Menghidupkan Lakon Raja Tanpa Mahkota
Dramatisasi peristiwa sejarah dalam kehidupan HOS Tjokroaminoto. Menghidupkan kembali peristiwa sejarah dengan segala keterbatasannya.
Film ini dibuka dengan adegan interogasi Tjokroaminoto (Reza Rahadian) di penjara Kalisosok, Surabaya. Abdullah (diperankan Alex Abbad) dan Cecilius van Dijk (diperankan Gerard Mosterd) mendesak Tjokro mengakui semua yang dituduhkan kepadanya. Sekuat pikirannya, Tjokro menyangkal semua tuduhan itu.
Gambar melompat ke zaman di mana Tjokro muda menyaksikan penindasan dan praktik feodalisme. Keadaan itu mendorongnya melakukan “bunuh diri” kelas, dari seorang bangsawan menjadi buruh rendahan; demi mengubah diri dan masyarakatnya menjadi lebih baik.
Perjuangan Tjokro itulah yang menjadi inti cerita film ini. Tjokro digambarkan tak pernah berhenti melawan. Wujud perlawanan terekam dalam adegan saat dengan sengaja dia tumpahkan teh panas ke meja Tuan Haendlift (Martin van Bommel), pemilik perkebunan karet atasan Tjokro yang sewenang-wenang kepada seorang jongos. Tjokro memilih kehilangan pekerjaan terhormat dan gelar kebangsawanan ketimbang hidup enak di atas penderitaan bangsanya.
Baca juga: Ketika Tjokroaminoto Dituduh Korupsi
Sejak itu namanya kian terdengar. Perjuangannya makin gencar. Terlebih saat dipercaya menjadi ketua Sarekat Islam. Dia berkeliling ke berbagai tempat untuk membangunkan kesadaran rakyat Jawa. Sarekat Islam menjadi harapan baru bagi rakyat yang terhimpit sistem penjajahan. “Saiki, wong cilik iso dadi priayi,” kata Cindil (Gunawan Maryanto) menjelaskan faedah bergabung dengan Sarekat Islam.
Garin Nugroho, seperti diakuinya sendiri, ingin menghidupkan sejarah dan kisah kehidupan Tjokro. Dia pun menghadirkan banyak sosok sejarah macam Semaun, Darsono, dan Henk Sneevliet. Ketiga tokoh kiri itu selama berpuluh tahun lenyap dari perbincangan publik karena paham yang mereka anut dijadikan momok bersama bangsa ini.
Peran Tanpa Gambaran
Sarekat Islam di bawah Tjokro tumbuh menjadi gerakan rakyat yang masif dan membuat pemerintah kolonial was-was. Tjokro tampil sebagai Ratu Adil yang dielu-elukan rakyatnya dan dikagumi musuh-musuhnya. Dalam soal ini, Reza Rahadian terbilang sukses memainkan sosok Tjokro, kendati tak ada acuan visual tentang Tjokro semasa hidup kecuali beberapa lembar foto dan buku-buku mengenai hidupnya.
Sosok lain yang juga menarik adalah Semaun. Aktor muda Tanta Ginting, yang pernah berperan sebagai Sjahrir dalam film Soekarno (2013), juga tampak kuat melakonkan Semaun dengan tantangan yang sama sebagaimana karakter Tjokro.
Film ini semakin gurih dengan tampilnya beberapa karakter fiktif. Sebut saja sosok Stella, gadis Indo pedagang buku dan koran yang diperankan Chelsea Islan. Stella agaknya diletakkan untuk membuat film ini punya proyeksi masa depan tentang keindonesiaan. Dia bersoaljawab tentang identitas dirinya, masa depan tanah Hindia Belanda, dan bibit diskriminasi. Agaknya sudah jadi pola film sejarah akhir-akhir ini bahwa situasi Indonesia terkini dibawa ke masa lalu untuk dicari akar penyebabnya.
Garin juga menggunakan puluhan aktor Belanda; bukan aktor “buceri” alias bule ngecet sendiri seperti zaman film Si Buta dari Gua Hantu (1985). Kehadiran pemain-pemain Belanda seperti Gerard Mosterd, Arjan Onderwijngaard (sebagai Dr. Rinkes), dan Martin van Bommel membawa suasana kolonial makin kental. Dialog berbahasa Belanda, bukan dialog aktor lokal bercat pirang dengan bahasa Indonesia beraksen bule ala Cinta Laura, membuat masa lalu terasa otentik.
Otentisitas Adegan Sejarah
Film memang harus diperlakukan sebagaimana film. Ia adalah karya seni yang punya wilayah sendiri. Namun sebagai film sejarah, penggambaran peristiwa sejarah penting untuk identik atau paling tidak mendekati kejadian aslinya. Tentu tak pernah sempurna. Apalagi sutradara butuh dramatisasi untuk menciptakan kesan mendalam pada peristiwa tersebut.
Peristiwa sejarah, mungkin, dalam kejadiannya seringkali tidak dramatis. Atau bahkan hambar-hambar saja. Namun film membutuhkan drama. Pertanyaannya, sampai sejauh mana film mendramatisasi peristiwa sejarah? Atau seberapa otentik peristiwa sejarah harus dihadirkan dalam sebuah film bergenre sejarah?
Dalam film ini, Garin agak sedikit kepleset soal adegan penyergapan Haji Hasan. Memang, tak disebutkan ihwal apa peristiwa itu terjadi. Adegan yang digambarkan adalah satu regu polisi menggerebek sebuah gudang di perkebunan karet. Sekelompok pria pribumi menyongsong dengan bilah golok tergenggam di tangan. Sejurus kemudian senapan meletup: dor! Satu-dua pemberontak jatuh meregang nyawa.
Bagaimana kejadian sebenarnya? Haji Hasan seorang pemilik sawah dari Cimareme, Garut. Insiden perlawanannya pada 1919 bermula saat pemerintah menaikkan pajak padi. Merasa pajak itu semakin memberatkan, dia mempersiapkan perlawanan. Haji Hasan beserta pengikut dan keluarganya membekali diri dengan ilmu kebal dan kelewang.
Ketika polisi, residen Priangan, patih dan bupati Garut tiba di rumah Haji Hasan, terjadi ketegangan. Beberapa orang dengan senjata terhunus siap melancarkan serangan. Namun Haji Hasan mendadak berbalik badan masuk ke rumahnya. Dari dalam rumah terdengar suara zikir yang kian waktu kian keras sementara para pejabat kolonial memintanya menyerahkan diri.
Tak punya jalan lain untuk memaksa Haji Hasan keluar, polisi menembaki rumah itu. Haji Hasan, istri, anak-anak dan pengikutnya tewas seketika. Pemerintah menuduh gerakan kiri dalam tubuh Sarekat Islam berada di belakang peristiwa tersebut. Tjokro terseret dan akhirnya ditangkap atas tuduhan terlibat dalam peristiwa yang dikenal sebagai “Insiden Afdeeling B” itu.
Jadi, merujuk pada fakta sejarah, peristiwa Haji Hasan tak terjadi di perkebunan karet, bukan pula di sebuah gudang seng. Tentu sutradara, lagi-lagi, punya caranya sendiri untuk mengangkat kejadian sejarah ke dalam film. Atau mungkin adegan tersebut dibutuhkan hanya sebatas penguat alasan kenapa Tjokro ditangkap. Entahlah.
Berat-Berat Ringan
Scene-scene para anak kos di rumah Tjokro beserta keterangan-keterangan mereka menjadi pilihan apik Garin menutup film ini. Alih-alih membakukan dengan sebuah adegan klimaks atau antiklimaks, Garin justru menutup film dengan ending yang “dikembalikan” kepada penonton. Selain akting yahud dari hampir semua pemerannya, kekuatan film ini juga berasal dari musik. Nocturne Op. 9 No. 2 karya Frederic Choppin sangat kuat menghadirkan nuansa kemegahan kolonialisme dalam adegan ketika Gubernur Jenderal Johan Paul van Limburg Stirum menonton sekelompok anak bermain balet.
Film ini juga kaya nuansa; dari yang sedih menyayat hati, kocak menggelitik perasaan, hingga kejam memicu kebencian. Imajinasi liar sutradara membuat film ini hidup, kendati alur cerita yang melompat-lompat dari satu fragmen ke fragmen lain dalam kehidupan Tjokro terasa memberatkan. Apalagi buat penonton pemula tanpa bekal pengetahuan sejarah.
Namun kembali lagi, ini bukan film dokumenter apalagi textbook sejarah. Ini hanyalah film drama berlatar sejarah yang menceritakan perjuangan seorang tokoh bangsa. Riset serius meminimalisasi kesulitan dalam membuat film berlatar sejarah. Jadi tepat apa yang dikatakan Erik Supit (penulis naskah) kepada Historia, “Perlakukan film ini sebagai film, hiburan!”
Tambahkan komentar
Belum ada komentar