Mengenang Rosihan Anwar sang Anak Demang
Dia melintasi zaman demi zaman. Mencatat dan mengenang. Dan kini dia dikenang.
Pada 1992, Rosihan Anwar beserta keluarga mudik ke Sumatera Barat. Anak-anak dan cucunya dibesarkan di Jakarta. Mereka asing terhadap keadaan dan budaya Ranah Minang.
“Karena itu, saya bawa keluarga meninjau Sumatera Barat,” kata Rosihan dalam Petite Histoire IV.
Di simpang tiga dekat pasar mobil, di Dangung-dangung tak jauh dari Payakumbuh, Rosihan menyambangi sebuah rumah batu bercat putih. Rumah itu bagaikan tak berpenghuni lagi kumuh. Rosihan mengetok pintu berkali-kali tapi tiada yang menyahut.
Anak dan cucu-cucunya bertanya, kenapa Rosihan ke rumah kumuh itu? Rumah itu punya siapa? “Opa cari apa di sana?” Tanya seorang cucunya.
Pada 1927, Rosihan tinggal di rumah itu, yang di zaman Hindia Belanda menjadi rumah jabatan asisten demang. “Saya ingat sebuah foto rumah itu,” katanya. Di depan pintu, Rosihan berdiri pakai baju dan celana pendek di dekat ibunya, Siti Safiah, yang menggendong adiknya, Rohana, berusia satu tahun. Ayahnya, Anwar gelar Maharadja Soetan, Asisten Demang Dangung-dangung, yang memakai pakaian formal ambtenaar Binnenlands Bestuur jas tutup, dengan kancing besar bertuliskan W (inisial Ratu Belanda, Wilhelmina), di kepalanya topi pet warna putih; berdiri disamping ibunya.
“Bila dilihat wajah saya di foto berwarna sepia, tampak dari lubang kiri hidung keluar ingus yang dibiarkan saja tanpa menyekanya dengan sapu tangan,” kenang Rosihan.
Pada 1928, ayahnya pindah ke Pauh Sembilan, tak jauh dari Kota Padang. Di sana, jabatannya masih asisten demang. Dua tahun kemudian, naik pangkat menjadi demang dan ditempatkan di Talu Pasaman, berbatasan dengan Mandailing, Tapanuli Selatan. Ketika Rosihan sekolah Meer Uitgebreid Lager Ondrewijs (MULO) pada 1939, ayahnya menjabat Demang Maninjau. Kemudian dipindahkan lagi ke Sungai Penuh, Kerinci, yang dulu bagian Sumatera Barat (kini wilayah Provinsi Jambi), pos terakhir ayahnya.
Baca juga: Rosihan Anwar Salah Jalan Berujung Kekal
Rosihan Anwar lahir di Kubang Nan Dua, Sirukam, Solok, Sumatera Barat, pada 10 Mei 1922. Di masa itu ayahnya telah membaca dan kagum pada perjuangan Kemal Mustafa Pasha, yang kemudian terkenal sebagai Kemal Ataturk atau Kemal “Bapak Turki”, yang melancarkan serangan terhadap tentara Yunani di Smyrna. Salah seorang jenderal yang berada di bawah komando Kemal Pasha ialah Rozehan Pasha. Maka dia pun menamai anaknya Rozehan Anwar.
Ketika mulai masuk sekolah dasar yaitu Hollands Indische School (HIS) di Padang, nama Rozehan Anwar dieja menjadi Rosehan Anwar, dan bertahun-tahun kemudian berubah lagi menjadi Rosihan Anwar.
Di zaman kolonial, terdapat sekolah untuk menjadi pegawai pamongpraja, yakni Middlebare Opleiding School Voor Inlandsche Bestuur Ambtenare (MOSVIA) di Bandung. Meski tak pernah mengutarakannya, ayahnya ingin Rosihan masuk MOSVIA setamat MULO. Tapi Rosihan lebih memilih masuk Algemene Middelbare School Westers Klassieke Afdeling (AMS-A) di Yogyakarta pada 1942. “Tidak ada suratan di tangan saya bahwa saya akan mengikuti jejak ayah dan menjadi pegawai pamong praja,” katanya.
Pada zaman kolonial, jumlah sekolah menengah atas hanya delapan buah. Tak gampang masuk AMS karena biayanya mahal, 14,5 gulden per bulan atau lebih besar daripada gaji juru tulis yang hanya 10 gulden. Kalau ayahnya bukan demang, mana bisa Rosihan sekolah di sana. Selain itu, otak mesti sedikit cerdas. Jika tidak, mana bisa lulus ujian masuk.
Rosihan bercita-cita meneruskan belajar ke Universitas Leiden, Belanda. Karenanya dia memilih jurusan Sastra Klasik Barat. Dia belajar bahasa Latin dan budaya Yunani. Cita-cita ini tak pernah kesampaian karena perang antara Belanda dan Jepang pecah pada akhir 1941.
Baca juga: Rosihan Anwar Jatuh Bangun Koran Kiblik
Rosihan lalu pindah ke Jakarta. Dia mesti bekerja karena kiriman wesel dari ayahnya berhenti. Di suratkabar, ada pengumuman mencari pemuda-pemuda tamatan sekolah menengah atas untuk mengikuti kursus kilat menjadi jaksa yang dilakukan pemerintah Jepang. Lama latihan enam bulan. Selama belajar mendapat tunjangan Rp50. Dia lulus ujian dan siap masuk asrama.
Pertemuannya dengan dr. Abu Hanifah, yang bekerja di Centrale Burgelijke Ziekenhuis (CBZ) atau sekarang Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, mengubah segalanya. Abu Hanifah memberikannya pendidikan politik. Dia pula yang, setelah bicara dengan Sukardjo Wirjopranoto, tokoh Parindra dan anggota Volksraad di zaman Belanda yang jadi pemimpin umum suratkabar Asia Raya, menawari Rosihan jadi wartawan. Rosihan tak pernah bercita-cita jadi wartawan. Namun dia terima saran Abu Hanifah dan sejak Maret 1943 mulai bekerja sebagai wartawan.
Rosihan bekerja di Asia Raya dengan tugas ganda. Sebagai asisten Yoshio Nakatani, dia bertugas mengoreksi terjemahannya ke bahasa Indonesia. Lalu menjadi deskman berita luar negeri yang redakturnya B.M. Diah.
Di Asia Raya Rosihan bertemu seorang gadis Betawi yang cantik, Siti Zuraida Sanawi, atau bisa dipanggil Ida Sanawi. Ida adalah sekretaris redaksi sekaligus sekretaris pemimpin umum Asia Raya. Cinta bersemi hingga ke pelaminan pada 25 April 1947 (Ida berpulang pada 5 September 2010).
Di masa ini, bersama Usmar Ismail, dan atas dorongan dr Abu Hanifah, dia mendirikan perkumpulan sandiwara penggemar atau amatir bernama Maya pada Juli 1944. Rosihan jadi ketua perkumpulan. Maya berbeda dari rombongan sandiwara lainnya. Ia berani merintis cara-cara baru dalam permainan pelaku, pengaturan lampu, hingga pembuatan dekor. Dengan teratur, dua bulan sekali Maya mengadakan pertunjukan. Gedung Kesenian Pasar Baru selalu ramai. Karcis selalu habis. Perkumpulan ini mementaskan lakon Taufan di Atas Asia, Liburan Seniman, Mutiara dari Nusalaut, serta sejumlah gubahan Kleine Eyolt, Intelek Istimewa, dan Dewi Reni. Perkumpulan ini juga mempertunjukkan Konser Indonesia yang dipimpin Kusbini dan Opera Madah Kelana oleh Cornel Simandjuntak.
Baca juga: Mencatat Rosihan Anwar Mengenang Soerjono
Tapi waktunya kemudian dihabiskan di dunia kewartawanan, dan membunuh kemungkinannya menjadi novelis dan penyair serta aktor, meski kemampuan itu tidak dia tinggalkan sepenuhnya.
Pada akhir zaman Jepang, posisi Rosihan di Asia Raya adalah reporter politik. Setelah proklamasi, Asia Raya terbit sebentar sampai sekira awal September 1945. Kemudian orang-orang yang bekerja di Asia Raya mengambil-alih Percetakan De Unie di Yamato Bashi Kita Doori 8 –kelak bernama Jalan Hayam Wuruk. Ini percetakan milik pengusaha Metzelaar dan suratkabar Belanda Java Bode yang selama pendudukan Jepang digunakan untuk mencetak Asia Raya. Kemudian mereka menerbitkan suratkabar Merdeka pada 1 Oktober 1945. Pemimpin umum serta pemimpin redaksinya B.M. Diah. Rosihan menjadi redaktur pertama. Namun, karena tak seide dengan B.M. Diah, Rosihan keluar dari Merdeka pada 1946.
Pada 4 Januari 1947, bersama Soedjatmoko, Rosihan mendirikan majalah politik, Siasat. Penerbitannya disokong oleh Perdana Menteri Sutan Sjahrir, berupa bantuan modal dan kertas cetak yang jumlahnya tidak banyak. Selebihnya mandiri. Selagi Rosihan memimpin Siasat, pemilik suratkabar Pemandangan, Haji Djunaidi menawarinya membuat sebuah koran. Terbitlah Pedoman. Baru dua bulan terbit, koran ini dibredel Belanda karena membela Republik. Setelah perjanjian Roem-Royen pada Juli 1949, Pedoman terbit kembali.
Baca juga: Pertempuran Dua Jurnalis Perang
Setelah Pedoman dibredel pada 7 Januari 1961, Rosihan menjadi koresponden beberapa suratkabar asing seperti The Age (Melbourne, Australia), Hindustan Times (New Delhi, India), kantor berita World Forum Features (London, Inggris), dan Asiaweek (Hong Kong); hingga Pedoman kembali dihidupkan pada 1968.
Dalam Kongres Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) di Palembang pada 1970, Rosihan terpilih menjadi ketua umum dan Jakob Oetama sebagai sekretaris jenderal. Dia mengalahkan B.M. Diah dan Manai Sophiaan. Tapi pemerintah tak merestui. Menteri Penerangan Boedihardjo lebih mengakui Diah dan Manai. PWI pun terbelah.
Rosihan melihat keterlibatan Operasi Khusus Intel yang dipimpin Ali Moertopo di belakang pencalonan Diah. Opsus selalu mencampuri urusan intern organisasi politik dan organisasi masyarakat dengan tujuan memasukkan orang-orang yang diandalkan pemerintah. Sekiranya sejak semula tahu Rosihan mengaku akan menolak pencalonan dirinya.
Perpecahan PWI ini berimbas juga ke cabang-cabang. Polemik hebat juga terjadi di kalangan media cetak nasional. Media massa yang dikontrol pemerintah di Jakarta tidak menyiarkan semua berita mengenai pengurus Rosihan Anwar. Tapi, suara yang mendukung Rosihan ternyata tetap mayoritas, seperti halnya dalam kongres di Palembang.
Baca juga: Rosihan Anwar Tidur Berbantalkan Granat
Melalui perundingan yang melibatkan mantan wartawan seperti Menteri Luar Negeri Adam Malik dan Soemanang tercapai kesepakatan untuk menggabungkan dua kepengurusan itu pada 6 Maret 1971. Bagi Rosihan, Kongres di Palembang ini merupakan perlawanan terakhir para wartawan terhadap intervensi pemerintah. Setelah itu terbuka jalan bagi penjinakkan PWI. Ini terbukti dalam Kongres PWI di Tretes pada 1973 yang menaikkan Harmoko sebagai ketua PWI Pusat.
Sementara itu Rosihan masih mengurus Pedoman, yang terbit lagi tak lama setelah Sukarno jatuh. Setelah peristiwa Malari (Malapetaka 15 Januari 1974), Pedoman kena bredel untuk kali terakhir pada 15 April 1974. Setelah itu Rosihan kembali lagi jadi penulis lepas untuk The Straits Times, New Straits Time, Asiaweek, dan Hindustan Times. Dia juga menulis opini dan menjadi kolomnis di berbagai koran, tabloid, dan majalah.
Rosihan menulis lebih dari 30 buku mengenai berbagai topik, seperti jurnalistik, agama, politik, dan sejarah. Ketika menulis tentang ayahnya di Petite Histoire IV, Rosihan mengutip judul buku Marthias Dusky Pandu: Anan Takana, artinya apa yang terkenang. Di akhir hayatnya, dia mencoba menulis buku tentang istrinya berjudul Belahan Jiwa.
Anan Takana Rosihan.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar