Rumah Sukarno di Tanah Karo
Di salah satu lereng perbukitan yang sunyi, rumah itu masih berdiri dan menjadi saksi pembuangan Bung Karno.
BERASTAGI, Tanah Karo - SEBUAH rumah lawas berdiri di pekarangan yang cukup luas di lereng sebuah bukit, sekitar dua kilometer dari pusat kota Berastagi, Sumatra Utara. Bangunannya yang berukuran 10 x 20 meter bergaya Eropa, bercat putih, dan beatapkan seng warna merah. Di pelataran depan terdapat patung perunggu Sukarno dalam posisi duduk berukuran 7 meter.
Rumah itu terletak di Berastagi, sebuah kota kecamatan di Kabupaten Tanah Karo, Sumatra Utara, terletak sekira 70 km di selatan Medan. Hawanya sejuk karena berlokasi di deretan perbukitan. Sebuah tempat yang mungkin awalnya dianggap cocok oleh Belanda sebagai tempat pembuangan.
Hampir 62 tahun silam, tak lama setelah menggelar aksi polisionil kedua dengan menduduki ibukota Yogyakarta, Belanda menangkap dan mengasingkan sejumlah pemimpin Republik, termasuk presiden pertama RI.
Perjalanan membawa mereka terkesan mendadak dan penuh rahasia. “Jam 7 pagi tanggal 22 [Desember 1948], Kolonel Van Langen tanpa pemberitahuan terlebih dulu, memberiku kesempatan lima menit untuk mengemasi dua buah kopor kecil dan mengucapkan selamat tinggal kepada keluargaku,” ujar Sukarno dalam otobiografinya, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. Setelah persiapan singkat itu Sukarno bersama Sjahrir dan Agus Salim diberangkatkan dengan menggunakan pesawat B-25 Mitchell.
Meski pesawat sudah mengudara, tak satu orang pun, termasuk pilot, di pesawat itu tahu tujuan. “Saya sendiri pun belum tahu,” kata si penerbang sebagaimana ditirukan Sukarno dalam otobiografinya. Si penerbang baru mengetahui tujuan penerbangannya setelah membuka surat perintah yang berbungkus kulit di dalam tasnya. Namun, “dia masih belum membukakan kabar ke mana tujuan kami.” Akhirnya Sukarno pun tahu: Mohammad Hatta, Assa’at, dan Pringgodigdo diturunkan ke Pulau Bangka, sementara Sukarno, Sutan Sjahrir, dan Agus Salim ditawan di Berastagi, Sumatra Utara.
Di Berastagi mereka ditempatkan di sebuah rumah berhalaman luas sekira dua hektar yang terletak di lereng bukit. Rumah itu dibangun pada 1719 dan dulunya tempat tinggal seorang perwira Belanda. Penjagaan diperketat. Halaman rumah dipagari kawat berduri. “Enam orang pakai senapan mondar-mandir,” ujar Sukarno, terus mengawasi mereka. Belanda saat itu juga berencana mengeksekusi Sukarno.
Dengan penahanan para pemimpin Republik, Belanda merasa telah menang mutlak. Sampai akhir bulan Desember, Belanda juga sudah menguasai semua kota besar di Jawa dan Sumatra. Sayangnya, upaya Belanda malah menyinggung Dewan Keamanan PBB. Amerika Serikat, misalnya, menghentikan dana bantuan ekonomi kepada negeri Belanda.
Di rumah itu para founding fathers tinggal tidak lama, hanya sekira 12 hari, karena alasan keamanan –Tanah Karo dengan laskar rakyatnya dikenal sebagai basis perjuangan kemerdekaan. Belanda memindahkan mereka ke Prapat, di pinggir Danau Toba, tak jauh dari Berastagi, lalu memindahkan lagi ke Pulau Bangka.
Enam dekade lebih berselang, rumah pengasingan itu masih berdiri kokoh dan terawat baik. Pemugaran pernah dilakukan pada 1957 dan yang terakhir pada 2005, tapi keaslian bangunan itu masih terjaga. Kamar, dan perabot-perabot yang pernah digunakan Sukarno juga masih sama seperti dulu.
Ruang tamunya, yang terletak di depan kamar Sukarno, cukup luas. Dua patung Sukarno serta satu maket menemani satu set sofa, satu set kursi tamu tua, satu set kursi tamu modern, dan satu credensa memenuhi ruangan itu. Pada dinding kayunya terpampang dua foto founding fathers saat mereka berada di sana.
Memasuki ruang tengah, terdapat sebuah meja bundar dengan sepuluh kursi yang mengelilinginya. Beberapa foto orang terkenal, semisal AM Fatwa, yang pernah berkunjung ke situ, terpasang di dinding, menemani dua lukisan Jan Suluters dan Ivan Vrialand.
Tak jauh dari rumah, sebuah pohon beringin besar berdiri kokoh. “Itu beringin Sukarno,” ujar istri Sumpeno, penjaga rumah. “Pak Sukarno yang menanam.”
Bung Karno punya tempat khusus di hati masyarakat Karo, yang dikenal sangat setia kepada Bung Karno. Mereka menjuluki Bung Karno: Bapak Rakyat Sirulo atau Bapak Lambang Kemakmuran Rakyat. Bahkan hingga kini, sebagian masyarakat Karo masih menganggap Sukarno sebagai presiden mereka. Mereka cinta Sukarno karena “ajaran-ajaran Bung Karno itu sama dengan (nilai-nilai) masyarakat Karo. Misalnya gotong royong, pluralisme, dan solidaritas,” ujar Nuah Torong, anggota parlemen dari PDI-P yang berasal dari Karo.
Baca juga: Penyergapan Tentara Belanda di Tanah Karo
Satu babak dalam sejarah perjalanan Bung Karno ini pun ikut mengharumkan nama Berastagi, tak kalah dengan tempat pembuangan Sukarno lainnya: Ende dan Bengkulu.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar