Panjang Umur Lembaga Sensor
Ada sejak era kolonial, lembaga sensor terus bertahan memangkas berbagai adegan tak pantas.
BISMA Karisma harus rela adegan ciumannya dengan Andania Suri dalam film Silariang: Cinta Yang (Tak) Direstui (2018) dipotong Lembaga Sensor Film (LSF). Pemotongan adegan ciuman film yang rilis pada 18 Januari 2018 itu untuk memperluas jangkauan penonton dari semula kategori 21 tahun ke atas menjadi 13 tahun ke atas.
Silariang menambah daftar film yang merasakan tajamnya gunting lembaga sensor. Sejak zaman penjajahan, lembaga sensor silih berganti muncul. Adegan-adegan seksual, adegan yang bertentangan dengan norma susila dan hukum yang berlaku, dan adegan yang dianggap berpotensi memberi pengaruh negatif menjadi sasaran berbagai lembaga sensor itu.
Sensor Masa Penjajahan
Penyensoran film pada masa kolonial bermula dari kekhawatiran pemerintah Hindia Belanda terhadap banyaknya film, kala itu masih film bisu, yang masuk dan menampilkan adegan bercumbu atau kekerasan. Meski lumrah buat penonton Eropa, film-film itu jadi masalah bagi pemerintah karena ditonton juga oleh pribumi. Bahkan, acara nonton kerap diselenggarakan di desa-desa.
Bagi pemerintah, yang merasa lebih beradab, beredarnya film dengan adegan kekerasan dan percumbuan bisa merusak cintra mereka di mata rakyat jajahan. Oleh karena itu pada 1916 pemerintah mengeluarkan Ordonansi Bioskop untuk mengendalikan peredaran film.
Untuk pelaksanaannya, pemerintah membentuk Commissie voor de Kuering van Films atau Komisi Pemeriksa Film (KPF). Menurut Sarief Arief dalam Politik Film di Hindia Belanda, lembaga tersebut memiliki kewenangan menggunting film yang dianggap merusak kesusilaan umum, ketentuan umum, atau menyebabkan kemunculan gangguan umum yang dapat berpengaruh pada lingkungan.
Namun, ada ketidakrincian kriteria tentang ketentuan umum dan kesusilaan umum dalam ordonansi itu. Akibatnya, KPF di Batavia, Medan, Semarang, dan Surabaya berjalan sendiri-sendiri sesuai interpretasi mereka terhadap ordonansi dan keadaan di wilayah masing-masing.
Di masa pendudukan Jepang, sensor film bejalan amat ketat. Seluruh kegiatan pembuatan film di Asia Tenggara harus dikoordinasikan ke badan di Tokyo yang bernama Nichi’ei.
Untuk mencegah studio film membuat film anti-Jepang, Penguasa Militer Pendudukan Jepang menggunakan panduan perfilman tahun 1940. Menurut panduan itu, film yang dibuat tak boleh mengandung unsur kebarat-baratan, kontennya harus berisi semangat kebangsaan, kebahagiaan keluarga, dan sopan santun. Panduan itu dengan tegas melarang film memuat adegan tentang tokoh borjuis kecil, perempuan merokok, adegan di cafe yang menyuguhkan minuman keras, dan sikap seenaknya.
Di Indonesia, realisasi aturan itu dijalankan oleh Hodohan Nippon Sidosho atau Pusat Kebudayaan dan Propaganda Pemerintah Militer Jepang di Indonesia. Lembaga ini selain menjalankan koordinasi dengan Nichi’ei juga mengawasi hulu-hilir produksi film. Semua skrip film mesti masuk lembaga ini. Bila ada skrip tak sesuai Panduan Perfilman 1940, lembaga ini meminta pembuat film menulis ulang skrip.
Hasilnya, tulis Misbach Yusa Biran dalam Peran Pemuda dalam Kebangkitan Film Indonesia, tidak ada film-film masa Jepang yang keluar dari “kebijaksanaan nasional tentang film”. Mayoritas film yang beredar pada masa Jepang adalah film propaganda tanpa adegan bercumbu.
Sensor Indonesia
Penyensoran film berlanjut ketika Indonesia sudah berdiri, dijalankan oleh Panitia Sensor Pusat (PSP) yang dibentuk tahun 1950. Antara Bumi dan Langit (1950) karya sutradara Huyung, film Indonesia pertama yang memuat adegan ciuman, menjadi film pertama yang kena cekal. Adanya pemberitaan media massa yang memicu protes masyarakat membuat PSP menahan film itu selama dua tahun sekaligus meminta produsennya merevisi.
Film itu baru bisa beredar setelah adegan ciuman dibuang dan judulnya diganti menjadi Frieda. Frieda meraih sukses besar. Namun, Armijn Pane sebagai penulis cerita menolak namanya dicantumkan dalam Frieda.
Menyusul lesunya perfilman nasional usai transisi politik dari Orde Lama ke Orde Baru, pemerintah membuka keran impor film. Derasnya arus film impor membuat bioskop-bioskop kebanjiran penonton. Tapi di sisi lain, film impor mematikan perfilman nasional. Para sineas tanahair tak sanggup bersaing dengan film-film impor yang sebetulnya banyak memuat adegan seks dan kekerasan juga.
Para sineas tanahair lalu minta diberi kebebasan menggunakan unsur seks dalam film-film garapan mereka. Permintaan itu dikabulkan pemerintah demi menjaga kelangsungan industri film nasional. Lembaga sensor yang baru, Badan Sensor Film (BSF), pun melonggarkan guntingnya mulai 1970-an.
Film-film berkonten adegan cumbuan bermunculan sejak itu. Bernafas dalam Lumpur (1970) yang dibintangi Suzanna menjadi pionirnya. Film ini diangkat dari cerita bersambung “Berenang dalam Lumpur” yang dimuat Majalah Varia.
Berbeda jauh dari nasib Frieda, Bernafas dalam Lumpur lolos dari gunting sensor meski di dalamnya sarat adegan dan dialog kasar serta tak senonoh. Hanya masyarakat Bandung yang tak bisa menikmati film itu akibat adanya larangan pemutaran film tersebut dari Komando Distrik Militer setempat.
Menyusul kesuksesan Bernafas dalam Lumpur di pasaran, film-film serupa bermunculan. Setelah Insan Kesepian (1971), ada Dara-Dara (1971), Bumi Makin Panas (1973), dan sederet judul film lainnya. Pembuatan film-film dengan adegan bercumbu merupakan cara para sineas tahun 1970-an untuk bertahan dan bersaing dengan film-film impor.
“Film Indonesia yang laku adalah film-film yang dibuat dengan cerita dan penyajiannya serampangan tapi penuh dengan bumbu yang bisa mengimbangi kecabulan film impor kodian tipe ‘sex education’,” tulis Misbach Yusa Biran dalam Selintas Kilas Sejarah Film Indonesia.
Namun, gunting BSF tetap tajam terhadap film-film non-konten seksual. Film-film macam Max Havelaar (1975), Bandot Tua (1977), atau Nyoman dan Presiden justru tertahan di BSF. Max Havelaar harus ngendon 10 tahun di BSF karena menampilkan sosok orang Eropa baik hati sementara penguasa pribumi ditampilkan sebagai antagonis. Hal itu jelas bertentangan dengan konsep nasionalisme “hitam-putih” yang dibangun Orde Baru. Bandot Tua, yang mengisahkan kecemburuan seorang pensiunan jenderal kepada selingkuhannya yang jadi model lukisan, tak kalah sial. Film ini mesti tiga kali ganti judul. Baru setelah jadi Cinta Biru film ini bisa beredar.
Ketika BSF ganti nama jadi Lembaga Sensor Film (LSF) tahun 1994, ketajaman guntingnya tak berubah bahkan justru kian tumpul. Hal itu dibuktikan dari peredaran film di pasaran. Bila film-film tahun 1970-an dan 1980-an hanya menampilkan konten seksual, film-film 1990-an justru menampilkan konten seksual plus judul vulgar seperti Gairah Malam (1993), Bebas Bercinta (1995), Akibat Bebas Seks (1996).
Usai reformasi, melalui UU No. 33 pemerintah mengatur perfilman mulai dari pendidikan hingga tata edar film Indonesia. Namun, konten seksual tetap hadir dalam film-film yang muncul dalam periode ini, seperti Buruan Cium Gue (2004), Hantu Puncak Datang Bulan (2010), Pocong Mandi Goyang Pinggul (2011).
LSF tak tinggal diam, tentu. Buruan Cium Gue dipaksa ganti judul jadi Satu Kecupan. Hantu Puncak Datang Bulan selain ganti judul jadi Dendam Pocong Mupeng juga harus kena gunting 28 adegan syur-nya hingga menyisakan durasi 64 menit dari sebelumnya 90 menit.
Namun, bagi sebagian masyarakat sensor oleh badan-badan yang ada masih lemah. Beragam badan sensor yang ada seolah bertindak tebang pilih, mereka galak kepada film-film yang mengancam kekuasaan tapi lemah terhadap film-film komersil yang sebetulnya sarat konten kekerasan ataupun seksual.
Akibatnya, self-censorship di masyarakat menguat. Saat Pembalasan Ratu Laut Selatan dirilis tahun 1988, masyarakat memprotes keras. Protes itu memaksa BSF memeriksa ulang film tersebut agar bisa beredar lagi. Di Cianjur, masyarakat melarang beredarnya film Bumi Makin Panas. Pasca-Reformasi, dai Abdullah Gymnastiar lantang mengecam Buruan Cium Gue. Enam tahun kemudian, MUI mencekal Hantu Puncak Datang Bulan.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar