Mahakarya Sang Trubadur Legendaris
Maestro musik yang dicinta beragam kalangan. Mahakaryanya tak lekang dimakan zaman.
Siapa tak kenal Gombloh? Generasi 1990-an ke atas hampir pasti mengenal penyanyi nyentrik dengan lagu-lagu khas yang nyeleneh itu. Lagu-lagunya merambah beragam sendi kehidupan, mulai dari percintaan, kritik sosial, hingga bertema nasionalisme.
Beberapa lagu Gombloh seperti “Kebyar-Kebyar”, yang diciptakan tahun 1979, hingga kini masih populer dan acap diperdengarkan dalam beragam acara nasional. Lagu tersebut terinspirasi dari gemerlap lampu kafe-kafe di lokalisasi Bangunrejo, Surabaya.
Baca juga: Perhatian dan kepedulian sosial Gombloh pada para PSK
Gombloh yang bernama asli Soedjarwoto Soemarsono, memang berasal dari keluarga menengah ke bawah di Kampung Embong Malang, Surabaya. “Enggak pernah ngartis karena dia merasa lahir dari masyarakat bawah. Ayahnya hanya tukang jual ayam,” ujar Dhahana Adi Pungkas alias Ipung, penulis Surabaya Punya Cerita, kepada Historia.
Pria kelahiran Jombang, 14 Juli 1948 itu berkenalan dengan seni musik dari tetangganya yang acap bermain gitar. Sejak usia enam tahun, Gombloh sudah mahir memainkan jemarinya pada tiap senar gitar yang dipinjam dari tetangganya. Namun, sebagaimana ditulis Ipung dalam bukunya, pendidikan Gombloh berjalan lancar meski mulai gila musik.
Pendidikan Gombloh mulai terganggu pada saat kuliah di Jurusan Arsitektur Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) tahun 1968. Meningkatnya popularitas dia bersama band Lemon Trees membuat Gombloh sering bolos kuliah. Gombloh akhirnya tak lulus, tetapi tetap dihormati di ITS.
Gombloh sibuk mengamen di berbagai kafe atau night club. Mengikuti geng Gegars Otack, dia acap nongkrong di Bengkel Muda Surabaya (BMS) hingga bisa menembus dapur rekaman Golden Hand (1978-1981), Chandra Recording (1981-1983), dan Nirwana Records (1983-1987).
Kebyar-Kebyar
Meski sudah ditulis sejak 1978, “Kebyar-Kebyar” baru rilis setahun berikutnya bersama bandnya di album dengan nama yang sama. Majalah Rolling Stone edisi ke-56 tahun 2009 menobatkan lagu ini dalam daftar 150 lagu terbaik Indonesia sepanjang masa.
Inspirasi lagu ini didapatkan Gombloh ketika sedang dikerok lantaran masuk angin di BMS. Gombloh teringat nada-nada permainan piano rekannya, Wisnu Padma, sehari sebelumnya di studio musik. Sambil punggungnya dikerok, Gombloh mendendangkan lagi nada-nada permainan piano Wisnu meski sesekali diselingi sendawa, hingga terangkai sebuah lagu.
Dhahana Adi Pungkas alias Ipung (Foto: Randy Wirayudha/Historia)
“Dia pikirannya mungkin lagu ini akan jadi semacam kebyar, memerikan semangat, tapi enggak pingin dibuat seperti lagu-lagunya Ismail Marzuki. Lalu dibuat awalnya nge-pop. Mulanya juga tidak terdengar heroik seperti yang kita kenal sekarang. Lagunya lantas lebih booming dan diaransemen ulang, disempurnakan seperti sekarang setelah Gombloh meninggal,” sambung Ipung.
Lagu itu lantas senantiasa hadir dan dimainkan beragam musisi di panggung 17-an (HUT RI 17 Agustus) selain lagu-lagu nasionalis lainnya. Bahkan, band rock asal Inggris Arkarna pernah meng-cover lagu itu pada HUT RI ke-70.
Selain “Kebyar-Kebyar”, lagu Gombloh lain yang masuk ke dalam 150 lagu terbaik sepanjang masa adalah “Berita Cuaca”. Lagu bertema lingkungan ini pernah diaransemen ulang dan dirilis band rock asal Surabaya Boomerang pada akhir 1990-an.
Di Radio
Kreativitas Gombloh dalam bermusik tak berhenti meski “Kebyar-Kebyar” telah populer. Nyaris setiap orang Indonesia generasi 1990-an di berbagai pelosok pun kenal mahakarya “Kugadaikan Cintaku” yang rilis pada 1986 di album Apel. Lagu yang lebih dikenal dengan “Di Radio” ini, menurut Asriat Ginting dkk dalam Musisiku menguraikan, jadi lagu terlaris dan jadi trademark baru Gombloh setelah era “Kebyar-Kebyar”.
Dalam kurun waktu setahun, album Apel terjual di atas satu juta kaset. “Baru beberapa bulan saja sudah tembus 500 ribu keping (kaset). Uniknya, rangkaian lagunya tercipta saat Gombloh sedang (buang air) di WC Balai Pemuda,” kata Ipung.
Alkisah, pada suatu hari manajer Nirwana Records Bob Djumara memutar lagu “Wonderful World, Beautiful People” milik Jimmy Cliff untuk diperdengarkan ke Gombloh. Tertarik dengan nada-nada musiknya, Gombloh “mencomot” sebagian reff-nya untuk diolah lagi. “Tapi liriknya semula bertema kritik sosial, tapi saya tidak setuju. Sentuhan komersialnya kurang kena. Pakai lirik cinta saja,” kata Bob menyarankan sebagaimana dikutip Ipung dalam Surabaya Punya Cerita Vol. 1.
Baca juga: Kisah Koes Bersaudara hingga D'Lloyd terinspirasi mencipta lagu dari penjara
Lirik bertema cinta baru didapat inspirasinya kala Gombloh sedang di toilet Balai Pemuda. “Ya saat di WC dia memikirkan lagi lagu ini saat sedang buang air. Enggak lama keluar dari WC, dia buru-buru ambil kertas dan menuliskannya lagi liriknya,” tambah Ipung.
Maka, keluarlah lagu “Kugadaikan Cintaku”. Lirik itu terilhami dari kisah cinta Gombloh semasa SMA yang berakhir pahit. “Semasa SMA dan gabung geng Gegars Otack yang sering gaul dengan radio amatir, Gombloh pernah naksir cewek. Ceritanya Gombloh pernah punya janjian bertemu, tapi Gombloh kecewa karena ternyata cewek itu sudah punya cowok lain. Lagu itu ya curhat-nya Gombloh. Kenapa liriknya diawali dengan kata-kata ‘Di radio’, itu karena zaman itu Gombloh dapat kenalan cewek itu dari radio amatir,” tandasnya.
“Kugadaikan Cintaku” meledak di pasaran dan masih populer hingga kini. “Itu jadi rekornya penjualan Nirwana Records, sampai sekarang belum terpecahkan,” kata Ipung. Dalam 100 Tahun Musik Indonesia, mendiang Denny Sakrie menyelipkan “Kugadaikan Cintaku” sebagai satu dari 10 lagu terbaik Indonesia era 1980-1989.
Tak heran setelah ketiadaan Gombloh yang wafat pada 9 Januari 1988, sang trubadur masih dicintai banyak pecinta musik di Indonesia. Kelompok Pemusik Jalanan Surabaya menobatkannya menjadi Pahlawan Pemusik Jalanan pada 2003. Sementara Persatuan Artis Penyanyi, Pencipta Lagu dan Penata Musik Rekaman Indonesia (PAPPRI) memberi anugerah penghargaan Nugraha Bhakti Musik pada 2005.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar