Maria Terbang Mendarat di Gudang
Mahakarya Basoeki Abdullah tersimpan di sebuah gudang bawah tanah di Belanda. Pergulatan spiritualitas seorang pelukis dari negeri terjajah.
LUKISAN berukuran sekitar 2 x 1 meter itu tersandar pada rak di sebuah gudang bawah rumah susun jompo yang dikelola oleh Serikat Jesuit di Nijmegen, Belanda. Lukisan itu menggambarkan sesosok perempuan berkebaya lengkap dengan kain sinjang batik bermotif parang yang membentangkan tangannya sebatas paha. Kepalanya yang berkerudung selendang sutra biru menunduk dengan mata separuh memejam, melihat ke arah bawah. Ia seperti terbang ke langit, melesat meninggalkan sebuah desa yang diapit dua gunung berapi.
Lukisan itu tampak lebih mencolok dari benda-benda lain yang ada di dalam gudang. Guci keramik, cawan lilin, lampu, buku, gambar berbingkai, kardus-kardus terletak tak beraturan di sana-sini. Namun seperti memiliki daya magnetik, lukisan itulah yang paling menyedot perhatian.
“Ini breaking news dalam dunia seni rupa Indonesia,” kata Amir Sidharta, sejarawan seni dan kurator yang datang untuk melihat langsung lukisan karya Basoeki Abdullah bertitimangsa 1935 tersebut. Ini kali pertama Amir menyaksikan langsung karya yang selama ini menjadi buah bibir di kalangan seni rupa di Indonesia, “Sebuah karya yang monumental,” ujarnya menambahkan.
Aminudin TH. Siregar, dosen Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB yang kini menempuh pendidikan doktoralnya di Universitas Leiden juga terpukau dengan lukisan legendaris itu. “Saya belum menemukan lukisan lain yang layak untuk disejajarkan dengan 'kecanggihan re-kontekstualisasi' ala lukisan Basoeki Abdullah ini, setidaknya pada masanya (1930-an),” katanya mengomentari lukisan bertajuk Maria Assumpta atau Bunda Maria Naik ke Surga itu.
Amir Sidharta dan saya berada di Belanda selama dua pekan awal Maret lalu untuk menghadiri serangkaian rapat persiapan pameran sejarah revolusi kemerdekaan Indonesia di Rijksmuseum, Amsterdam pada musim panas 2021 mendatang. Selain saya dan Amir, ada kurator lain mewakili Rijksmuseum, Harm Stevens dan Martine Gosselink yang juga bakal terlibat. Sedangkan Aminudin TH. Siregar dipilih menjadi penasihat proyek pameran akbar tersebut.
Informasi keberadaan lukisan Bunda Maria ala Jawa itu terlacak setelah Harm Stevens, kurator Rijksmuseum, Amsterdam menghubungi Yvette Driever, kurator Museum Valkhof di Nijmegen. Yvette kemudian menyarankan Harm untuk menghubungi Romo Stuyt, SJ dari Serikat Jesuit di Nijmegen. Dari Stuyt dan kemudian Eugene Deutekom, konsul urusan warisan Serikat Jesuit, Harm mendapatkan keterangan kalau lukisan tersebut tersimpan di gudang bawah tanah dalam keadaan terawat baik.
Riwayat lukisan itu bermula ketika Basoeki Abdullah meraih beasiswa untuk belajar di Academie voor Beeldende Kunsten, Den Haag, Belanda pada 1933. “Lukisan ini diberikan oleh Basoeki kepada Serikat Jesuit sebagai tanda terima kasih dia kepada gereja yang telah menyokongnya selama hidup di sini,” ujar Romo Stuyt, SJ, pastor dari Serikat Jesuit di Nijmegen yang pernah mengabdi selama 25 tahun di Indonesia.
Sejak diberikan kepada Serikat Jesuit, lukisan tersebut terpajang di kantor mereka di Den Haag, sampai kemudian aset properti Serikat Jesuit tersebut dijual dan Serikat Jesuit memindahkan pusat kegiatan mereka ke Nijmegen. Lukisan maestro itu sempat pula dipamerkan di Museum Valkhof, Nijmegen, 20 September 2004 sampai dengan 20 Februari 2005.
Pada keterangan pers museum yang tersua di codart.nl pameran bertajuk Aanwisten Oude Kunst (Akuisisi Karya Seni Lama) menyebutkan lukisan Maria karya Basoeki Abdullah jadi salah satu karya andalan yang dipamerkan. “[Salah satu] akuisisi lukisan besar ini adalah karya Raden Basoeki Abdullah dari tahun 1935 yang cukup unik. Karya ini memberikan contoh bagus tentang asimilasi dua budaya. Madonna Indonesia (Bunda Maria) muncul di atas bentangan alam eksotis sawah dan gunung berapi. Abdullah kemudian menjadi salah satu seniman Indonesia terbesar pada masanya.”
Gambaran asimilasi budaya itu memang terlihat sangat gamblang. Sosok Madona atau Bunda Maria dicitrakan di luar kebiasaan: sebagai perempuan Jawa berkebaya bukan berwajah barat dengan gaunnya. Menurut Aminudin cara penggambaran itu memperlihatkan kecerdikan Basoeki Abdullah, sebagai seorang seniman dari negeri jajahan yang sedang menimba ilmu di negeri tuannya sekaligus juga memperlihatkan pergulatan spiritualitasnya.
“Dengan kecerdikan khas BA, lukisannya itu berhasil memadukan "Barat-Timur". Tekniknya klasik barat, sementara "obyek dan rasa-nya" Indonesia - formula sekaligus konflik laten yang mengendap juga dicari pelukis-pelukis modern kita sejak dulu. Lukisan itu menawarkan dengan gemilang ihwal Timur-isasi Katolik Barat - mungkin sekaligus bertalian dengan tegangan spiritualitas yang sedang ia alami saat itu,” kata Aminudin.
Mikke Susanto, sejarawan seni dan pengajar Fakultas Seni Rupa Institut Seni Indonesia (ISI), Yogyakarta menyampaikan komentar senada dengan Aminudin. Menurutnya lukisan itu memperlihatkan gagasan sinkretis dalam diri Basoeki. “Lukisan itu menjadi salah satu opini Basoeki tentang bagaimana agama Kristen yang dia percayai menjadi bagian dari masyarakat Jawa,” kata dia kepada Aryono dari Historia.id melalui sambungan telepon.
Gagasan Basoeki menggabungkan ragam budaya di dalam lukisan bernuansa relijius ternyata tak berhenti pada Maria Assumpta saja. Mikke mengungkapkan tentang karya Basoeki lainnya yang juga senapas. “Dia pernah melukis Yesus sedang menggotong salib melalui jalan Dolorosa dalam bentuk karikatur tapi tokoh-tokohnya wayang. Prajurit-prajuritnya dan Pontius Pilatusnya digambarkan dalam sosok wayang,” katanya mengungkapkan karya Basoeki yang pernah ditemukannya dalam bentuk foto pada sebuah buku. “Saya tidak pernah tahu di mana karya aslinya,” kata dia menambahkan.
Amir menduga Basoeki sudah terpengaruh gagasan silang budaya ini sejak awal 1930-an. Dia merujuk kepada sebuah gereja di Jawa yang arsitekturnya menyerap bentuk bangunan bercorak Jawa. “Mungkin dari situ Basoeki mendapat pengaruh,” kata Amir menafsir. Amir tak menyebutkan gereja mana yang dimaksud. Namun ada beberapa gereja di Jawa Tengah yang bercorak Jawa, salah satunya Gereja Ganjuran, Bantul, Yogyakarta yang didirikan oleh Joseph Ignaz Schmutzer dan Julius Robert Schmutzer pada 1924.
Lukisan Maria Assumpta ini juga menjadi rekam jejak penting dalam riwayat awal karier kesenimanan Basoeki. Selain karya monumental, bagi Amir karya ini adalah temuan baru berkaitan era awal karya-karya pelukis cucu pahlawan nasional Wahidin Soedirohoesodo itu. “Ini bukti bahwa memang Basoeki pernah belajar seni di Belanda atas biaya Serikat Jesuit. Kemudian ini menunjukkan bukti lain kalau di era 1930-an dia juga punya karya yang berukuran besar, bukan hanya kecil-kecil,” kata Amir.
Penampilan pertama lukisan Maria Assumpta itu muncul ketika majalah St. Claverbond edisi 1940-an memuatnya. Amir memeroleh informasi ini dari Sudarmadji Damais, Maret 2019. Sudarmadji Damais adalah tokoh permuseuman Indonesia. Ternyata Basoeki pun pernah melukis Maria Assumpta dalam dua versi yang lain. Versi pertama tersimpan di gudang Serikat Jesuit di Nijmegen. Versi kedua memperlihatkan gambaran yang sama namun Basoeki menambahkan seekor ular naga yang membelit puncak gunung Merapi di bawa sosok Maria yang sedang terbang.
Versi ketiga lebih menarik lagi karena Basoeki menambahkan dua sosok wajah, yakni Yesus Kristus dan Tuhan Bapa lengkap dengan mahkota bergaya raja Jawa. Di bawah telapak kaki Bunda Maria terdapat gapura candi di mana orang-orang berjalan memasukinya. Mereka meniti tangga yang berada di bagian dalam gapura candi, seperti hendak turut menuju surga. Reproduksi lukisan itu pernah dijadikan sampul majalah d’Orient edisi Natal 1938.
“Sepertinya versi pertama itu yang punya Serikat Jesuit di Nijmegen. Dua lainnya pengembangan dari versi yang pertama,” kata Amir menduga.
Baca juga: Kisah Bung Dullah dalam Lukisan Sudjojono
Semua versi lukisan tersebut agaknya menerapkan teknik melukis yang sama. Sebagaimana lukisan Maria Assumpta yang terdapat di gudang Serikat Jesuit, menurut Aminudin secara ikonografis Basoeki mengadopsi gaya klasik. Dia menempatkan obyek perhatian di tengah sebagai tanda bahwa itu penting, agung juga sakral. Itu juga bisa dilihat dari penggambaran cahaya yang merembes dari balik awan; memberi kesan backlight pada figur.
“Dan brush stroke-nya (goresan kuas, red.) secara umum lembut, detail dan hampir tidak ada tekstur cat pada kanvas. Kalau kita amati langsung dari depan lukisan aslinya, semua gejala-gejala klasik itu terasa kuat. Dalam tradisi sekolah seni Eropa, kemampuan melukis bergaya klasik ini memang pernah dijadikan parameter baik-buruknya kualitas melukis seseorang,” kata Aminudin.
Mengomentari keberadaan lukisan yang tak bisa dinikmati masyarakat luas itu, Aminudin berkomentar, “Harusnya lukisan ini terpajang di Galeri Nasional di Jakarta,” pungkasnya.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar