Nostalgia Si Unyil, Hiburan Anak-anak di Zaman Orde Baru
Si Unyil diciptakan untuk hiburan anak-anak. Namun, pemerintah Orde Baru dalam beberapa episode menyisipkan program-program pembangunan.
SIAPA yang tak mengenal Si Unyil? Program televisi di TVRI ini pernah menjadi tayangan yang paling dinanti anak-anak pada zaman Orde Baru. Episode pertama serial Si Unyil tayang pada 5 April 1981 dan ditayangkan terus-menerus hingga menjadi program fiksi yang paling lama disiarkan di Indonesia. Sejak 1981 hingga 1993 Si Unyil telah tayang sebanyak 603 episode.
Si Unyil, yang mengenakan kopiah hitam dengan sarung dililitkan ke bahu, digambarkan sebagai anak berusia sekitar tujuh tahun yang memiliki rasa ingin tahu yang tinggi. Bersama kawan-kawannya, Usro, Cuplis, Si Ucrit, Endut, dan Meilani, Unyil mencoba memecahkan berbagai masalah di Desa Suka Maju. Selain itu, di setiap episode Unyil berinteraksi dengan karakter lain seperti Pak Raden, Mbok Bariah, Pak Ogah, dan Pak Ableh.
Rencana pembuatan Si Unyil muncul akhir tahun 1970-an. Kala itu, Pusat Produksi Film Negara (PPFN) –kini Perum Produksi Film Negara (PFN)– hendak membuat tayangan televisi khusus anak-anak. Direktur PPFN Gufron Dwipayana mengajak Kurnain Suhardiman, penulis naskah dan pengarang anak-anak terkemuka, untuk ikut serta dalam pembuatan Si Unyil. Sementara urusan merancang dan membuat boneka Si Unyil dan kawan-kawan diserahkan kepada Suyadi yang juga menjadi pengisi suara karakter Pak Raden.
Baca juga:
Dalam koran Tempo, 31 Oktober 1981, Dwipayana mengungkapkan alasan Si Unyil diproduksi dalam bentuk boneka. “Kenapa boneka, bukan kartun saja? Karena film boneka lebih murah dan mudah mencapai sasaran,” jawabnya. Ia menganggap dana sebesar Rp200 juta cukup untuk produksi awal serial Si Unyil, sementara membuat film kartun lebih memakan biaya. Satu episode durasi sepuluh menit misalnya, film kartun bisa memakan biaya Rp40 juta.
Tak butuh waktu lama hingga Si Unyil menjadi tontonan wajib anak-anak Indonesia di Minggu pagi. Cepatnya serial ini menjadi populer mendorong PPFN memproduksi film drama, Unyil Jadi Manusia dengan aktor-aktor sesungguhnya. Film ini disambut baik oleh penonton anak-anak di seantero negeri. Begitu populernya serial ini membuat Si Unyil tak hanya ditayangkan setiap Minggu. Sejak tahun 1984 hingga 1987 Si Unyil juga tayang setiap Rabu siang.
Sebagai siaran televisi yang diproduksi pemerintah, Si Unyil tak hanya menjadi hiburan anak-anak tetapi juga menjadi media untuk menyiarkan gagasan-gagasan pemerintah. Philip Kitley menulis dalam Konstruksi Budaya Bangsa di Layar Kaca, Si Unyil dipandang pemerintah dapat menjadi corong untuk menanamkan nilai-nilai P-4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) kepada generasi muda. Popularitas Si Unyil juga menarik perhatian departemen-departemen pemerintah untuk mendanai produksi serial ini.
“Dana departemen diajukan dengan perjanjian episode yang ditayangkan Si Unyil mengangkat masalah yang dikehendaki departemen penyandang dana. Akibatnya, Departemen Kesehatan menanggung dana episode-episode yang mengangkat kebersihan desa, peran puskesmas, perlunya hati-hati dalam menggunakan obat, dan semacamnya,” tulis Kitley.
Baca juga:
Sementara itu, Departemen Lingkungan Hidup yang turut mendanai produksi Si Unyil mendapat episode-episode yang mendorong anak-anak untuk memelihara lingkungan. Sedangkan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia menanggung episode seperti “ABRI Masuk Desa” (1982/83), “Hidup ABRI” (1988/89), “ABRI Menang” (1989/90), dan “ABRI Kita” (1991/92). Dana produksi juga didapat dari beberapa kelompok masyarakat yang menggunakan serial ini untuk menyebarkan informasi yang berkaitan dengan kegiatan mereka.
Propaganda pemerintah dalam episode Si Unyil mendapat reaksi dari masyarakat. Misalnya, Tempo mengabarkan, kisah Si Unyil dalam “Raja Diraja” (TVRI, 11 dan 18 Oktober) dikritik seorang penonton. Dalam episode tersebut, Si Unyil yang tersesat di suatu kerajaan menjelaskan tentang sistem pemerintahan suatu negara (Indonesia) kepada sang raja. Ia juga menjelaskan tentang hak-hak warga negara dalam pemilihan umum. Hal inilah yang disorot oleh penonton tersebut. Ia menganggap pembahasan ini terlalu jauh untuk sebuah program bagi anak-anak.
Direktur PPFN Gufron Dwipayana menjawab kritik ini bahwa pihaknya biasanya berkonsultasi lebih dahulu dengan sejumlah pendidik terkait tema yang akan ditayangkan dalam tiap episode Si Unyil. Jika tema yang akan ditayangkan terlalu berat, maka ceritanya akan dibatalkan. “Semula memang serial boneka itu dikerjakan sebagai hiburan untuk anak-anak. Ke dalam kisahnya itu disisipkan pesan-pesan pemerintah. Jadi semacam pelajaran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila buat anak-anak…Namun, saya tidak ingin Si Unyil kelihatan kasar membawakan pesan (propaganda) pemerintah,” kata Dwipayana dikutip Tempo.
Penulis dan wartawan Arswendo Atmowiloto menyoroti propaganda pemerintah dalam tayangan Si Unyil. Ia menulis dalam Telaah tentang Televisi, pembahasan mengenai pembangunan maupun pemilihan umum memang bukan hal yang tabu dan dapat dieksplorasi. Namun, karena serial ini menyasar penonton anak-anak, maka episode yang ditayangkan dalam serial ini haruslah sesuai dengan kacamata anak-anak. “Di sinilah posisi seniman ditantang. Ditantang kemampuannya menghidangkan porsi yang bisa dimamah oleh penonton Unyil yang memang dihadirkan sebagai anak-anak,” tulisnya.
Baca juga:
Popularitas Si Unyil sepanjang tahun 1980-an tak luput dari tantangan. Ketika Kurnain Suhardiman meninggal pada 26 Februari 1991, penulis skenario Si Unyil diserahkan ke orang lain. Serial ini pun akhirnya tidak mampu mempertahankan popularitasnya. Setelah menayangkan 52 episode tahun 1990 dan 1991, Si Unyil berhenti diproduksi pada 1993. Menurut Kitley, di samping merosotnya minat pemirsa secara alami karena masa penayangan yang begitu panjang, upaya menjadikan Si Unyil model subjek anak-anak ideal sebagai bagian pembangunan nasional dipandang semakin jauh dari tujuan awal program ini diciptakan, yakni untuk hiburan anak-anak.
Selama sepuluh tahun, Si Unyil menjadi program televisi untuk anak-anak yang paling populer. Namun, hasrat menciptakan serial “khas Indonesia” dengan memakai serial anak-anak ini untuk mempropagandakan pembangunan nasional menjadi problem tersendiri. “Episode yang terlalu menggurui membayangi kondisi produksi serial ini dan menimbulkan persepsi bahwa serial ini cenderung memanipulasi pemirsanya,” tulis Kitley. Oleh karena itu, ketika stasiun televisi swasta bermunculan pada 1990-an dan menawarkan program-program acara yang lebih menarik, popularitas Si Unyil pun tergeser.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar