Sang Konglomerat dan Pelukis Rakyat
Selain sebagai pengusaha, Ciputra juga punya perhatian pada seni rupa. Kolektor lukisan Hendra Gunawan, pelukis Lekra.
Ciputra, salah satu pengusaha ternama Indonesia telah berpulang. Chairman dan pendiri Ciputra Grup itu meninggal dunia pada 27 November 2019 pukul 01.05 waktu Singapura dalam usia 88 tahun.
Ciputra lahir dengan nama Tjie Tjin Hoan di Parigi Moutong, Sulawesi Tengah, pada 24 Agustus 1931. Selain sebagai pengusaha, dia juga dikenal karena kecintaannya pada karya seni terutama seni rupa. Ia mengklaim banyak properti maupun proyek bisnisnya yang mendapat sentuhan seni.
“Di hampir semua proyek berlabel Ciputra, bisa saya pastikan ada getaran seni yang saya alirkan di antara perhitungan-perhitungan terkait bisnis,” ujarnya dalam Ciputra The Entrepreneur.
Seni telah menjadi bagian dari hidupnya. Ia merasa bahwa seni tidak dapat ditinggalkan di tengah kesibukan bisnis maupun pekerjaan lain.
“Seni juga membantu saya menajamkan intuisi. Sebetulnya saya tidak akan pernah seutuhnya jadi pebisnis murni, karena di dalam diri saya mengalir jiwa seni yang bebas,” katanya.
Baca juga: Masa Muda Ciputra
Pada pertengahan dasawarsa 1960-an, ketika berkunjung ke rumah kerabatnya di Jakarta Barat, Ciputra terpana oleh sebuah lukisan yang terpasang di dinding ruang tamu. “Mata saya tidak berkedip saat menatap lukisan itu,” ungkapnya.
Lukisan itu begitu menyihir Ciputra. Ia menyebut lukisan itu sangat atraktif, warnanya berani, dan anatomi manusianya juga begitu berkarakter. Rupanya, lukisan yang memikatnya itu adalah karya Hendra Gunawan, sang pelukis rakyat.
Sejak itu, Ciputra mulai membeli beberapa lukisan karya Hendra Gunawan. Kemudian pada satu acara seni, ia berkenalan dengan sang pelukis. Mereka berbincang soal lukisan dan dari situ pula ia merasa Hendra sangat idealis. Mereka kemudian sering bertemu dan Ciputra selalu membeli lukisan Hendra. Ia juga telah menganggap Hendra sebagai sahabatnya.
“Lukisannya dahsyat. Obyeknya kebanyakan adalah manusia, dan banyak menampilkan perempuan dalam anatomi yang khas, sensual dan hidup. Lukisannya memiliki goresan kuas dan warna yang sangat berani. Ekspresif dan hidup,” sebutnya.
Baca juga: Sang Pelukis Rakyat
Pasca tragedi 1965, hubungan Ciputra dan Hendra sempat terputus. Karena terlibat dalam Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), Hendra dipenjara rezim Orde Baru selama 13 tahun (1965-1978). Setelah bebas pada 1978, Hendra pindah ke Bali.
Pada 1983, Ciputra baru sempat mengunjungi Hendra di Bali. Ia begitu terkejut mendapati Hendra sedang terbaring sakit di rumahnya yang sederhana. Ia juga baru mengetahui bahwa di rumah itu tidak ada satupun lukisan Hendra. 30 lukisan Hendra dijadikan jaminan atas pinjaman uang di bank. Ciputra pun lalu meminjamkan uang untuk menebus lukisan-lukisan Hendra. Namun, tiga hari berselang, Hendra meninggal dunia
Untuk membantu perekonomian keluarga Hendra, Ciputra berinisiatif membawa 30 lukisan Hendra yang sebelumnya telah ditebus, untuk dipamerkan di Pasar Seni Jaya Ancol. Namun, hanya dua lukisan yang terjual. Ciputralah yang akhirnya membeli 28 lukisan lainnya.
Sejak itu jumlah lukisan Hendra yang dikoleksi Ciputra semakin banyak. “Sejumlah lukisan ada di tangan orang lain. Yang bisa saya beli akan saya beli. Saya menyimpannya dengan baik di rumah khusus, dan juga saya pamerkan di dinding rumah kami,” ungkapnya.
Baca juga: Sukarno Sang Kolektor Lukisan
Tak hanya sampai di situ, Ciputra juga mengurus izin dari keluarga Hendra agar lukisan-lukisan itu bisa diabadikan dalam bentuk patung dan lukisan yang diperbesar untuk dekorasi properti. Proyek menerjemahkan lukisan Hendra ke dalam seni patung itu dibantu oleh perupa bernama Munir.
“Saya turut memoles patung-patung karya Munir sebagai bagian dari ekspresi seni saya yang telah mengenali jiwa Hendra Gunawan,” terangnya.
Ciputra juga mengaku sangat mencintai figur-figur yang ada dalam lukisan-lukisan Hendra. “Saya seolah ingin menghidupkannya. Satu-satunya jalan, ya lewat patung. Tidak mungkin toh, menghidupkan jadi manusia?" kata Ciputra dalam majalah Gatra, 30 Desember 1996.
Namun, hal itu malah menjadi alasan pencurian lukisan Hendra Gunawan di Taman Ismail Marzuki (TIM). Saat itu Lukisan Hendra Gunawan berjudul Aku dan Karmini di Lonceng Kedua koleksi TIM hampir dicuri.
Agus Dermawan T dalam Bukit-Bukit Perhatian dari Seniman Politik, Lukisan Palsu sampai Kosmologi Bung Karno menyebut si pencuri masuk ke dalam gedung koleksi di malam hari, mencopot spanram lukisan dan menggulungnya. Usaha itu digagalkan penjaga malam, namun si pencuri telah menginjak-injak lukisan itu hingga rusak.
Menurut si pencuri, tindakan itu merupakan protes atas usaha Ciputra menggubah patung-patung berdasarkan lukisan Hendra. “Tentu saja alasan tak masuk akal ini tidak didengar orang. Walaupun akhirnya (atau anehnya) si pencuri dibebaskan,” ungkap Agus.
Ciputra dianggap terlalu obsesif dan ingin menguasai karya Hendra. Namun, ia mengaku mengoleksi lukisan Hendra karena merasa mengenal jiwa lukisan tersebut. Ia juga mendukung pandangan bahwa karya seni anak bangsa hendaknya bisa disimpan di tanah air, bukan diboyong ke luar negeri. Menurutnya, Hendra berharap orang-orang seperti Ciputra terus mengapresiasi dan melindungi karya-karya itu.
Baca juga: Memahami Sejarah lewat Lukisan
“Saya memegang harapan itu dalam bentuk komitmen, saya akan mengoleksinya dan tidak akan pernah menjualnya. Tapi saya akan memamerkannya agar masyarakat luar bisa menikmatinya,” ujarnya.
Pada saat krisis ekonomi 1998, aset-aset Ciputra banyak yang dijual. Namun, lukisan-lukisan Hendra pantang ia jual. “Bagi saya, karya seninya begitu berharga, priceless, dan tak boleh dijual hanya karena butuh uang. TIdak. Karya Hendra akan aman di pelukan saya,” katanya.
Menurutnya, sikap seperti itu merupakan tanggung jawab seorang kolektor untuk menjaga karya seni anak bangsa. Ia juga menyayangkan banyak lukisan Indonesia yang memiliki nilai sejarah berada di luar negeri.
“Saya sedih ada lukisan terbaik Hendra Gunawan yang dilelang di Hongkong dan akhirnya dimiliki oleh seorang kolektor Taiwan. Sejumlah lukisan Hendra Gunawan yang lain juga beredar di luar negeri,” sebutnya.
Baca juga: Pelukis Belia di Medan Laga
Pada 31 Agustus 2001, Ciputra meluncurkan buku khusus koleksi Hendra Gunawan. “Hendra pelukis kebanggan Indonesia. Sekaligus juga sumbangsih bagi dunia seni lukis Indonesia. Penjualan juga diperuntukan bagi pendidikan keluarga Hendra Gunawan dan juga dialokasikan untuk Institut Seni Indonesia Yogyakarta,” sebut Ciputra dalam Sisi Lain Ciputra.
Pada 2015, Ciputra membuat museum untuk lukisan-lukisan Hendra Gunawan. Ia mendirikan Ciputra Artpreneur di superblok Ciputra World. Ciputra Artpreneur merupakan arena seni yang terdiri atas ruang pameran, Ciputra Museum, Art Show, dan Ciputra Theater.
Museum khusus lukisan Hendra Gunawan sendiri memiliki 32 lukisan dan 18 sketsa karya Hendra. Sementara itu, masih terdapat puluhan karya Hendra di rumah dan properti-properti milik Ciputra.
“Kekaguman saya pada Hendra Gunawan sungguh membahana. Sekujur rumah saya dipenuhi lukisan karyanya. Juga hotel dan gedung kantor Ciputra Group,” ungkapnya.
Pada 2018, untuk mengenang 100 tahun Hendra Gunawan, Ciputra Artpreneur menggelar dua pameran. Pameran Prisoner of Hope yang juga menjadi tema baru pameran tetap menampilkan karya-karya Hendra ketika dipenjara. Sementara itu, Spektrum Hendra Gunawan merupakan tribute dari 70 seniman kontemporer untuk merefleksikan karya-karya sang pelukis rakyat.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar