Merekam Sejarah Musik Ilustrasi Film
Dulu pianis ikut tampil di dekat layar bioskop untuk memainkan musik. Sering tidak sinkron antara musik dan adegan film.
Film dan musik dua produk seni berbeda. Yang pertama menekankan bahasa gambar, sedangkan yang kedua memadukan ragam suara. Tapi keduanya bisa menyatu dalam film. Musik dalam film lazim disebut musik ilustrasi (music score). Kegunaannya untuk memperkuat cerita film. Nyaris sejajar dengan aspek sinematografi.
“Contohnya music score film Superman dan Mission Impossible. Kuat banget membangun nuansa adegan bahkan karakter filmnya,” kata Sofian Purnama, dosen kritik dan apresiasi film di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.
Tak aneh jika banyak musik ilustrasi terkenang kuat di ingatan penonton. Ketika seseorang mendengar musik ilustrasi, dia pun bisa langsung teringat filmnya.
Jalan musik untuk mencapai bagian integral dan terkenang dalam film sungguh panjang. Musik ilustrasi bertumbuh dari penayangan film di Paris, Prancis, pada 1890-an. Film-film masa ini masih bisu. Tak bersuara. Tapi tempat pemutaran film selalu riuh oleh suara. Bisa dari tepuk tangan penonton, gemerisik proyektor, atau dari permainan seorang pianis.
Peran Pianis
Kehadiran pianis di tempat pemutaran film mirip dengan situasi di gedung teater. Sebab tempat penayangan film sebermula terpengaruh oleh tradisi pertunjukan teater. “Film sering ditayangkan menyerupai latar teater,” catat Pauline Ray dalam Music in Film: Soundtracks and Synergy.
Permainan piano merupakan suguhan sebelum atau setelah tayangan film. Pianis tidak tampil secara khusus untuk mengiringi tayangan film sampai 1905. Masa ini film menyebar ke luar Prancis, ke banyak tempat, dan kian populer.
Film dinikmati oleh banyak orang dan mulai mempunyai tempat penayangan khusus bernama bioskop. Perpindahan film dari teater ke bioskop mengubah tugas pianis. Mereka hadir di bioskop untuk mengiringi tayangan film. Selain untuk menarik penonton datang ke bioskop, permainan mereka juga menyelubungi suara gemerisik dari proyektor. Mereka membawakan potongan-potongan komposisi yang sudah ada dan terkenal sepanjang film tayang.
Baca juga: Memahami Masa Lalu Melalui Musik
“Karya-karya musik simfoni dan opera, terutama dari Wagner, Verdi, Puccini, Pizet, Dvorak, dan Tschaikowsky, banyak ditempel untuk mencocokkan gerak dan musik dalam film bisu,” tulis Suka Hardjana dalam “Musik Film Belum Dianggap Penting”, termuat di Musik Antara Kritik dan Apresiasi.
Atas permintaan distributor dan pemilik bioskop, pianis sebisa mungkin menyesuaikan dentingannya dengan adegan film. Pianis andal biasanya akan membunyikan mars bertempo cepat kala film menampilkan adegan kejar-kejaran atau saling menembak.
Sebaliknya, musik berirama lambat lazimnya terdengar saat adegan sedih. Tapi ada waktunya keadaan berubah menjadi tak selaras sama sekali. Ditambah lagi pianisnya kurang cakap bermain. Hanya menempel musik di sepanjang penayangan film.
“Kadang–kadang lagu itu tidaklah amat sesuai dengan apa yang digambarkan di atas layar putih,” catat Sudiro Muntahar dalam “Iringan Lagu untuk Film”, termuat di Minggu Pagi 26 Agustus 1951. Misalnya saat adegan sedih, musiknya justru berirama cepat.
Baca juga: Konflik Aceh Mereda Tapi Bioskop Terlupa
Penonton akan heran bila mendengar musik tidak sesuai gambar. Sebagian lainnya justru tertawa lantaran kejadian janggal ini. Tapi mereka tetap tinggal di bioskop hingga film selesai.
Kejadian janggal lainnya berkutat pada perbedaan musik dalam satu bioskop dengan bioskop lainnya. Filmnya sama, tetapi musiknya berbeda. Sebab tiap bioskop merekrut pianisnya masing-masing. Mereka membawakan musik sesuai kemampuannya.
Kesilapan-kesilapan tadi melahirkan gagasan tentang musik khusus film. Musik yang berbeda dari satu film dengan film lainnya dan unik untuk tiap adegan. Tetapi musik ini harus sama di tiap tempat pemutaran film. Siapapun pianisnya.
Ini mensyaratkan kejelian pianis dalam melihat isi film. Mereka harus mempelajari cerita tiap film lebih dulu, kemudian merumuskan musik seperti apa yang cocok untuk film tersebut.
The Birth of a Nation
Pemilik bioskop dan distributor film membantu pianis dengan menyarankan banyak hal tentang musik seperti apa yang akan diperdengarkan kepada penonton. Tapi pianis juga memiliki posisi tawar dalam mengajukan musiknya.
Pianis merasa butuh lebih banyak rekan kerja dalam menggarap musik ilustrasi. Maka mereka mengusulkan bekerja dalam kelompok orkestra.
Hasil nyata dari interaksi itu tampak dalam film berjudul Birth of a Nation, karya D.W. Griffith, sutradara asal Amerika Serikat. Birth of Nation mengisahkan centang perenang rasisme di Amerika Serikat dari rentang pembunuhan Abraham Lincoln, periode Perang Saudara (Civil War), sampai sepak terjang Ku Klux Klan (kelompok anti-kulit hitam di Amerika Serikat) sepanjang 1860-an.
Baca juga: Film Terbaik Pertama di Ajang Oscar
Birth of Nation tayang selama tiga jam lebih dan menggunakan instrumen musik klasik selain piano untuk mendukung narasi film. Kelompok orkestra ini hadir langsung di bioskop dan harus memainkan musik ilustrasi gubahan Joseph Carl Breil.
Teknologi film berkembang pesat pada 1920-an. Pembuat film menemukan teknik memasukkan suara ke dalam film. Seraya itu, teknologi perekaman suara muncul. Era film bisu pun berakhir. Begitu pula dengan masa kehadiran kelompok orkes di bioskop. Tapi produser tetap meminta mereka bekerja membuat musik ilustrasi.
Bedanya, kelompok orkes menghasilkan karya di ruang studio dalam bentuk piringan hitam. Kemudian pemilik bioskop memperdengarkan karya itu di bioskop melalui seperangkat tata suara.
Keberagaman Aliran
Memasuki 1930-an, musik ilustrasi menemukan pijakan kuat dalam industri film. “Elemen suara dan musik pelan-pelan berkembang jadi unsur utama yang nyaris sejajar dengan sinematografi,” ucap Sofian Purnama.
Produser film Hollywood mencari komponis mumpuni untuk menciptakan musik ilustrasi sepanjang 1930-1950-an. Nama-nama tenar bermunculan. Antara lain Max Steiner, Enrich Korngold, Alfred Newman, dan Bernard Hermann. Mereka tidak berfokus pada satu jenis musik seperti periode sebelumnya. Mereka kini bukan lagi bagian terpisah dari tayangan film, melainkan selayak aktor dan aktris film itu sendiri.
Beragam aliran musik populer turut mengisi cerita film sepanjang periode ini. Karya-karya para komponis direkam dan dijual ke banyak negara, termasuk Indonesia. Seringkali produser suatu negara menggunakan musik film produser negara lainnya setelah membayar hak penggunaannya.
Baca juga: Sejarah Musik Dugem
Dalam masa ini juga dikenal musik tema atau soundtracks film. Keistimewaannya terletak pada penyajian vokal penyanyi terkenal dalam musik film. Selain untuk menambah tensi dan emosi penonton, musik tema juga ditujukan untuk mempromosikan film sebelum tayang di bioskop.
Beralih ke masa 1960 hingga 1970-an, musik jazz dan disko merebut perhatian orang. Aliran ini menyemarakkan corak musik ilustrasi. Film-film dengan musik ilustrasi beralas jazz dan disko laris manis dan bermukim kuat di telinga penonton.
Roda teknologi berputar cepat. Cara orang membuat musik berubah. Musik elektronik mengguncang dunia pada 1980-an. Masa ini penggabungan elemen-elemen bunyi bisa diperoleh dengan mudah dari peralatan khusus nan canggih. Dampaknya pun terasa pada musik ilustrasi. Adegan cepat dan mencekam dalam film Psycho 2, The Boogeyman, dan a Nightmare on Elm Street begitu cocok dengan musik jenis ini. Emosi dan ketegangan penonton pun mencapai klimaks.
Baca juga: Mengalun Bersama Sejarah Jazz
Hingga sekarang, pembuat film-film laris Hollywood menggarap musik ilustrasi secara serius. Resep ini sukses menjadikan film Marvel Cinematic Universe seperti Guardian of the Galaxy (GotG) berasa lebih.
“Menurut saya cerita GotG itu biasa saja untuk ukuran film aksi atau fantasi zaman sekarang. Tapi kepiawaian penulis cerita dan penata musiknya bikin film ini lebih dari biasa,” tutur Sofian.
Bagaimana dengan musik ilustrasi di Indonesia? Jawabannnya anda temukan setelah artikel ini.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar