Menjadi Manusia Bebas
Ditolak Balai Pustaka, novel karya Suwarsih akhirnya diterbitkan dalam bahasa Indonesia setelah melalui jalan berliku.
KETIKA menjadi guru di sebuah sekolah liar alias sekolah partikelir yang tidak diakui pemerintah kolonial, Suwarsih mendapat ide untuk menulis novel sebagai medium perjuangannya. Novel itu diberi judul Buiten Het Gareel (Di Luar Jalur) yang diterjemahkan menjadi Manusia Bebas. Lewat novel itu Suwarsih ingin mengajak para pemuda untuk tabah dalam memperjuangkan kemerdekaan yang dipenuhi banyak kesulitan.
Buiten Het Gareel dengan latar waktu dekade akhir menjelang kemerdekaan menjadi satu penanda karya buatan perempuan di masanya. “Karya Suwarsih membahas masalah yang lebih luas dari poligami dan perkawinan paksa namun tak mengabaikan masalah yang jamak ditemui di eranya,” tulis Cora Vreede de Stuers dalam Sejarah Gerakan Perempuan Indonesia.
Gadis Nasionalis
Suwarsih lahir di Cibatok, Jawa Barat 1912. Bersama kakak perempuannya, Nining, Suwarsih mengenyam pendidikan di Sekolah Van Devanter, Bogor. Suwarsih berangkat dari keluarga sederhana, ayahnya merupakan pedagang yang menikah dengan perempuan Tionghoa. Kedua orangtua Suwarsih berpemikiran maju, mereka membebaskan anaknya untuk menentukan pilihan hidupnya sendiri.
Sebagai pejuang nasionalis, Suwarsih memilih mengajar di sekolah liar alih-alih di sekolah kolonial dengan penghasilan besar. Kegemarannya menulis dijadikan wahana perjuangan. Dia menulis untuk Majalah Kritiek en Opbouw. Sebuah tulisannya yang berisi desakan kepada pemerintah untuk membebaskan para pejuang nasionalis yang dibuang ke luar Jawa sempat membuat Kritiek en Opbouw terancam dibredel.
Perjuangan Suwarsih semakin meningkat setelah menikah dengan lelaki pilihannya, Sugondo Djojopuspito, sekretaris Kongres Pemuda 1928. Keduanya saling membantu dalam perjuangan kemerdekaan.
Perjalanan Manusia Bebas
Naskah Buiten Het Gareel semula ditulis dalam bahasa Sunda dan dikirim ke Balai Pustaka (BP) yang masih bernaung di bawah pemerintah kolonial. Namun, naskah tersebut ditolak lantaran berbau politik sehingga dianggap kurang berguna dan kurang berisi pengajaran. “Tepat juga penilaian dewan redaksi … Seluruh isi buku bernafaskan semangat perjuangan politik,” tulis Rob Nieuwenhuys dalam Bianglala Sastra yang ditulis ulang oleh Dick Hartoko.
Suwarsih tak patah semangat. Dalam pertemuan dengan sahabatnya, Eddy Du Peron, redaktur di Kritiek en Opbouw, Suwarsih mengungkapkan mengenai naskahnya yang ditolak BP. Du Peron lalu menyarankan agar Suwarsih menulis ulang novelnya dalam bahasa Belanda. Suwarsih menurutinya.
“Bahasa Belanda menjadi bahasa yang paling baik saya kuasai dan pahami waktu itu, dan juga bahasa yang dimengerti oleh orang-orang terpelajar di seluruh Indonesia,” kata Suwarsih seperti ditulisnya dalam pengantar Manusia Bebas.
Tiap satu bab selesai, Suwarsih mengirimnya ke Du Peron. Beberapa catatan untuk pengembangan naskah biasanya diberikan Du Peron sebagai jawaban. Keduanya juga sering berjumpa untuk berdiskusi di tengah penggarapan beberapa bab naskah novel.
Setelah melalui proses panjang, Buiten Het Gareel akhirnya diterbitkan tahun 1940 dan cetak ulang tahun 1946. Karya Suwarsih dianggap penting di masanya. Cora Vreede de Stuers menyebut karya Suwarsih merupakan bentuk pelawanan pasif pada pemerintah Hindia Belanda yang kala itu sedang melakukan penghematan besar-besaran akibat dilanda krisis dan gencar menangkapi semua orang yang dianggap nonkooperatif. Alhasil, perjuangan kemerdekaan dilakukan lewat cara-cara halus seperti menulis roman atau mendirikan sekolah liar sebagai wujud kepedulian pada rakyat bawah yang tak sanggup menjangkau pendidikan.
Rekan Suwarsih sastrawan HB Jasin menyarankan agar novel itu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Jasin menuliskan sarannya dalam Majalah Sastra edisi Januari 1969. Namun, Suwarsih ragu kalau penerbit mau membiayai pengerjaannya sementara keuntungan yang didapat kemungkinan sangat kecil.
Rekannya yang lain, sejarawan Sartono Kartodirdjo, juga meminta izin untuk menerjemahkan Buiten Het Gareel ke dalam bahasa Inggris. Penerjemahnya ialah rekan Sartono, Harry J. Benda. Sayangnya, Benda keburu meninggal tahun 1971 sebelum sempat menerjemahkan Buiten Het Gareel.
Pada awal Maret 1975, Suwarsih mendapat kabar dari sejarawan Belanda G. Termorshuizen yang mengatakan bahwa novelnya akan diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Surat dari Kedutaan Besar Belanda di Jakarta menyusul tiba bulan berikutnya, menanyakan persetujuan Suwarsih bila karyanya diterbitkan dalam bahasa Indonesia. “Dan apakah saya suka mengerjakan terjemahan itu? Tentu saja saya setuju dan mau,” jawab Suwarsih. Karya Suwarsih dalam bahasa Indonesia kemudian terbit tahun 1975 lewat penerbit Djambatan.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar