Romansa Bung Karno dan Kartini Manoppo
Mereka bertemu di angkasa Indonesia. Lukisan Basuki Abdullah menumbuhkan cinta Sukarno terhadap Kartini.
Dari Bandara Kemayoran, Jakarta Presiden Sukarno menumpang pesawat Garuda. Waktu itu Bung Karno punya agenda ke Jawa Timur karena hendak meresmikan pabrik tenun di Batu Ceper, Malang. Salah seorang kru pesawat bernama Kartini Manoppo melayani penerbangan itu selaku pramugari.
“Tidak ada kesan istimewa. Kecuali setelah selesai perjalanan itu saya mendapat kenang-kenangan kain tenunan. Hanya itu. Tak ada yang lain,” kenang Kartini dalam majalah Info No. 78, 31 Juli 1978.
Pertemuan pertama itu terjadi pada 1958. Tidak lama setelahnya, Kartini berhenti sebagai pramugari. Dia kembali pulang ke kampung halamannya di Mobago, Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara.
Mengikuti Festival Pramugari
Selain berprofesi sebagai pramugari Garuda, Kartini juga seorang model. Dia pernah dilukis oleh pelukis sohor Basuki Abdullah. Pada 1959, Basuki Abdullah mengadakan pameran yang dihadiri Presiden Sukarno. Saat itulah Sukarno melihat wajah cantik Kartini terlukis dalam kanvas Basuki Abdullah. Sukarno kesengsem lalu jatuh cinta.
Hasrat Sukarno bergelora untuk kenal lebih dekat dengan Kartini Manoppo. Dia memerintahkan Sekretaris Negara agar menyurati pihak maskapai Garuda. Surat tersebut diteruskan kepada Kartini yang berada di Mobago. Dalam surat itu, pimpinan Garuda meminta Kartini bersedia kembali jadi pramugari. Kartini dipersiapkan untuk mengikuti Festival Pramugari Sedunia sebagai delegasi dari Indonesia. Karena mewakili negara, Kartini tidak dapat menolaknya.
“Waktu itu saya adalah stewardes Garuda yang paling populer baik di dalam maupun luar negeri. Dan waktu itu saya masih langsing, masih gadis remaja. Kawanku banyak yang bilang saya sangat cantik,” ujar Kartini Manoppo kepada jurnalis Erka dalam Bung Karno: Perginya Seorang Kekasih Suamiku & Kebangganku.
Baca juga: Para Pramugari Garuda di Sisi Sukarno
Sebelum berangkat, Kartini menghadap Sukarno terlebih dahulu di Istana. Setelah diberi wejangan, Sukarno mengajak Kartini ke dalam salah satu living room. Di situlah Bung Karno menyatakan cintanya kepada pramugari jelita asal Bolaang Mongondow itu. Kartini sempat bimbang namun akhirnya mengiyakan dengan syarat menanti kepulangannya dari Amerika Serikat. Menurut Kartini, sosok Sukarno yang brilian menjadi alasan dirinya membalas cinta Sukarno.
Pada tahun itu juga, Kartini Manoppo berangkat ke San Fransisco mengikuti festival pramugari. Sepulang dari sana, Kartini tetap mantap pada keputusan berhenti jadi pramugari. Namun surat pengunduran dirinya tidak diterima. Kartini malah dipindahkan ke “Dolok Martimbang”, pesawat kepresidenan saat itu.
Menjadi Istri Tidak Resmi
Di Dolok Martimbang, jadwal penerbangan tidak sepadat di Garuda. Kartini pun hanya sesekali terbang mendampingi Sukarno. Lambat laun, Kartini menyadari, penempatannya di pesawat kepresidenan dikondisikan agar selalu dekat dengan Sukarno.
Setelah empat tahun bekerja di Dolok Martimbang, tibalah saat yang paling mendebarkan. Bung Karno meminta Kartini menjadi istrinya. Seingat Kartini, Bung Karno saat itu hanya mengenakan baju bermotif kotak-kota yang sangat sederhana.
“Bung Karno meminang saya dalam keadaan sebagai manusia biasa. Bung Karno tidak memaksa. Ia meminta dengan tutur kata yang sopan, dengan senyum dan pandangan mata yang sulit untuk saya lupakan sampai sekarang,” tutur Kartini dikutip Info.
Baca juga: Hartini, First Lady yang Tak Diakui
Seperti dikisah Erka, Kartini menerima pinangan Sukarno. Kendati demikian, Kartini tidak ingin merepotkan calon suaminya itu. Pasalnya, adat istiadat di Mobago, kampung halaman Kartini, sangat kuat. Di sana tidak ada istilah istri ke-2 atau yang ke-3. Saat itu, Sukarno telah memperistri Hartini dan belum menceraikan Fatmawati sang Ibu Negara. Sementara di pihak Kartini, keluarganya terbilang keluarga terpandang. Oleh sebab itu, Kartini tidak mungkin dijadikan istri ke-2 atau ke-3 sekalipun yang melamar adalah seorang presiden.
“Orang tua saya tentu akan menuntut agar diri saya jangan dikesampingkan, karena adat kami memang begitu. Itulah maka saya tidak nikah secara resmi dengan Bung Karno,” kata Kartini kepada Erka.
Baca juga: Hartini dan Jenderal Anti Poligami
Sukarno dan Kartini pun melangsungkan perkawinan. Setelah diperistri, Kartini dilarang terbang lagi. Kartini pun dirumahkan di Jalan Sabang, Jakarta Pusat. Tapi kemudian tempat tinggal itu diambil alih oleh maskapai kapal laut Jakarta Llyod. Karena sering sakit-sakitan, Kartini atas anjuran dokter dan Bung Karno dikirim ke Jerman untuk berobat sekaligus istirahat.
Setelah dua tahun di luar negeri, Kartini kembali ke Indonesia dan tinggal di Jalan Panarukan No. 21, Menteng, Jakarta Pusat. Sukarno sering makan ke sana. Kartini kerap menambah menu makanan dengan memasak opor ayam. Kalau tidak memasak, maka dia melayani Sukarno saja. Selama mendampingi Kartini mengenang pribadi Sukarno yang memiliki daya ingat luar biasa. Kartini menyaksikan dan mendengarkan betapa Sukarno telah jauh-jauh hari "meramalkan" bahwa Ali Sadikin bakal jadi gubernur yang baik dan sukses.
Kehadiran Totok Suryawan
Sewaktu menetap di Jalan Panarukan itulah Kartini Manoppo mengandung anak Sukarno. Namun kehamilan Kartini terjadi ketika situasi politik dalam negeri dilanda prahara pasca Gerakan 30 September 1965. Kedudukan Sukarno kian rapuh lantaran banyaknya demonstrasi yang menuntutnya mundur. Di saat genting itulah Sukarno berpesan dengan nada lirih.
“Tin, sebaiknya kau melahirkan di Jerman. Supaya kau bisa tenang dan aman kalau tiba waktunya bagimu,” kata Sukarno ditirukan Kartini dalam Info. “Dan… serahkanlah nasib kita pada Tuhan.”
Baca juga: Ketika Bung Besar Digugat Cerai
Pada Maret 1967, Kartini meninggalkan Indonesia menuju Jerman. Di kota Nurenberg, Kartini melahirkan anaknya pada 17 Juli 1967. Buah hatinya dengan Sukarno itu dinamai Totok Suryawan yang berarti Putra Sang Fajar. Namun Sukarno yang telah menjadi tahanan tidak sempat menyaksikan kehadiran Totok maupun Kartini. Penjagaan yang ketat dari aparat tentara tidak memungkinkan Sukarno bertemu siapa saja dengan leluasa.
Hingga wafatnya Sukarno pada 21 Juni 1970, Totok tidak sempat melihat sang ayah. Sewindu berselang, tepatnya 21 Juni 1978, Kartini dan Totok hanya bisa mengunjungi pemugaran makam Bung Karno di Blitar.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar