Pemerintah Kolonial Libatkan Masyarakat dalam Kawasan Konservasi
Pelibatan masyarakat dalam kawasan konservasi. Tak hanya untuk tujuan ekonomis, tapi juga keseimbangan alam
Penutupan Pulau Rinca di Nusa Tenggara Timur (NTT) untuk melanjutkan pembangunan Taman Wisata ala Jurassic Park mengundang pro dan kontra. Pegiat lingkungan menilai pembangunan mengancam habitat komodo dalam kawasan konservasi dan mengabaikan keterlibatan masyarakat. Tapi pemerintah mengatakan bahwa pembangunan sudah mempertimbangkan dua hal tersebut.
Pelibatan masyarakat dalam kawasan konservasi sejatinya bukan hal baru. Sejarah konservasi alam masa Hindia Belanda telah menunjukkan beberapa kecenderungan pemerintah kolonial untuk melibatkan peran masyarakat dalam konservasi.
“Sejak pertama kali pemerintah kolonial mengeluarkan kebijakan tentang kehutanan, baik hutan lindung, cagar alam maupun suaka margasatwa, penduduk setempat telah menerima perhatian untuk dipertimbangkan,” catat Harto Juwono dan Gunung Sinaga dalam Sejarah Konservasi Alam di Indonesia (Periode 1865–1950).
Baca juga: Perlindungan Komodo dari Masa ke Masa
Pelibatan masyarakat tersua dalam aturan hutan lindung 1875 (Staadblad van Nederlansch Indie over het jaar 1875 no 216). Disebutkan bahwa penduduk sekitar hutan lindung berhak mengambil jenis-jenis tanaman tertentu dalam hutan. Selain itu, ada pula kriteria larangan, pelanggaran, dan kejahatan terhadap hutan lindung yang dikenakan pada setiap orang, termasuk penduduk setempat.
Pemerintah membentuk polisi hutan pada 1897 untuk mengawasi hutan lindung. Kebanyakan mereka orang-orang Eropa. Mereka berhubungan langsung dengan penduduk setempat dan ikut mengabarkan aturan-aturan baru terkait dengan wilayah konservasi. Misalnya ketika pemerintah mulai menerbitkan aturan baru tentang hutan lindung pada 1909.
“Penduduk sekitar boleh memasuki hutan lindung tetapi harus memperhatikan peralatan yang dibawa,” sebut Harto dan Gunung. Meski pemerintah telah menetapkan banyak wilayah konservasi hingga 1909, penebangan secara terbatas di dalam kawasan tersebut tetap diperbolehkan. Sebab, pemerintah memandang segi ekonomi kawasan konservasi perlu juga untuk digali.
Baca juga: Lingkungan dalam Kungkungan
Aturan penebangan cukup ketat bagi orang di luar kawasan konservasi. Tapi cukup longgar untuk penduduk sekitar. Contohnya tersua dalam Besluit Gubernur Jenderal pada 13 April 1914. Ada sejumlah produk kehutanan boleh dimanfaatkan oleh penduduk sekitar, termasuk menjualnya.
“Melalui penjualan, hak milik penduduk pribumi menjadi sah dan tidak bisa diperdebatkan lagi,” terang Harto dan Gunung.
Pemerintah juga memperhatikan nilai-nilai adat dan tradisi lokal dalam mengatur kawasan konservasi. Nilai dan tradisi itu menyangkut pula status tanah marga, tanah adat, hak ulayat, hak kasuwiyang dan sebagainya yang ada dalam kawasan konservasi.
Baca juga: Usaha Awal Melindungi Lingkungan di Hindia Belanda
Dalam Besluit Gubernur Jenderal 12 Oktober 1911, tersua pemanfaatan hasil hutan untuk pembangunan infrastruktur dengan tujuan sosial seperti tempat ibadah, kepercayaan, dan sejenisnya.
Sementara itu, untuk perburuan hewan dalam kawasan konservasi, pemerintah kolonial menerapkan aturan sangat ketat bagi seluruh penduduk. Kebijakan ini dikeluarkan setelah pemerintah meneliti populasi satwa di kawasan suaka margasatwa terus menurun pada 1930. Perburuan liar dianggap sebagai biang keroknya.
Baca juga: Perdebatan Lingkungan di Volksraad
Perburuan liar meliputi tindakan mengganggu atau membunuh hewan. Termasuk pula mencakup apakah sebagian atau seluruh tubuh hewan itu diambil atau tidak. Biasanya perburuan diikuti oleh penjualan kembali sebagian atau seluruh tubuh hewan. Nilai hewan-hewan dari Hindia Belanda memiliki harga tinggi di pasar internasional.
Karena itulah, pemerintah kolonial melarang perburuan di kawasan suaka margasatwa bagi seluruh penduduk pada 1930. Tapi setahun kemudian, pemerintah merevisi aturan tersebut dengan memberikan kelonggaran kepada penduduk sekitar.
Baca juga: Tarik-Ulur Soal Lingkungan Zaman Kolonial
“Bahwa selama penduduk pribumi berburu untuk memenuhi kebutuhan sendiri, apakah untuk mendapatkan daging atau produk hewani lainnya yang dimanfaatkan bagi busana atau hiasan, mereka diizinkan selama tidak mengancam kelestarian hewan tertentu,” lanjut Harto dan Gunung.
Kelonggaran lain bagi para penduduk sekitar termaktub pada aturan tentang perburuan pada 1941. Melalui aturan ini, penduduk sekitar boleh memasuki cagar alam dan suaka margasatwa sepanjang untuk menggembalakan ternak. Sementara orang luar perlu surat izin dari pengelola kawasan konservasi untuk memasukinya.
Posisi istimewa penduduk sekitar dalam kawasan konservasi mulai hilang sejak masa pendudukan Jepang. Selama masa ini, Jepang mengeruk habis kawasan konservasi untuk kepentingan militer. Semua penduduk dilarang memasuki kawasan konservasi. Pelibatan penduduk sekitar hanya terbatas pada pemanfaatan kawasan tersebut untuk kepentingan militer.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar