Mengenal Sutradara Pertama Film Gundala
Lilik menggarap film pahlawan super, komedi, hingga mistik. Sutradara terbaik yang kurang dilirik.
Film Gundala (2019) garapan sutradara Joko Anwar akan segera rilis pada 29 Agustus mendatang. Film superhero yang diadaptasi dari komik Gundala karya Harya Suraminata atau Hasmi ini, sebelumnya pernah dibuat pada 1981.
Gundala Putra Petir (1981) dibintangi oleh aktor kenamaan saat itu, seperti Teddy Purba (Sancaka), Ami Prijono (Profesor Saelan), Anna Tairas (Minarti), dan W.D. Mochtar (Gazul). Film ini bercerita tentang Sancaka dan Profesor Saelan yang berhasil menemukan serum antimorfin. Mendengar hal itu, Gazul, bos sindikat narkoba, menculik dan meminta mereka menciptakan heroin sintetis. Namun, Sancaka akhirnya berubah menjadi Gundala dan memberantas kejahatan Gazul dengan kekuatan petir.
Gundala versi pertama ini lahir di tangan sutradara Lilik Sudjio. Selain menggarap film pahlawan super, Lilik telah membidani banyak film komedi, percintaan sampai mistik dengan aktor-aktor terkenal seperti Benyamin Sueb hingga Roy Marten.
Ikut Sandiwara Keliling
Dalam arsip Sinematek disebutkan bahwa Lilik Sudjio lahir di Makassar 14 Mei 1930. Sejak kecil, dia sudah ikut ayah angkatnya, Astaman, salah satu pemeran utama dalam sandiwara keliling Dardanella. Astaman aktif sebagai aktor sandiwara dan film kawakan sejak 1910-an.
Setelah lulus sekolah dasar dan sekolah teknik, pada 1947 sampai 1949, Lilik bergabung dengan sandiwara keliling Bintang Timur yang dipimpin oleh Djamaludin Malik. Selain sebagai pemain dan membantu penyutradaraan, dia juga mempelajari segi-segi seting dan dekorasi pentas sandiwara.
Ketika ayahnya ditawari bermain film Saputangan (1949) produksi sudio Bintang Surabaja, Lilik dan keluarga pindah ke Jakarta. Dalam film arahan sutradara Fred Young itu, Lilik juga bermain sebagai figuran. Selanjutnya, dia berturut-turut bermain sebagai figuran dalam film Djembatan Merah (1950), Ratapan Ibu (1950), dan Damarwulan (1950), dan lain-lain.
Baca juga: Gundala Main Film
Meski demikian, Lilik lebih banyak belajar mengenai sinematografi ketika dia bekerja di Studio Persari (Perseroan Artis Indonesia) di bawah pimpinan Djamaludin Malik yang dikenal sebagai Bapak Industri Film Indonesia. Dia bekerja sebagai clapper boy, script boy, asisten sutradara, dan belajar sendiri editing. Dia banyak belajar dari sutradara berpengalaman Moh. Said tentang opname dan penyutradaraan film.
Melihat kesungguhan belajar Lilik, Djamaludin Malik mengirimnya ke Filipina. Di Studio LVN Manila, Lilik belajar montase dan penyutradaraan.
Sutradara Terbaik
Akhirnya, pada 1954, Lilik dipercaya menjadi sutradara merangkap editor dalam film Tarmina produksi PT Persari Films. Debut film itu langsung melambungkan namanya dalam Festival Film Indonesia (FFI) pertama tahun 1955.
"Dalam film inilah saya dapat penghargaan untuk penyutradaraan terbaik dalam Festival Film Indonesia pertama yang diselenggarakan di Jakarta," sebut Lilik dalam arsip Sinematek.
Dewan juri juga memutuskan Tarmina sebagai film terbaik. Namun, keputusan itu dianggap janggal oleh para kritikus. Mereka menilai film Lewat Djam Malam (1954) lebih pantas menjadi film terbaik. Akhirnya, diputuskan Tarmina dan Lewat Djam Malam berbagi piala sebagai film terbaik.
“Kita bisa menyimpulkan bahwa Lilik cukup memiliki ‘sesuatu’ dalam filmnya sehingga Tarmina didapuk sebagai pemenang Piala Citra,” kata Umi Lestari, peneliti dan kritikus film, kepada Historia.
Meski menjadi sutradara terbaik, namun Lilik tak setenar sutradara seangkatan seperti Usmar Ismail atau Nya Abbas Akup.
“Karena penulisan sejarah film Indonesia pada masa lalu lebih menekankan pada ‘kelompok’ tertentu, pembicaraan film Lilik tidak semarak. Meskipun demikian, pada nyatanya, sekitar tahun 1970-an dan 1980-an Lilik bisa membuat film populer, namun kontennya cukup politis,” jelas Umi.
Pada FFI berikutnya, film Lilik berjudul Anakku Sajang (1957) mendapat penghargaan pemeran utama pria terbaik, pemeran utama wanita terbaik, dan opname/kamera terbaik.
Baca juga: Gundala, Ikon Superhero Indonesia
Pada 1960, Lilik Sudjio mendapat beasiswa dari Yayasan Rockefeller. Bersama dua rekan sesama sutradara, Nya Abbas Akup dan R. Djokolelono, dia memperdalam ilmu sinematografi selama satu semester di University of California, Los Angeles, Amerika Serikat. Kemudian hingga tahun 1962, dia menambah pengetahuan dalam teknik pembuatan film di Samuel Goldwin Studio, studio Walt Disney, dan studio Howard Anderson dalam bidang special effects.
Setelah itu, Lilik aktif berkarya dan kerapkali menggandeng aktris nomor wahid seperti Suzanna hingga Doris Callebaute. Filmnya yang berjudul Yuda Saba Desa (1967) produksi Wahyu Film meraih penghargaan editing terbaik pada Pekan Apresiasi Film Nasional ketiga tahun 1967.
Sinematek mencatat, Lilik Sudjio telah menyutradarai 68 film semasa hidupnya. Bahkan 18 film dia tulis sendiri skenarionya. Selain Gundala (1981), beberapa filmnya yang terkenal antara lain Si Buta dari Goa Hantu (1970), Tarsan Kota (1974), hingga serial Wiro Sableng yang tayang pada 1988.
Lilik aktif hingga tahun 1990 dengan karya terakhirnya, Jaka Swara. Dia wafat di Jakarta pada 9 Desember 2014 meninggalkan isri dan keempat anaknya.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar