Puisi Gus Mus Melawan Arus
Puisi Gus Mus yang lahir masa Orde Baru. Menyuarakan suara orang-orang yang tertindas.
SOAL puisi masih belum berhenti. Kali ini, Muhammad Agung Izzulhaq, pembawa acara dakwah di salah satu stasiun televisi swasta, dalam twitter-nya mengutip puisi K.H. A. Mustofa Bisri (Gus Mus) berjudul "Kau Ini Bagaimana atau Aku Harus Bagaimana": Kau bilang Tuhan sangat dekat tapi kau memanggilnya dengan pengeras suara setiap saat.
Dia menyebut puisi itu “murah nan tidak bermutu! Bukankah adzan panggilan untuk manusia, bukan untuk Tuhan. Oh Tuhan, banyak sekali makhlukmu yang memilih dungu.”
Warganet pun bereaksi keras. Mereka tak terima karena Agung menyebut “dungu” kepada orang yang menulis puisi itu: Gus Mus, ulama dan penyair yang sangat dihormati. Agung meminta maaf dan mengaku tak tahu kalau puisi itu karya Gus Mus. Dia mengaku cuitannya itu “semata-mata karena kasus ‘puisi konde’ yang saya sesalkan.” Puisi konde maksudnya puisi “Ibu Indonesia” yang dibacakan Sukmawati Sukarnoputri yang memicu reaksi keras sampai dilaporkan ke polisi disusul unjuk rasa, meskipun Sukmawati sudah meminta maaf.
Menurut Abu Asma Anshari, dkk., puisi "Kau Ini Bagaimana Atau Aku Harus Bagaimana" dinilai paling mengesankan di antara karya-karya puisi Gus Mus yang ditulis tahun 1987. Karya puisi itu lugas, sangat telanjang, berbicara apa adanya sesuai realitas politik dan sosial dan bahkan keagamaan yang ada di Indonesia. Orang dapat memahami secara mudah, ke mana arah tujuan puisi Gus Mus dibidikkan.
Di dalam puisi itu Gus Mus mengkritik banyak hal yang dilematis bagi masyarakat menghadapi tuntutan penguasa yang represif saat itu berikut carut marut kehidupan sosial di masyarakat yang saling ingin menang sendiri. Tidak yang penguasa, yang awam hingga rakyat, semua mempunyai perilaku yang mirip: feodalistik, suka memerintah, suka menekan dan seterusnya.
“Warisan watak kolonial yang hingga sekarang sulit dihapus pada sebagian anak bangsa ini adalah sifat feodalis, karakter menjajah dan politik belah bambu antar anak bangsa untuk kepentingan pribadi atau kelompok,” tulis Abu Asma Anshari, dkk., dalam Ngetan-Ngulon Ketemu Gus Mus: Refleksi 61 Tahun K.H. A. Mustofa Bisri.
Sementara itu, sahabat Gus Mus, D. Zawawi Imron, mengatakan bahwa dalam pemerintahan Orde Baru yang otoriter, Gus Mus banyak menyuarakan suara orang-orang yang terpuruk. Penderitaan umat atau rakyat telah menjadi jiwa puisi-puisinya.
“Dan ini saya lihat tidak sekadar dalam puisi saja. Pada kenyataan sehari-hari, Gus Mus sangat akrab dengan orang kecil,” kata penyair terkemuka asal Madura itu dalam Gus Mus, Satu Rumah Seribu Pintu.
Zawawi mengutip bait puisi "Kau Ini Bagaimana Atau Aku Harus Bagaimana" yang menyuarakan suara orang-orang tertindas:
Engkau ini bagaimana/Atau aku harus bagaimana
Katamu aku harus punya rumah/Aku punya rumah rumahku kau ratakan dengan tanah
Engkau ini bagaimana/Atau aku harus bagaimana
Katamu aku harus punya tanah/Aku punya tanah tanahku kau tanami rumah-rumah.
“Sebuah pernyataan yang menyuarakan keprihatinan terhadap kaum pinggiran sehingga suara Gus Mus bersama Rendra, Emha (Ainun Najib), Arief Budiman, Romo Mangun, dan lain-lain benar-benar menyuarakan kegetiran rakyat kecil yang tidak berdaya. Untuk saat itu (Orde Baru, red.) suara seperti itu akan dianggap melawan arus,” kata Zawawi yang kali pertama bertemu Gus Mus di acara “Mubaligh Baca Puisi” di Taman Ismail Marzuki pada 1987. Setelah itu, mereka bersahabat, saling belajar dan berguru.
Lahir pada masa Orde Baru, puisi "Kau Ini Bagaimana Atau Aku Harus Bagaimana" kemudian menjadi bagian dari gerakan Reformasi yang melengserkan Soeharto setelah berkuasa selama 32 tahun.
“Menjelang Reformasi,” tulis Abu Asma Anshari, “puisi itu banyak memberi inspirasi para mahasiswa di kota-kota besar, yang tertuang dalam tulisan pamflet-pamflet dan spanduk-spanduk rentang yang diusung mereka saat berdemonstrasi.”
Tambahkan komentar
Belum ada komentar