Raja Ali Haji, Sastrawan Besar Kesultanan Riau
Dia menghasilkan begitu banyak karya yang memperkaya khazanah sastra Melayu. Bukan saja orang pribumi, kalangan cendekiawan Eropa pun menyukai karya-karyanya.
Pada 1824, melalui Traktat London, Belanda mengakhiri perselisihannya dengan Inggris atas kawasan Malaka. Inggris diberi kekuasaan di Singapura dan Malaysia, sedangkan Belanda mengukuhkan kuasanya atas Nusantara.
Peraturan baru pun ditetapkan para kolonialis di wilayah jajahannya, yang otomatis membawa dampak bagi kerajaan-kerajaan di sana. Kesultanan Riau Lingga salah satunya. Kerajaan yang pernah menjadi bagian dari Kesultanan Johor-Riau dengan pusat pemerintahan di Tumasik (Singapura) tersebut mengalami perkembangan yang lambat di segala bidang kehidupan, termasuk budaya, setelah Belanda berkuasa di wilayahnya.
Di tengah perkembangan yang tidak menentu tersebut muncul nama Raja Ali Haji. Dia adalah seorang pujangga Riau Lingga yang karya-karyanya begitu menggugah minat kebudayaan masyarakat. Meski di bawah tekanan penjajahan, Raja Ali Haji berhasil membawa angin perubahan di alam kesusastraan Melayu, utamanya Riau.
Baca juga: Hikayat Dua Pujangga Melayu
“Dapat disebutkan bahwa Riau yang menjadi tempat Raja Ali Haji mengembangkan nalar dan intuisinya pada awal abad ke-19, sudah menjadi daerah pedalaman setelah tidak kurang dari 100 tahun memimpin kawasan Selat Malaka,” tulis Taufik Ikram Jamil “Antara Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi dan Raja Ali Haji: Dua Cahaya dari Satu Kutub” dimuat 1000 Tahun Nusantara karya J.B. Kristanto.
Memperoleh Gelar Haji
Raja Ali Haji dilahirkan di Selangor (sumber lain menyebut tempat kelahirannya di pulau Penyengat) pada 1809. Dia putra dari pasangan Raja Ahmad, seorang pembesar Kesultanan Johor-Riau, dengan putri Selangor bernama Hamidah.
Raja Ali Haji dibesarkan di Pulau Penyengat, Riau, di tengah lingkungan keluarga Islam Melayu yang kuat. Sejak usia muda, dia sudah mempelajari agama Islam dengan baik. Menurut Hendrik M.J. Maier dalam Raja Ali Haji dan Hang Tuah: Arloji dan Mufassar, ketertarikannya terhadap karya-karya Melayu dan kitab-kitab Arab juga tumbuh dia usia yang sangat belia.
Baca juga: Prapanca, Pujangga Majapahit yang Diasingkan
Pada 1822, ketika berusia 13 tahun, Raja Ali Haji pergi ke Batavia mendampingi ayahnya untuk membicarakan perkembangan politik di Kesultanan Johor-Riau. Di sana, dia bertemu banyak pejabat kolonial yang dikemudian hari akan berhubungan dengannya.
Menginjak usia 19 tahun, Raja Ali Haji pergi ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji dan menuntut ilmu agama Islam. Sepulang dari Mekah, dia memperoleh gelar “haji”, yang kemudian disematkan di akhir namanya. Raja Ali Haji pun mendapat tempat terhormat di masyarakat Riau sebagai seorang cendekiawan muda terkemuka.
“Dia terbuka kepada hal baru dan asing. Dia dihormati dan disegani orang, baik di Pulau Peyengat atau di luar pulau kecil itu. Dia selalu gelisah mengenai keadaannya. Dia ingin melarikan diri “ke hutan dan gunung” setelah menyadari sanak saudaranya bodoh-bodoh, kurang taat, tidak beribadat dan tidak menghiraukan kemelayuan,” ungkap Maier.
Pada 1830-an, setelah suasana di Riau Lingga kembali tenang pasca terpisah dari Johor-Riau di Tumasik, Raja Ali Haji mulai aktif terlibat dalam urusan pemerintahan Kesultanan Riau Lingga. Bersama saudara sepupunya, Yang Dipertuan Muda Riau VIII, dia melakukan banyak perjalanan di sepanjang Riau-Malaka dalam upaya menghapuskan kegiatan perompakan dan kerusuhan-kerusuhan di wilayah kekuasaannya.
Baca juga: Antara Pujangga Mengabdi dan Melawan
Pada 1840-an, Raja Ali Haji diserahi jabatan penting di Kesultanan Riau Lingga. Dia menjadi penasihat keluarga Yang Dipertuan Muda untuk urusan politik dan hukum. Pada masa-masa itu juga dia mulai mengajari kerabatnya perihal masalah-masalah keagamaan dan kebahasaan. Namanya kian dikenal masyarakat setelah dua karangannya diterbitkan: Syair Abdul Muluk, dan Gurindam Dua Belas.
Raja Ali Haji semakin jauh menempatkan namanya dalam alam kebudayaan Melayu kala menerbitkan Bustamul Katibin pada September 1851. Kitab yang berisi tata bahasa Melayu dengan menerapkan aturan tata bahasa Arab tersebut merupakan permintaan langsung Yang Dipertuan Muda Riau VIII untuk memperkenalkan aturan berbahasa Melayu di negerinya.
“Dari berbagai aspek intelektual Raja Ali Haji, dapat dipastikan bahwa aspek pemikiran keagamaannya yang paling utama dalam memberikan pencerahan bagi masyarakat Melayu-Riau,” kata Alimuddin Hassan dalam Pemikiran Keagamaan Raja Ali Haji.
Pengabdian kepada Sastra
Jauh sebelum menghasilkan karangan-karangan yang menjadi kebanggaan alam sastra Melayu, Raja Ali Haji memulai minat kepenulisannya dengan mempelajari sejarah dan silsilah keluarganya dari naskah dan cerita. Meski hasil pekerjaannya baru dia terbitkan pada 1865 dalam Silsilah Melayu dan Bugis.
“Pengarangan buku sejarah itu dianggapnya pekerjaan yang berat: sumber-sumber tulisan dan lisan yang ada harus dikumpulkan, diperbandingkan satu dengan lain, lalu dipertimbangkan kebenarannya. Hasilnya memang tidak boleh tidak menentukan kesahihan kerajaan Riau Lingga dan adanya orang Bugis di kepulauan itu,” tulis Meier.
Baca juga: Sastra Dakwah tentang Hari Kiamat
Gairah kepenulisan Raja Ali Haji semakin tinggi kala orang-orang Eropa melirik dan menyukai karya-karyanya. Bahkan pada 1850-an, pemerintahan Hindia Belanda melalui Residen Riau Willer sempat meminta bantuannya dalam menyusun dan melengkapi silsilah keluarga istana Riau.
Diceritakan Jan van der Putter dan Al Azhar dalam Dalam Berkekalan Pesahabatan: Surat-surat Raja Ali Haji kepada Von de Wall, pada 1857, Raja Ali Haji berkenalan dengan seorang pejabat Belanda di Riau bernama Von de Wall. Kawan Belanda-nya itu memiliki minat besar kepada kesusasteraan Melayu, termasuk karya-karya Raja Ali Haji.
Kedekatan keduanya semakin terlihat jelas manakala Raja Ali Haji membantu Von de Wall dalam proses penyusunan kamus bahasa Belanda-Melayu. Von de Wall juga memberi banyak hadiah berupa buku-buku berbahasa Arab yang menjadi kegemaran Raja Ali Haji.
Menurut Van der Putter dan Al Azhar, tahun-tahun penyusunan kamus itu telah menjadi jembatan persahabatan keduanya. Bahkan dalam beberapa kesempatan, Von de Wall kerap menyebut Raja Ali Haji sebagai kawan baiknya.
“Tuan Von de Wall didekati Raja Ali dengan perasaan hormat bercampur dengan perasaan akrab. Tidak dapat disangsikan dalam persahabatan itu pun ada banyak masalah yang tidak terungkapkan, apalagi tidak tertuliskan,” tulis Meier.
Raja Ali Haji wafat pada 1873 di Pulau Penyengat, Riau. Dia meninggalkan sejumlah besar karya, di antaranya Bustanul Katibin, Kampus Pengetahuan Bahasa, Tsamaratul Muhimmah, Muqaddimah fi Intizam, Syair Suluh Pegawai, Gurindam Duabelas, dan surat-surat bersama Von de Wall.
Tidak hanya karangan-karangan, Raja Ali Haji juga meninggalkan penerusnya di bidang sastra Melayu. Jumlahnya, menurut Taufik, ada lebih dari 20 orang yang menjadi tokoh sastra ternama Melayu. Mereka adalah orang-orang yang pernah berguru kepada Raja Ali Haji.
“Mereka tak hanya bermain bahasa, tetapi juga membuat penemuan-penemuan dalam kebudayaan, termasuk menyusun tata bahasa seperti diperlihatkan Raja Ali Kelana dan Khalid Hitam,” ungkap Taufik.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar