Mohammad Arief Anak Santri
Pencipta lagu “Genjer-genjer” lahir dari keluarga santri. Ditegur ayahnya ketika bikin lagu jam tiga pagi.
Lagu “Genjer-genjer” sering kali dikaitkan dengan peristiwa G30S. Seperti digambarkan dalam film propaganda Pengkhianatan G30S/PKI, lagu rakyat Banyuwangi ini dinyanyikan oleh Gerwani dan Pemuda Rakyat ketika para jendral disiksa. Padahal, lagu itu merepresentasikan penderitaan rakyat pada masa pendudukan Jepang. Mohammad Arief penciptanya, juga merupakan anak santri.
“Bung, sebenarnya ayah saya ini seorang santri tulen,” katanya kepada wartawan Minggu Pagi, 3 Oktober 1965.
Mohammad Arief bercerita, suatu hari ketika ia hendak menggubah sebuah lagu, ayahnya yang sedang sembahyang merasa terganggu.
“Ketika saya menggali lagu-lagu dengan nada rengeng-rengeng (bergumam-gumam) di waktu malam buta sampai jam 3–4 pagi, pernah ayah itu menegur saya, karena saya dianggap mengganggu dia yang sedang sembahyang itu,” terangnya.
Baca juga: Soeharto Datang, Genjer-Genjer Berkumandang
Lahir dari lingkungan relijius, Mohammad Arief justru berminat pada musik rakyat yang revolusioner. Ia berkisah bagaimana menggubah lagu “Genjer-genjer”. Katanya, dulu tidak ada orang yang peduli pada tumbuhan genjer yang dianggap gulma. Pada masa pendudukan Jepang, ketika orang-orang kelaparan, genjer mulai diolah sebagai makanan.
“Dimasak, nasinya jagung, dengan sambal yang agak pedas, sudahlah nikmat betul bagi mereka. Terlebih-lebih makannya di tengah sawah pada saat-saat mereka mengaso bekerja,” tulis Minggu Pagi.
Mohammad Arief terinspirasi dari penderitaan dan perjuangan rakyat Banyuwangi bertahan hidup. Pada 1953, ia mulai menciptakan lagu “Genjer-genjer”. Lagu ini dengan cepat populer di Banyuwangi.
Rumah Mohammad Arief kemudian menjadi sanggar seni. Ia mendirikan organisasi seniman Srimuda (Seni Rakyat Indonesia Muda). Angklung Banyuwangi, menjadi alat musik wajib bagi Srimuda. Mohammad Arief juga merupakan seniman pembuat angklung.
Baca juga: Alkisah Cenderamata Lekra
“Sebab untuk mendapatkan nafkah hidup sehari-harinya, Moh. Arief membuat angklung. Baik untuk memenuhi pesanan umum, maupun tidak. Angklung ini adalah alat mutlak bagi seni di daerah Banyuwangi, sebab semua lagu-lagu di daerah itu dinyanyikan dengan iringan angklung,” tulis Minggu Pagi.
Sekira tahun 1963, lagu “Genjer-genjer” populer di seluruh Indonesia. Bahkan, lagu ini dinyanyikan oleh dua penyanyi kawakan, Lilis Suryani dan Bing Slamet. Kepopuleran lagu ini tak lepas dari peran Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) di mana Mohammad Arief juga bergabung.
Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan dalam Lekra Tak Membakar Buku, menyebut di kalangan “keluarga Komunis” lagu “Genjer-genjer” menjadi hit dan kebanggaan mereka.
“Jika ada yang menjustifikasi musik dan lagu, termasuk ‘Genjer-genjer’, sebagai simbol/morse tentang peristiwa pagi buta 1 Oktober 1965, menjadi sangat wajar. Sebab Lekra-lah yang mengerek tinggi-tinggi lagu yang berasal dari daerah udik Jawa itu menjadi lagu nasional,” tulis Rhoma dan Muhidin.
“Genjer-genjer” tak hanya populer sebagai lagu. Lagu-lagu lain yang dibawakan Srimuda, sering kali juga dikenal sebagai “Genjer-genjer”. Bahkan, Srimuda sendiri juga mendapat julukan “Genjer-genjer”. Mohammad Arief bersama Srimuda setidaknya telah menggubah sekira 40 lagu daerah khas Banyuwangi dengan sentuhan kerakyatan dan revolusioner. Ia juga mendirikan sanggar-sanggar angklung di berbagai desa di Banyuwangi.
Mohammad Arief menjadi anggota DPRGR Tk II Banyuwangi mewakili golongan karya seniman sejak 1955. Di Lekra, ia merupakan anggota Pleno Pusat Lembaga Musik Indonesia. Pasca G30S, ia ditangkap dan dipenjara di Kalibaru dan Lowokwaru, Banyuwangi. Namun, sejak Desember 1965, tak ada lagi kabar bagaimana nasib Mohammad Arief.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar