Riwayat Erasmus Huis: Titik Balik Diplomasi (1960-1971)
Erasmus Huis, yang merupakan perluasan ruang baca kecil yang dibuka beberapa tahun sebelumnya di lokasi yang sama, dimaksudkan sebagai “pusat pertemuan orang Indonesia dan Belanda dan memberikan kesempatan kepada orang Indonesia untuk belajar tentang budaya Belanda
Artikel ini merupakan artikel kedua dari tiga tulisan mengenai kerja sama kebudayaan antara Indonesia dan Belanda. Artikel ini ditulis oleh Bondan Kanumoyoso (Sejarawan dan Pengajar di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia), Christopher Reinhart (Sejarawan dan Konsultan Riset Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Teknologi Nanyang), dan Remco Vermeulen (Penasihat Kerja Sama Kebudayaan dengan Indonesia di DutchCulture).
“[Kami] mengharapkan […] kerja sama yang bermanfaat dan perbaruan persahabatan dengan Indonesia. Masih banyak ikatan pribadi antara Belanda dan Indonesia dan di negara kita [Belanda], masih ada perhatian dari masyarakat luas terhadap pasang surut Indonesia”. Pada Maret 1963, Menteri Luar Negeri Belanda, Joseph Luns, mengungkapkan keinginannya tadi di televisi nasional. Selama kurang lebih tiga tahun (1960–1963) tidak ada kontak diplomatik antara Belanda dan Indonesia. Suatu keadaan yang amat buruk dalam hubungan bilateral kedua negara setelah kemerdekaan. Konflik antara kedua negara hanya mereda ketika Belanda, karena ditekan oleh Amerika Serikat, menyerahkan Papua ke Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) pada Agustus 1962, yang pada gilirannya menyerahkan wilayah itu ke Indonesia pada awal 1963. Tensi antara kedua negara diredakan dan proses pemulihan hubungan pun mengikutinya. Ikatan budaya keduanya merupakan perekat yang menjalin kembali dan bahkan membantu meningkatkan hubungan bilateral. Ini akhirnya dilambangkan dengan dibukanya Erasmus Huis.
Langkah-langkah Kecil
Pada bulan Mei 1963, kedua negara mendirikan kembali perwakilan diplomatik. Namun, jelas bahwa langkah-langkah kecil dan hati-hati harus diambil. Diplomat Belanda Carl D. Barkman, kuasa usaha (charge d’affaires) baru di Jakarta, kemudian menggambarkan situasi tersebut sebagai situasi di mana “sikap resmi kedua belah pihak tetap dingin dan penuh harap, agaknya saling curiga. Sejarah baru-baru ini terlalu penting, dan terlalu banyak yang telah terjadi dan dikatakan, untuk dapat langsung menjadi seperti tak terjadi apa-apa. Ada banyak ungkapan persahabatan di tingkat pribadi, tetapi ini belum mewakili keadaan keseluruhan”.
Barkman dan stafnya yang sedikit awalnya harus bekerja dari beberapa kamar hotel di Hotel Indonesia yang baru dibuka. Ini adalah hotel besar pertama di Jakarta, terletak di Jalan Thamrin, jalan raya besar pertama di kota ini. Keduanya adalah bagian dari visi Presiden Sukarno yang menginginkan Jakarta menjadi kota metropolitan global yang modern, sebuah usaha berat yang dijuluki Proyek Mercusuar. Kantor Komisariat Tinggi di Lapangan Merdeka, bersama dengan semua gedung diplomatik Belanda lainnya, telah disita oleh pemerintah Indonesia. Barkman tidak diizinkan oleh Kementerian Luar Negeri Belanda untuk menyewa atau membeli kantor atau tempat tinggal karena dia harus menunggu sampai harta yang disita itu dikembalikan.
(Hotel Indonesia pada 1971 | Arsip Nasional Belanda)
Bukti Persahabatan
Interaksi Barkman dengan para menteri Indonesia dan bahkan Sukarno, bisa dikatakan mengejutkan. Interaksi itu penuh keramahan dengan banyak humor dan sering dilakukan dalam bahasa Belanda. Barkman mencatat bahwa saat menjalin hubungan baru, lebih masuk akal bagi kedua belah pihak untuk melihat ke depan daripada melihat ke masa lalu. Bahkan, sehubungan dengan “masa lalu” yang terjadi baru-baru ini [konflik 1945–1949], banyak lawan bicaranya menunjukkan realisme dan sikap sportif yang luar biasa. Oleh karena itu, kejutan di antara para diplomat dari negara lain, menurut Barkman, semakin besar ketika secara bertahap semakin banyak bukti persahabatan dan rasa hormat muncul antara bekas jajahan dan bekas negara induk. Meningkatnya beban kerja dari sang kuasa usaha dan stafnya membuat kamar-kantor hotel mereka terlalu sempit dan berulang kali dia secara diplomatis membahas topik tempat tinggal ini dengan kabinet Indonesia. Akhirnya, Sukarno memberi Barkman tempat tinggal di Jalan Diponegoro 39 di Menteng. Rumah ini dirancang oleh arsitek Belanda Han Groenewegen pada tahun 1948 dengan gaya Realisme Baru dan sebelumnya dimiliki oleh Javasche Bank. Bangunan itu berfungsi sebagai kantor untuk Barkman dan stafnya, dengan layanan konsulat di paviliunnya. Baru pada tahun 1967, pemerintah Indonesia merestitusi gedung di Jalan Kebon Sirih 18, tepat di sebelah selatan Lapangan Merdeka. Bangunan ini sebelumnya dimiliki oleh Belanda dan pada tahun 1954 dibangun sebagai gedung apartemen untuk pegawai rendah dari Kantor Komisariat Tinggi. Bangunan itu pun direnovasi dan berfungsi sebagai Kedutaan Besar Belanda selama hampir 15 tahun. Kediaman di Jalan Diponegoro dipugar menjadi kediaman duta besar dan masih berfungsi demikian hingga saat ini.
(Foto Kediaman Duta Besar di Jalan Diponegoro 39 di Menteng pada 1967 |KITLV)
Zaman Baru
Kapasitas Kedutaan Besar Belanda di Jakarta semakin berkembang dan hubungan bilateral di bawah Presiden Suharto semakin kuat. Suharto berkuasa pada tahun 1967 setelah insiden pembunuhan petinggi militer tahun 1965 dan pembunuhan massal tahun 1966 yang menyasar Partai Komunis dan (yang diduga) menjadi pendukung partai itu. Sang presiden membuka Indonesia bagi investasi dan bisnis asing untuk memulihkan ekonomi negara yang hancur. “Indonesia sudah kembali ke Blok Barat” begitu lantangnya terdengar di Den Haag. Pemerintahan sebelumnya di bawah Sukarno telah mempromosikan sikap anti modal asing dengan semboyan berdikari (“berdiri di atas kaki sendiri”). Namun, pendekatan pemerintahan Orde Baru Suharto berbeda secara mendasar. Ia yakin bahwa perekonomian nasional akan mengalami percepatan pertumbuhan dengan dukungan investasi asing. Undang-undang Penanaman Modal Asing (UU PMA) disahkan pada 10 Januari 1967. Namun, beberapa sektor utama yang terkait erat dengan kebutuhan publik, seperti perkapalan, pelabuhan, listrik, telekomunikasi, transportasi udara, air, dan kereta api, masih dan sampai sekarang, tertutup bagi investasi asing. Sementara itu, sektor perkebunan dan pertambangan yang pada masa kolonial dikuasai modal Belanda dan Barat, kembali dibuka untuk investasi asing. Dengan diperkenalkannya UU PMA, banyak perusahaan asing, di antaranya Belanda, mulai masuk kembali ke perekonomian Indonesia.
UU PMA membuka pintu terhadap dukungan dan bantuan bagi program pembangunan daerah. Namun, pada awalnya, Indonesia mengalami kesulitan mendapatkan pendanaan internasional untuk memenuhi kebutuhan pembangunannya. Presiden Suharto kemudian membentuk tim ekonom yang dijuluki “Mafia Berkeley” oleh para kritikus karena anggotanya adalah lulusan University of California Berkeley. Atas dasar gagasan yang disampaikan para ekonom tersebut dan upaya lobi para diplomat Indonesia, dibentuklah Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI). Kelompok tersebut melibatkan Amerika Serikat, Jepang, Belanda, dan negara maju lainnya. IGGI dibentuk untuk memberikan bantuan keuangan bagi Indonesia. Belanda adalah salah satu kontributor terbesar IGGI.
Kerja Sama Kebudayaan
Hubungan yang membaik antara Indonesia dan Belanda tidak hanya memberikan peluang ekonomi, tetapi juga peluang pertukaran budaya. Pemerintah Indonesia melihat kerja sama budaya sebagai media untuk meredam ketegangan politik dan persaingan ekonomi. Fokus para diplomat Belanda meluas dari masalah politik dan ekonomi ke kegiatan budaya dan pendidikan. Kedutaan Besar Belanda membuka perpustakaan kecil di Jakarta dan kota-kota lain di Indonesia yang sering dikunjungi oleh akademisi, jurnalis, dan mahasiswa. Meskipun negara-negara Barat lainnya seperti Australia, Jerman Barat, dan Jepang membangun kompleks kedutaan hipermodern di pinggiran kota Jakarta yang luas, Belanda bertahan dengan akomodasi diplomatik lama mereka. Seorang ekspatriat Belanda yang tinggal di Jakarta berkomentar tentang ini dalam surat kabar Belanda De Volkskrant pada tahun 1967. Dia bahkan menyebut bangunan-bangunan ini sebagai “sampah tua”, dan menyarankan pembangunan “Rumah Belanda”, yang dapat mempromosikan komunitas bisnis, pendidikan, dan budaya Belanda. Namun, Kedutaan Besar Belanda menyandang moto “yang cocok bagi kita adalah sikap rendah hati, [ini berguna] untuk menyelesaikan pekerjaan dengan lebih efisien di belakang layar, lebih-lebih mengingat sejarah di antara kedua negara”.
Dalam pidatonya kepada televisi Belanda pada Maret 1963, Menteri Luns secara khusus membahas aspek budaya dari hubungan bilateral. Ia menekankan bahwa “pengetahuan tentang budaya satu sama lain masih tersebar luas. Di Belanda misalnya, terdapat khazanah pengetahuan dan pengalaman yang unik serta dokumentasi yang sangat luas tentang Indonesia. Kemungkinan, kontak yang bermanfaat dapat dilakukan atas dasar ini di masa depan. Pemulihan hubungan resmi pasti akan mendorong pembangunan ke arah ini. Jika pemerintah Belanda dapat membantu, mereka akan dengan senang hati mempertimbangkan setiap prakarsa yang dianggap berguna, dan yang juga akan mendapatkan persetujuan dari pemerintah Indonesia”. Sikap itu terwujud ketika Menteri Luns dan Menteri Luar Negeri RI Adam Malik menandatangani perjanjian kerja sama kebudayaan pada 7 Juli 1968.
Kolaborasi budaya pertama terwujud hanya satu bulan setelah kesepakatan ditandatangani. Kompas, surat kabar terkemuka Indonesia, melaporkan pada tahun 1968 bahwa pemerintah Belanda telah menyumbangkan sebuah bus literasi ke Indonesia sebagai bagian dari proyek pemerintah untuk pemberantasan buta huruf. Untuk mengoperasikan kendaraan tersebut, “Indonesia telah mengirimkan empat orang untuk mendapatkan pelatihan di Belanda”. Pada tahun 1969, kerja sama meningkat. Pada 26 April tahun itu, Duta Besar Belanda untuk Indonesia saat itu, Hugo Scheltema, meresmikan Pusat Grafis Indonesia di Jakarta, lembaga yang didirikan untuk melanjutkan proyek pemberantasan buta aksara dan secara khusus ditujukan untuk meningkatkan kualitas penerbitan Indonesia.
(Foto Erasmus Huis pertama | Koleksi Erasmus Huis)
Erasmus Huis
Pada tanggal 27 Maret 1970, pusat kebudayaan baru Kedutaan Besar Belanda, yang disebut Erasmus Huis, membuka pintunya di sebuah rumah hunian kolonial sederhana di Jalan Menteng Raya 25, tepat di sebelah tenggara Lapangan Merdeka, dekat dengan kedutaan baru di Jalan Kebon Sirih. Pusat kebudayaan itu menyandang nama seorang humanis Belanda, Desiderius Erasmus, yang memiliki perhatian terhadap dunia. Menurut duta besar Scheltema, Erasmus “selalu menjaga sikap moderat, pikiran sehat dan menghargai tatanan manusia dari segala usia dan setiap pergaulan sosial”, yang dianggapnya sesuai dengan sikap terbuka masyarakat Indonesia. Pembukaan dilakukan oleh Pangeran Bernhard, suami Ratu Juliana, yang saat itu berada di Indonesia untuk kunjungan semi-resmi. Menurut surat kabar Belanda De Waarheid, kunjungan tersebut disetujui oleh kabinet Belanda, dan dapat dianggap sebagai uji coba untuk kunjungan kenegaraan ratu dan pangeran ke Indonesia setahun kemudian. Pada saat itu, rencana kunjungan ini masih disangkal. Outlet media Belanda lainnya, Vrij Nederland, menyebut Pangeran sebagai “salesman terbaik Belanda”, mereka berkomentar bahwa “niat baik yang diperoleh pangeran [...] di Indonesia tidak mungkin ditolak oleh komunitas bisnis Belanda”. Erasmus Huis, yang merupakan perluasan ruang baca kecil yang dibuka beberapa tahun sebelumnya di lokasi yang sama, dimaksudkan sebagai “pusat pertemuan orang Indonesia dan Belanda dan memberikan kesempatan kepada orang Indonesia untuk belajar tentang budaya Belanda”. Pusat kebudayaan itu menawarkan buku, piringan hitam, surat kabar, dan majalah. Ada pemutaran film dan dokumenter harian, pertunjukan musik, ceramah, dan kabaret reguler. Untuk meminjam buku, mereka yang berminat dapat menjadi anggota, dengan jumlah anggota yang bertambah dari 1.000 pada tahun 1969 menjadi 4.000 pada tahun 1971. Direktur pertama Erasmus Huis, Cyriel van Dijk, ditugaskan untuk memperluas program pusat kebudayaan tersebut, termasuk mengundang orang Belanda dan seniman Indonesia untuk tampil bersama di Erasmus Huis. Dalam pembicaraan dengan anggota parlemen pada Mei 1971, Menteri Luns menginformasikan bahwa Erasmus Huis pada saat itu bukan satu-satunya pusat kebudayaan Belanda di Indonesia, mereka juga memiliki pusat kebudayaan utama di Bandung dan Yogyakarta, dan ruang baca baru di Makassar, sedangkan ruang baca baru direncanakan dibangun pula di Surabaya, Medan, Manado, dan Semarang. Di tempat-tempat ini disediakan literatur Belanda dan kelas bahasa Belanda.
(Foto Erasmus Huis pertama | Koleksi Erasmus Huis)
Antusiasme dan Hubungan Baru
Pada Agustus 1971, Ratu Juliana dan Pangeran Bernhard mengunjungi Indonesia dalam kunjungan kenegaraan pertama kepala negara Belanda ke Kepulauan Indonesia. Tampaknya sulit dipercaya, tetapi satu-satunya bangsawan Belanda yang pernah mengunjungi Hindia Belanda adalah Pangeran Hendrik “Sang Pelaut” (Hendrik de Zeevaarder), putra ketiga Raja Willem II dan Anna Paulowna, yang datang ke Hindia sebagai bagian dari pendidikan angkatan lautnya pada tahun 1837. Kunjungan kenegaraan Ratu Juliana dan Pangeran Bernard selama 12 hari dianggap sukses besar, dan ke mana pun pasangan kerajaan pergi, mereka bertemu dengan kerumunan besar orang yang tersenyum antusias sambil mengibarkan bendera Indonesia dan Belanda. Di surat kabar Indonesia, Abadi, Mohammad Roem, mantan Menteri Dalam Negeri, membagikan pengamatannya tentang kedatangan pasangan kerajaan itu. Ia mengungkapkan bahwa belum pernah seorang kepala negara asing menerima sambutan yang begitu meriah, seolah-olah mereka adalah kenalan lama. Roem juga menggambarkan dirinya sebagai anak zaman penjajahan. Dalam benaknya, kunjungan kerajaan itu menimbulkan banyak perenungan. Ketika lagu kebangsaan Belanda, Wilhelmus, diperdengarkan, para lansia Indonesia yang hadir langsung mengenalinya karena itu pernah menjadi lagu kebangsaan Hindia Belanda: sehingga tidak terasa sebagai lagu kebangsaan negara asing, kata Roem. “Karena kami sudah mengenal Wilhelmus sejak kecil, kami bernyanyi bersama dalam hati, kini dengan hati yang tulus”, karena Indonesia dan Belanda sekarang adalah bangsa yang setara.
(Kunjungan kenegaraan Ratu Juliana dan Pangeran Bernhard ke Indonesia, 1971│Sumber: Wikimedia)
Dalam jamuan makan di Istana Merdeka, Presiden Suharto merefleksikan hubungan Belanda-Indonesia: “Mengingat sejarah masa lalu sering membuat orang emosional. Namun, kemampuan mengkaji ulang sejarah masa lalu juga kerap memberi kekuatan baru untuk membangun masa depan dengan wajah baru. Kedua negara kita sebenarnya sedang mengisi era baru ini dengan semangat baru dan hubungan baru”. Ratu Juliana pun mengamininya, “Saya melihat kebijaksanaan mendalam dari budaya Anda yang lebih tua sebagai pelengkap yang berharga untuk semangat gerakan Barat kami […] Saya percaya bahwa kita, dari kontradiksi yang saling melengkapi ini, dapat belajar untuk memahami, dan bahkan menerima banyak hal baik satu sama lain. Jadi, kita memikirkan satu sama lain secara lebih luas, dalam pengaruh yang saling memberi bermanfaat, tanpa melebih-lebihkan kualitas kita sendiri”. Dan dalam kunjungannya ke Kampus Universitas Indonesia, ia berbicara kepada para mahasiswa yang berkumpul dan mengatakan bahwa “Kalian para pemuda, telah memainkan peran penting dalam sejarah Indonesia dan akan memainkan peran penting juga di masa depan”. Roem juga menghadiri perjamuan itu. Ia duduk di samping Kapolda Metro Jaya, Widodo Budidarmo, dan menanyakan apakah ada kesulitan yang dihadapi polisi saat mengamankan kunjungan kerajaan. Budidarmo kemudian menjawab bahwa tidak ada kejadian apa pun. Tidak ada sekelompok orang, sekecil apa pun, yang tidak mengucapkan selamat atas kunjungan Ratu Juliana, katanya. Barangkali, ini membuktikan penilaian sejarawan ternama Indonesia, Ong Hok Ham, yang menyatakan bahwa “Orang Indonesia memang membenci pemerintah kolonial, tetapi mereka menghormati sang ratu”. Hidup dalam peralihan masa kolonial ke masa kemerdekaan, Ong sendiri pernah mengatakan bahwa satu-satunya orang Belanda yang dihormati keluarganya adalah Ratu Belanda.
Batavia Lama Jadi Kawasan Cagar Budaya
Sebelumnya, pada tahun 1971, Gubernur Jakarta, Ali Sadikin, mengumumkan rencananya untuk mengembalikan pusat kota bersejarah, Kota Tua, untuk menarik wisatawan. Kompas menyampaikan, Pemprov DKI Jakarta memutuskan menggunakan abad ke-18 sebagai acuan pemugaran karena pemerintah memiliki sumber sejarah Jakarta abad ke-18 yang paling lengkap. Upaya pemugaran itu disebut mendapat sambutan baik dari masyarakat, baik di dalam maupun di luar negeri, karena Sadikin dikenal gigih mengampanyekan ini bahkan sampai ke luar Indonesia. Dalam ingatan generasi tua Jakarta, gubernur ini menempati tempat yang istimewa. Sujono, warga Jakarta berusia 78 tahun yang diwawancarai tim peneliti di Kampus Universitas Indonesia pada 2022, mengatakan bahwa Sadikin bisa dibilang merupakan Gubernur Jakarta terbaik. Program-program yang digagasnya, seperti pemugaran Kota Tua, terbukti bermanfaat bagi warga Jakarta hingga saat ini. Ia menambahkan, Sadikin telah meletakkan dasar bagi Kota Tua untuk menjadi ikon Jakarta, dan telah menjadi tujuan wisata penting: “Saat ini, siapa yang tidak mengenal Kota Tua Jakarta?” Menurut NRC Handelsblad, pemugaran akan dipimpin oleh penasihat PBB dari Amerika, Sergio Dello Strologo, dan biaya pemugaran yang diperkirakan mencapai 2,5 juta dolar akan disumbangkan oleh perusahaan-perusahaan Amerika, Inggris, dan Belanda yang berkepentingan di Indonesia. Selain itu, Rockefeller Foundation dan Bank Dunia disebutkan sebagai calon investor. Surat kabar itu juga mengumumkan bahwa Gubernur Sadikin ingin meletakkan replika kayu Oostinjevaarder di Kali Besar (kanal utama daerah itu), dan bahwa ia ingin memberikan fasad kamuflase bersejarah pada bangunan yang kurang menarik di bekas balai kota. “Itu memang mengingatkan kita pada Disneyland, tetapi negara mana yang tidak membuat kompromi terhadap sesuatu yang secara historis berharga di hadapan pariwisata dan restorasi?”
(Kali Besar di Kota Tua 1971 karya Boy Lawson | Koleksi Museum voor Wereldculturen)
Menurut Limburgsch Dagblad, sebuah surat kabar Indonesia menulis tentang upaya restorasi itu: “Negara kita merdeka dan berdaulat. Kami dapat melihat kembali hal-hal ini sebagai bagian dari sejarah kami. Seperti itulah. Lewat rasa penasaran, sungguh menyenangkan untuk mengembuskan kehidupan baru ke dalam bagian sejarah ini”. Pada tahun 1976, jurnalis dan sejarawan Belanda Paul van 't Veer menulis pengamatannya dalam Het Parool bahwa balai kota tua abad ke-17 dan sekitarnya telah dipugar sebagai museum tentang masa Belanda. Ia menambahkan bahwa bagi kebanyakan orang Indonesia, periode itu berada di masa lalu yang kelabu. “Namun saya telah berbicara dengan banyak anak muda yang tidak tahu bahwa pernah ada yang namanya zaman Belanda,” lanjutnya. Anak-anak muda itu, sebagaimana disapa oleh Ratu Juliana sebagai wakil masa depan negaranya, adalah kunci untuk menjaga hubungan Indonesia-Belanda. Karena alasan ini, mereka menjadi kelompok sasaran yang semakin penting bagi Erasmus Huis.
Dengan ditandatanganinya perjanjian kerja sama kebudayaan pada tahun 1968, pembukaan Erasmus Huis pada tahun 1970, kunjungan kenegaraan Ratu Juliana dan upaya pemugaran di Kota Tua pada tahun 1971, hubungan bilateral antara Indonesia dan Belanda mendapat dorongan baru dengan karakter budaya yang kuat. Sejarah kolonial, selama tahun-tahun pertama kemerdekaan, memang menjadi penyebab konflik yang jelas. Namun, ini menjadi lahan yang subur untuk jalinan kerja sama masa depan selama masa Suharto. Dalam artikel berikutnya, akan ditelaah perkembangan peran Erasmus Huis dalam hubungan Indonesia-Belanda dari tahun 1970-an hingga saat ini.
Artikel ini juga ditayangkan di website DutchCulture dalam bahasa Inggris. Berikut ini adalah tautannya.
The story of the Erasmus Huis #1: 1945-1960
The story of the Erasmus Huis #2: 1960-1971
The story of the Erasmus Huis #3: 1970-present
Tambahkan komentar
Belum ada komentar