Melahirkan Max Havelaar di Korea
Demi mengenal Indonesia lebih dalam, novel kelas dunia ini diterjemahkan ke dalam bahasa Korea.
KEBAHAGIAN terpancar di wajah Ubaidillah Muchtar, Kepala Museum Multatuli Banten. Ia diundang oleh IKCS (Indonesia Korean Cultural Studies) untuk menghadiri kegiatan peluncuran novel Max Havelaar karya Eduard Douwes Dekker (Multatuli) yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Korea pada Sabtu, 10 Agustus 2019 di Korean Cultural Center, Sudirman, Jakarta Pusat.
Acara yang dihadiri oleh mayoritas orang Korea ini memberi kesan tersendiri bagi Ubaidillah. Sebagai seorang yang fokus dalam pelestarian karya-karya Multatuli di Indonesia, Ubaidillah merasa senang dengan adanya perhatian masyarakat Korea terhadap sastra dari Hindia ini.
“Penerbitan buku Max Havelaar bagi saya sangat menggembirakan karena sudah jarang sekali para pembaca yang mau kembali pada bacaan sastra kelas dunia,” ucap Ubaidillah saat menanggapi peluncuran novel Max Havelaar berbahasa Korea tersebut.
Max Havelaar merupakan karya terkemuka Multatuli yang pertama kali diluncurkan pada 15 Mei 1860 oleh penerbit De Ruyter, Amsterdam. Novel yang pengerjaannya hanya membutuhkan waktu satu bulan, September-Oktober 1859, itu ditulis berdasarkan salinan surat-surat ketika Multatuli menjabat asisten residen di Lebak, Banten.
Dirinya hanya menetap kurang lebih selama tiga bulan di Lebak. Datang pada Januari 1856 dan meninggalkan kota kecil itu pada April tahun yang sama dengan membawa luka dan kecewa. Ia meradang, sekuat tenaga berusaha membongkar praktik busuk tanam paksa yang dijalankan pemerintah kolonial. Multatuli pun menggugat ketidakadilan yang ditemuinya.
Multatuli menulis Max Havelaar di penginapan “Au Prince Belge”, beralamat Bergstraat No. 80, di Brusel, Belgia. Dalam secarik surat bertitimangsa 22 September 1859 yang ditujukan kepada istrinya, Everdine Huberte van Wijnbergen, Multatuli menyebutkan bahwa dia sedang menulis sebuah naskah buku. Pada 13 Oktober tahun yang sama, buku tersebut selesai ditulis.
Beberapa waktu sebelum karyanya diterbitkan, Multatuli mengirim secarik surat kepada Raja Willem III, penguasa negeri Belanda. “Apakah yang mulia tahu ada 30 juta lebih rakyat di Hindia yang disiksa atas nama yang mulia?” katanya dalam surat tersebut. Tetapi raja tidak bergeming.
Novel Max Havelaar diakui sebagai salah satu karya sastra dunia. Keberadaan novel karya Multatuli ini bahkan mampu mengusik perhatian rakyat Belanda tentang tindakan-tindakan kriminal yang dilakukan pemerintahan mereka di negeri jajahannya.
Dalam buku Die Welt Bibliothek, penyair, novelis, dan pelukis berdarah Jerman-Swiss yang juga peraih Nobel Sastra, Hermann Hesse, menjadikan Max Havelaar salah satu buku bacaan wajib yang sangat dikaguminya.
Terjemahan dari bahasa aslinya Belanda ke dalam bahasa Indonesia dilakukan pada 1972 oleh HB Jassin. Berkat itu, setahun kemudian Jassin mendapat penghargaan dari Yayasan Prins Bernhard. Ia juga berkesampatan tinggal selama satu tahun di Belanda.
Sementara bahasa Korea sendiri menjadi terjemahan ke 47 bagi novel Max Havelaar di seluruh dunia. Menurut sejarawan Korea Bae Dong Sun, orang Korea tidak terlalu mengenal karya sastra dari Belanda, termasuk yang berlatar belakang kolonialisme di Hindia. Mereka lebih tertarik membaca karya-karya dari sastrawan Inggris atau Amerika.
“Meski tidak terkenal, buku ini begitu bagus. Itulah sebabnya kami menerjemahkan novel Max Havelaar ke dalam bahasa Korea,” kata Bae Dong Sun kepada Historia.
Baca juga: Berbagi Mimpi Museum Multatuli
Penerjemahan novel Max Havelaar ke dalam bahasa Korea memakan waktu yang tidak sebentar. Para penerjemah, Bae Dong Sun, Sagong Gyeong, dan Mr. Kang, melakukan persiapan selama 2 tahun, terhitung sejak Desember 2016.
Uabidillah menyebut jika antusias para peneliti Korea terhadap Multatuli ini cukup besar. “Sejak ide pendirian museum Multatuli di Banten, temen-temen Korea ini sudah nongkrong di museum. Sebelum pembukaan juga mereka sudah bertanya banyak hal tentang Multatuli,” kata Ubaidillah kepada Historia.
Akhirnya Ubaidillah menyarankan penerbitan novel Max Havelaar berbahasa Korea, karena memang saat itu belum ada terjemahan dalam bahasa tersebut. Sagong Gyeong setuju dengan usulan itu. Ia pun mulai membentuk tim yang terdiri dari sejarawan dan sastrawan.
Demi mendapat terjemahan yang sesuai dengan karakter Multatuli, Bae Dong Sun dan tim mengunjungi tempat-tempat yang dahulu pernah ditempati sang penulis ketika berada di Indonesia. Mereka mencoba merekonstruksi pribadi Multatuli melalui peninggalannya. Salah satu tempat yang dikunjungi adalah bekas kediaman Multatuli dan Tugu Kunskring Paleis.
Untuk proses terjemahannya, para peneliti Korea menggunakan novel berbahasa Indonesia dan Belanda. Mereka memilih keduanya karena dirasa lebih dekat dengan penulis aslinya, serta isinya pun lebih mudah dipahami.
“Agar dapat mengetahui Indonesia sekarang, kita perlu mengetahui Indonesia di masa lalu. Bukan dari orang Indonesia semata, melainkan perlu pandangan orang Belanda. Buku ini menjadi salah satu sumber penting untuk mengungkapnya,” pungkas Bae Dong Sun.
Baca juga: Siapa Peduli Rumah Multatuli?
Tambahkan komentar
Belum ada komentar