R.A. Kosasih Bapak Komik Indonesia
R.A. Kosasih didaulat sebagai Bapak Komik Indonesia karena memelopori penerbitan komik dalam bentuk buku dan menjadi tonggak pertumbuhan komik Indonesia.
PADA 1953, penerbit Melodi Bandung melalui iklan kecil merekrut RA (Raden Ahmad) Kosasih, yang saat itu masih menjadi pegawai di Kebun Raya Bogor sebagai tukang gambar binatang dan tanaman. Penerbit itu meminta Kosasih membuat komik superhero, karena komik tersebut sedang populer di Amerika. Kosasih memenuhinya dengan membuat komik petualangan perempuan super, Sri Asih, terbit 1954. Komik pertama dalam bentuk buku itu dicetak sebanyak 3000 eksemplar.
Menurut Marcel Bonneff dalam Komik Indonesia, komik Sri Asih dapat dijadikan patokan bagi awal pertumbuhan komik Indonesia. “Adapun komikusnya, Kosasih, dianggap –dan memang sepatutnya– sebagai Bapak Komik Indonesia. Komikus muda sangat menghormatinya,” tulis Bonneff.
Baca juga: Pelopor Jurnalisme Komik di Indonesia
Raden Ahmad Kosasih lahir di Bogor, Jawa Barat pada 4 April 1919, sebagai bungsu dari tujuh bersaudara. Dia kepincut pada seni menggambar ketika sekolah di Hollandsch Inlands School (HIS) Pasundan, melihat ilustrasi buku-buku pelajaran bahasa Belanda yang bagus-bagus. Sehingga buku catatannya cepat habis karena dia gambari. Setamat HIS, dia memilih tak meneruskan sekolah, padahal dengan sekolah dia berpeluang menjadi pamong praja. Pada 1939, Kosasih melamar pekerjaan sebagai juru gambar di Kebun Raya Bogor.
Baca juga: Melihat Surga dan Neraka Melalui Komik
Para pendidik, tulis Bonneff, menentang komik yang berasal dari Barat, bahkan produk imitasinya, Sri Asih. Mereka juga mengkritik komik, bukan dari segi bentuknya yang dianggap tidak mendidik, melainkan juga dari segi gagasannya yang berbahaya. Beberapa penerbit seperti Melodi di Bandung dan Keng Po di Jakarta mengubah haluan, dan memproduksi komik yang menggali kebudayaan nasional. Penerbit Melodi mengarahkan Kosasih untuk membuat komik wayang.
“Kosasih yang orang Sunda,” tulis Bonneff, “hanya mempunyai pengalaman sebagai penonton (wayang). Maka dia meneliti dokumen, meminta bantuan dalang, untuk mencipta komik epos besar yang berasal dari India, Mahabharata dan Ramayana.” Masyarakat menyambut hangat kehadiran komik wayang. Sehingga, para pendidik yang masih menentang komik tidak punya alasan untuk mengkritik.
Sukses komik wayang demikian besar sehingga Kosasih, dari 1955 sampai 1960, tidak pernah berhenti membuat puluhan jilid komik untuk memuaskan pembacanya. Kosasih memerlukan waktu dua tahun untuk menggambar 26 jilid Mahabharata. Dia menyelesaikan satu jilid setebal 42 halaman setiap bulannya, kemudian lakon Bharatayudha, Pendawa Seda, Parikesit, dan Udayana, masing-masing 4 jilid.
Ketika popularitas komik wayang menurun, Kosasih beralih membuat komik legenda seperti Lutung Kasarung, Sangkuriang, dan dongeng untuk anak-anak. Pada 1967-1968, penerbit Melodi sementara berhenti menerbitkan komik. Kosasih pun menerbitkan komik silat di penerbit Lokadjaja, Jakarta.
Baca juga: Komikus Medan Menggambar Kartini
Penerbit Melodi kembali ingin menerbitkan komik wayang. Kosasih diminta bantuannya karena dia satu-satunya komikus yang paling mampu mentransformasikan mitologi itu ke komik. “Penerbit dengan tidak ragu-ragu membayarnya Rp80.000 untuk dua jilid Bomantara (masing-masing 80 halaman), komiknya yang terbaru,” tulis Bonneff. “Komik Kosasih dianggap sebagai karya klasik yang dicetak ulang berkali-kali.”
Bapak Komik Indonesia menghadap Sang Khalik pada dini hari, 24 Juli 2012 di usia 93 tahun.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar