Menjelajah Toko Merah
Bangunan dari masa VOC ini awalnya tempat tinggal. Gonta-ganti pemilik hingga dinasionalisasi oleh pemerintah. Mengapa dinamai Toko Merah?
Bangunan berbata merah itu tampak mencolok di antara bangunan tua di sepanjang Jalan Kali Besar, Jakarta. Pelancong bersepeda onthel silih berganti menyinggahinya. Berbekal kamera digital, mereka asyik menjepret bagian depan bangunan itu. Prasasti yang terpampang di tembok depan bangunan menjadi latar untuk foto mereka.
Bangunan berusia hampir tiga abad itu bernama Toko Merah. Sejak 2003 terbengkalai setelah tak lagi dipakai sebagai kantor PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI), perusahaan BUMN yang bergerak di bidang perdagangan dalam negeri dan internasional.
“Sejak kami berkantor di Jalan Abdul Muis [Jakarta Pusat], bangunan ini kosong. Sejak itu, kami mengeluarkan biaya perawatan Rp50 juta per bulan,” kata Robert Tambunan, Kepala Unit Pengelola Bangunan. Ketimbang merugi, lebih baik bangunan ini didayagunakan agar ikut berperan dalam geliat pariwisata di Kota Tua.
“Ke depannya, kami akan menjadikan bangunan ini sebagai function hall. Yang mau mengadakan pameran, resepsi nikah, dan rapat bisa di sini,” ujar Robert berpromosi.
Masuk ke dalam, orang boleh merasa kembali ke masa Kongsi Dagang Belanda (VOC). Semua interiornya masih asli. Lantai marmer bikinan Italia tetap dipertahankan. Begitu pula kusen jendela, pintu, dan langit-langitnya. Di ruangan utama, suasana begitu lapang meski ada partisi terbuka yang membentang di tengahnya. Di ruang seluas 30x10 meter itu suhu udara tak terasa panas karena langit-langitnya tinggi. Di sayap kanan tengah, terdapat ruangan untuk bekerja para kasir di zaman VOC dengan ventilasi udara yang lebar dan besar.
Modal Warisan
Toko Merah mulanya tempat tinggal yang didirikan pada 1730 oleh Gustaaf Willem Baron van Imhoff saat menjabat sekretaris II Hooge Regering (pemerintahan tinggi) merangkap water fiscal (kepala urusan pabean). Apakah dia cukup kaya untuk membangun rumah megah yang menelan biaya besar itu?
Menurut Thomas B. Ataladjar dalam Toko Merah, Van Imhoff mewarisi kekayaan ayahnya, Willem Hendrik Baron van Imhoff, bangsawan terpandang di Leer, Belanda. Sebulan setelah kematian ayahnya, dia dikirim ke Batavia sebagai saudagar pembantu (onderkoopman) oleh Serikat Dagang Amsterdam. Status kebangsawanannya memungkinkan dia memiliki koneksi baik dengan sesama kaum bangsawan dan petinggi VOC. Apalagi, dia menikahi Catharina Magdalena Huysman, anak Anthony Huysman, direktur perdagangan VOC.
“Bukan mustahil pembangunan Toko Merah merupakan rencana bersama dan biayanya patungan antara mantu dan mertua, karena sepeninggal suaminya, janda Huysman harus meninggalkan rumah dinas di Kastil Batavia,” tulis Ataladjar, mantan pegawai PT Dharma Niaga yang berkantor di Toko Merah dari 1977–2003.
Baca juga: Rumah-Rumah Bikinan VOC
Selain modal warisan, karier Van Imhoff melejit, yang tentu mempengaruhi pendapatan dan status sosial ekonominya. Jabatannya, mulai dari saudagar kelas satu (koopman) merangkap kepala urusan gaji serdadu VOC, saudagar kepala (opperkoopman), serta sekretaris II pada pemerintahan tinggi (Hooge Regering) merangkap kepala urusan pabean (water fiscal), merupakan posisi “basah” pada masa kejayaan VOC.
Van Imhoff kemudian menjadi gubernur jenderal VOC dari 1743–1750. Pada masa ini, rumah mewahnya menjadi kampus dan asrama Academie de Marine yang dirintis dan resmikannya pada 7 Desember 1743. Setelah kematian Van Imhoff pada 1 November 1750, Akademi itu dibubarkan pada 11 November 1755 oleh gubernur jenderal penggantinya, Jacob Mossel. Bangunan ini kemudian menjadi hotel mewah (heerenlogement) dengan pemilik bergonta-ganti.
Mengapa Toko Merah?
Pada masa kejayaan VOC, bangunan ini sangat strategis. Ia berada di kawasan jantung kota Batavia, berdekatan dengan balaikota (stadhuis) sebagai pusat pemerintahan dan tepi barat Kali Besar (de Groote Rivier) sebagai pusat bisnis. Saat itu, Sungai Ciliwung merupakan urat nadi lalu lintas air yang ramai dilayari perahu dagang. Kawasan Kali Besar dilengkapi gedung perkantoran dan pergudangan, yang sekaligus merupakan rumah tinggal pegawai. Kawasan ini juga dikenal sebagai salah satu hunian elite di kota Batavia.
Menurut Ataladjar, corak dan ciri bangunan dalam kota Batavia cenderung mencontoh bangunan di Belanda, karena para petinggi VOC ingin membangun Batavia seperti Amsterdam. Umumnya bergaya Boer seperti bertingkat dua atau tiga, letaknya berhimpitan, tanpa halaman depan dan samping, serta ruangannya luas dan berlangit-langit tinggi.
“Gedung Toko Merah merupakan bangunan yang memiliki arsitektur dengan ciri umum seperti itu,” tulis Ataladjar.
Ataladjar menambahkan, Toko Merah sebenarnya bangunan kembar atau dua rumah di bawah satu atap, terdiri dari dua bagian: bangunan bagian utara dan selatan. Kesan kembar sudah tampak dari depan bangunan dengan adanya dua pintu masuk, dan terbukti pula dengan adanya parapet pemisah, yang biasa dibuat untuk mencegah, jika terjadi kebakaran, jangan menjalar ke bangunan sebelahnya.
Baca juga: Duka Warga Tionghoa Sejak Masa VOC
Tembok depan Toko Merah terbuat dari susunan batu bata yang tak diplester. Menurut sejarawan Adolf Heuken dalam Historical Site of Jakarta, batu bata tersebut dicat putih. Pada pemugaran tahun 1923, direksi Bank voor Indie menggantinya dengan warna merah. Nama Toko Merah sendiri diperoleh dari kusen dan jendela yang dicat merah tua dengan sedikit cat emas yang memberikan nuansa ketionghoaan –selain dulu meubelnya pun berwarna sama.
Ataladjar sependapat dengan Heuken, bahwa warna merah pada permukaan batu bata tembok depan bukan warna asli. Tetapi dia menyebut warna merah ati mulai dicat sejak bangunan itu berfungsi sebagai toko milik seorang Tionghoa, Oey Liauw Kong pada 1851. Sejak itu, merah sebagai warna khas arsitektur Tionghoa menguasai bangunan ini, baik kusen pintu dan jendela, interior di dalam maupun tembok depan. Oey Liauw Kong meninggal pada Desember 1851, dan pengelolaan Toko Merah dilanjutkan oleh keturunannya, Oey Hok Tjiang dan Oey Kim Tjiang sampai 1895.
“Hal ini memungkinkan populernya nama Toko Merah sejak pertengahan abad ke-19, jauh sebelum dipugar oleh Bank voor Indie pada 1923,” tulis Ataladjar. Namun, mungkin juga setelah bangunan ini tak berfungsi sebagai toko di awal abad ke-20, tembok depan ini dicat dengan warna putih sampai dipugar oleh Bank voor Indie.
Selain Bank voor Indie, beberapa firma pernah menempati bangunan ini sebagai kantor.
Milik Republik Indonesia
Masuk ke dalam, di ujung ruangan utama, ada dua tangga lebar untuk menuju lantai dua. Karpet merah menutupi tangga itu sehingga terlihat elegan. Lambang Jacob Berg terpampang di balkon lantai dua. Lantai dua terdiri atas enam ruangan yang membentuk huruf U. Semuanya dipisahkan tembok putih polos.
“Ya, seperti inilah. Kami mengembalikan seperti semula interiornya. Wallpaper kami kupasi. Tapi kami percantik ruangan ini dengan lampu kristal,” ujar Robert. Untuk menambah sejuk udara, AC dipasang di tiap ruangan, yang kelak dipakai sebagai kamar pengantin dan keluarga mempelai jika ada yang menyewa Toko Merah untuk resepsi nikah.
Baca juga: Meniti Jalan Nasionalisasi
NV Jacobson van den Berg (Jacob Berg), perusahaan asuransi dan industri, salah satu The Big Five (lima perusahaan milik Belanda), mulai berkantor pada 1934. Namun ketika menduduki Indonesia, tentara Jepang membantai pimpinan dan pejabat Jacob Berg serta memakai gedung itu sebagai dinas kesehatan tentara namun lebih berfungsi sebagai gudang ketimbang kantor. Jepang menyerah, tentara Sekutu menempati gedung ini untuk sementara. Setelah NV Nigeo Export berkantor sebentar, Jacob Berg kembali menempati gedung ini pada 1946.
Saat terjadi nasionalisasi perusahaan-perusahaan milik Belanda pada akhir 1950-an, Serikat Buruh Jacob Berg mengambil alih perusahaan tempatnya bekerja. “Karyawan serta merta mengibarkan bendera Merah Putih di gedung VOC ini. Mereka juga memasang spanduk besar pada tembok depan bangunan, bertuliskan kata-kata ‘Milik Republik Indonesia’,” tulis Ataladjar.
Setelah dinasionalisasi, pada 1959 dibentuklah PT Yudha Bhakti, yang kemudian gonta-ganti nama hingga dilikuidasi dan digabungkan ke dalam PT Dharma Niaga. Sejak 19 Juni 2003, Toko Merah menjadi milik PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI), sebagai hasil fusi tiga BUMN niaga, yaitu PT Dharma Niaga, PT Pantja Niaga, dan PT Cipta Niaga.
PPI merenovasi Toko Merah tidak sekadar mempercantik, tetapi juga memperpanjang usia bangunan peninggalan zaman kolonial ini. Pelaksanaan renovasinya berkoordinasi dengan Dinas Museum dan Pemugaran DKI Jakarta karena Toko Merah telah ditetapkan sebagai Cagar Budaya pada 1993. “Renovasi ini diawasi dan kami juga berkonsultasi dengan mereka terkait pendayagunaan bangunan ini,” kata Robert.
Tulisan ini dikerjakan bersama Hendaru Tri Hanggoro.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar