Mengingat Kembali Sanento Yuliman
Peran kritikus seni rupa Sanento Yuliman dalam sejarah seni rupa Indonesia. Sayangnya dia kurang dikenal.
Dalam dunia seni, orang seringkali menyematkan kata maestro pada seorang seniman yang memang telah punya nama besar atau masyur karya-karyanya. Namun, Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) dalam program pameran maestro seni rupa, mengangkat sebuah nama dalam dunia seni rupa yang barang kali jarang dibicarakan: Sanento Yuliman.
Sanento Yuliman sebenarnya juga seorang pelukis, kartunis, dan penyair. Tetapi, Sanento sebagai kritikus, memiliki tempat sendiri dalam sejarah seni rupa Indonesia. Sanento telah turut menghidupkan dunia seni rupa Indonesia, melalui esai-esai, skripsi, dan disertasinya.
Kumpulan arsip dan karya Sanento tengah dipamerkan di Galeri Cipta II, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta. Pameran bertajuk "Mengingat-Ingat Sanento Yuliman" ini berlangsung hingga 15 Januari 2020.
Sanento Muda
Sanento Yuliman lahir di Jatilawang, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah pada 14 Juli 1941. Dia masuk Jurusan Seni Rupa Institut Teknologi Bandung (ITB) pada 1960 dan lulus pada 1968 dengan skripsi berjudul Beberapa Masalah dalam Kritik Seni Lukis Indonesia. Skripsinya mendapat Anugerah Hamid Bouchoureb dari Seni Rupa ITB.
Ketika masih mahasiswa, Sanento aktif sebagai kartunis. Pada 1966, dia mengikuti pameran dan mengurus rubrik kebudayaan pada mingguan Mahasiswa Indonesia. Lalu pada 1967, dia menjadi kartunis di Mimbar Demokrasi. Selain membuat kartun, dia juga menulis puisi. Puisinya, Laut meraih penghargaan majalah Horizon pada 1968.
Majalah sastra itu juga memberi penghargaan pada esai Sanento berjudul Dalam Bayangan Sang Pahlawan. Esai tersebut menjadi salah satu tulisan Sanento yang terkenal. Merupakan satir atas narasi sejarah kepahlawan Indonesia yang disebutnya sangat teatral. Yang harus memenuhi syarat-syarat teater yang agung, dramatis, dan fiktif.
"Kepahlawanan adalah konsep teatral. Menganjur-anjurkan, menghidup-hidupkan, dan membesar-besarkan kepahlawan di Indonesia berarti kita harus menyiapkan Indonesia menjadi suatu teater," tulis Sanento.
Sanento mengaitkan masalah heroisme itu dengan gerakan massa, fanatisme, dan persoalan individualitas. Pada paragraf terakhir, dia mengatakan, "adalah bangsa yang besar bangsa yang dapat menghargai orang-orang biasa dan pekerjaan-pekerjaan biasa."
Sumbangan Terhadap Seni Rupa
Pada 1969, Sanento kembali ke almamaternya di Seni Rupa ITB untuk mengajar. Kemudian pada 1972 hingga 1974, dia menjadi anggota redaksi majalah Horizon. Pada 1975, dia aktif dalam Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia (GRSBI). Dan pada tahun yang sama, dia juga menjadi pengurus dan penulis Galeri Pop Art di majalah Aktuil. Sanento menulis buku Seni Lukis Indonesia Baru: Sebuah Pengantar.
Sayangnya, menurut kurator pameran Hendro Wiyanto, gagasan-gagasan Sanento hingga sekarang hanya berhenti sebagai pengantar. "Lagi-lagi naskah itu tetap menjadi naskah dan tidak pernah menjadi apa-apa, tidak banyak orang yang membaca sungguh-sungguh tulisan Sanento," sebutnya.
Sanento melanjutkan studi doktoral di Universitas Montpellier, Prancis. Dia menyelesaikan studinya pada 1981. Disertasinya berjudul Asal Mula Seni Lukis Kontemporer Indonesia: Peran S. Sudjojono (Genese De Lo Peinture Indonesienne Contemporaine: Le Role De S. Sudjojono) dibimbing oleh sejarawan Denys Lombard.
Baca juga: Kisah Bung Dullah dalam Lukisan Sudjojono
Sanento kemudian pulang ke Indonesia dan menulis makalah Apresiasi Seni Lukis: Jika Cakrawala Diperluas. Pada 1982, dia menulis buku G. Sidharta di Tengah Seni Lukis Indonesia bersama Jim Supangkat. Dia juga menulis makalah Dua Seni Rupa pada 1984.
Namun, sama seperti sebelumnya, tulisan-tulisan Sanento belum mendapat respons dari seniman maupun kritikus setelahnya. "Lagi-lagi juga kita tidak pernah sungguh-sungguh bertanya, Dua Seni Rupa yang dimaksud oleh Sanento Yuliman itu sebenarnya apa," terang Hendro.
"Jadi saya setuju sepenuhnya dengan apa yang dikatakan oleh Sanento bahwa seni rupa Indonesia masuk ke dalam suasana 'segala sesuatu menjadi legenda' dan kita tidak pernah bertanya apa-apa," lanjutnya.
Membaca Kembali
Melalui pameran ini, Danuh Tyas Pradipta, anak Sanento yang juga menjadi kurator dalam pameran ini menyebut banyak hal yang bisa disampaikan lewat arsip ayahnya.
"Lebih kepada jejak-jejak yang mungkin itu personal atau intelektual. Dan tentunya pemikiran Sanento dari mulai hal kecil sampai yang mungkin terasa besar dan berat seperti dalam skripsi atau disertasinya," kata Danuh.
Baca juga: Mooi Indie Diserang Lalu Disayang
Dari karya-karya itu, Danuh berharap muncul respons yang menghidupkan kembali gagasan-gagasan Sanento maupun muncul perdebatan-perdebatan lain darinya.
"Saya pikir, sebuah pameran lagi-lagi seperti Pak Hendro bilang bukan hanya masalah produksi karya seni tetapi juga yang lebih penting dari itu juga pembacaan dan pemaknaan terhadap karya-karya seni dan fenomena seni rupa itu sendiri. Itu kemudian yang tidak kalah penting dalam dunia seni rupa kita," ujarnya.
Hendro menambahkan, "kami berharap bahwa 'Mengingat-ingat Sanento Yuliman' mendorong kita bukan hanya sekadar mengingat tetapi juga membaca kembali, mengkaji kembali, dengan pikiran Sanento."
Bersamaan dengan pembukaan pameran ini, DKJ juga meluncurkan tiga buku Seri Wacana Seni Rupa, Dari Pembantu Seni Lukis Kita: Bunga Rampai Esai dan Kritik Seni Rupa Oei Sian Yok (1956-1961), Rumpun dan Gagasan: Bunga Rampai Esai dan Kritik Seni Rupa (1969-2019) oleh Bambang Bujono, dan Estetika yang Merabunkan: Esai dan Kritik Seni Rupa (1969-1992) oleh Sanento Yuliman.
Sanento pernah mendapat Anugerah Adam Malik atas sumbangsihnya sebagai kritikus seni rupa pada 1984. Sejak tahun itu juga dia aktif menulis di majalah Tempo. Kemudian pada 1990, dia menulis tiga rangkaian esai Ke Mana Seni Lukis Kita?
Sanento kemudian juga terlibat dalam pengembangan Yayasan Seni Rupa Indonesia (YASRI). Dua tahun setelahnya, pada 1992, Sanento meninggal dunia karena pendarahan otak, meninggalkan istri dan tiga orang anaknya.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar