotiknya.
Adiguna bersama dua kawannya membeli seperangkat alat disko mutakhir dari Singapura: dari lampu, sound system, sampai piringan hitam. “Peralatan yang membikin minder disko-disko lain,” tulis majalah Mas, No. 61, Juni 1975.
Adiguna menyewakan alat-alat ini kepada penikmat disko. Harga sewanya cukup tinggi. Kawula muda kaya biasanya menyewa mereka untuk merayakan pesta ulang tahun ke-17 di rumah. Teman-teman si penyewa datang ke rumah dan menikmati musik disko secara gratis. Ada juga kawula muda yang patungan untuk memanggil Merindink ke rumah. Mereka hanya butuh izin dari tetangga sekitar dan ketua RT.
Adiguna mengaku tak mengharap untung dari penyewaan peralatan disko. “Pendirian diskonya ini semata-mata hanya untuk menyalurkan hobi saja. Daripada berkeliaran yang tidak karuan,” tulis Mas.
Dari merekalah musik disko kian melekat dengan kaum muda di pelbagai kota. Merindink tidak hanya menyewakan alat disko di sekitaran Jakarta, melainkan juga ke Bogor, Bandung, Yogyakarta, dan Makassar. Lagu-lagu disko mereka selalu paling baru. Semuanya lagu Barat.
Selain oleh liputan media massa dan Merindink, musik disko tersebar pula berkat andil pemutar kaset. Harga pemutar kaset lebih murah daripada pemutar piringan hitam. Begitu pula dengan harga sebiji kaset. Tersebab inilah orang memilih beli kaset ketimbang piringan hitam. Kaset disko menjadi kaset paling laku.
Baca juga: Kaset, cerita dari gulungan pita
Saluran radio turut mengakrabkan musik disko dengan kaum muda. Saluran Prambors menjadi saluran radio paling gandrung memperdengarkan musik disko. Prambors bahkan mempunyai diskotik sendiri bernama Prambors Discotheque.
Prambors juga menggelar lomba Disc Jockey (DJ), pemutar piringan hitam di diskotek, dan mengadakan jambore penikmat musik disko antero negeri. Begitulah musik disko. Lama kelamaan tak lagi menjadi simbol status sosial kelas menengah.
Kritik untuk Musik Disko
Perluasan musik disko pada seluruh lapisan kaum muda di antero Indonesia ternyata membawa persoalan. Kaum muda di Nusa Tenggara Timur mengganti pakaian, tarian, dan bebunyian tradisional mereka dengan musik dan tarian disko. “Bunyi gong, kendang, dan tari adat terpojok ke dunia nostalgia masa lampau,” tulis Kompas, 27 Oktober 1980.
Dinas Kebudayaan DKI Jakarta menggelar lomba tari disko nasional pada awal 1980. Musik disko mengiringi setiap tarian yang dipentaskan. Mochtar Lubis, sastrawan kenamaan Indonesia, terperanjat. “Ya Allah, Mbok ya, bikin lomba ukir misalnya, lebih jelas manfaatnya,” kata Mochtar, dikutip Kompas, 25 April 1980.
Pendapat kontra juga datang dari seorang penulis bernama Firdaus Burhan. Dia menyerang musik disko habis-habisan. “Musik tanpa melodi,” tulis Firdaus. Dia mengibaratkan musik disko serupa gado-gado, sop, dan ketoprak dituang dalam satu piring. Musik tidak karuan. Pandangannya terhadap DJ pun sinis. “Tukang sadap karya komponis ulung,” sebut Firdaus.
Tapi Umar Kayam, budayawan, berupaya menenangkan. “Kita tidak perlu was-was.” Dia yakin musik disko hanya mode sesaat dan hanya dinikmati sebagian orang. Musik disko, bagi Umar Khayam, tidak punya pengaruh panjang.
Kenyataannya ternyata beda. Musik disko berumur panjang dan beranak-pinak melahirkan aneka genre musik untuk menari. Musik itu disebut electronic dance music. Alirannya macam-macam seperti house, techno, dubstep, chiptune, dan new wave.
Anak-anak musik disko ini tak lagi terkurung dalam tempat bernama diskotek. Mereka terdengar di lapangan parkir kendaraan, tepi pantai, dan tanah lapang. Mereka mengajak kaum muda bergoyang terus, melupakan hal-hal buruk yang terjadi di dunia kemarin atau nanti.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar