Lebih Dekat Mengenal Batik dari Kota Batik (Bagian I)
Tak sekadar menampilkan batik khas Pekalongan, Museum Batik di Pekalongan menghadirkan pula batik-batik sumbangan keluarga Bung Hatta hingga Habibie.
TERIKNYA sinar matahari yang menaungi langit di atas Taman Jetayu, Kota Pekalongan siang itu membuat sejumlah orang yang keluar dari Masjid Al-Ikhlas mengerumuni penjaja es teh atau es dawet selepas shalat Jumat. Namun ada hal unik yang tampak bagi mata orang awam, yakni hampir semua pedagang kecil di sekitar taman mengenakan batik, entah berbentuk kemeja ataupun hijab. Maklum, Pekalongan punya imej sebagai “Kota Batik”.
Selain dari warganya yang mengenakan batik, citra tersebut tampak pula dari beberapa plang “Batik City” di Taman Jetayu maupun di alun-alun di persimpangan Jalan Nusantara dan Jalan Alun-Alun Utara.
Tepat di sebelah Masjid Al-Ikhlas atau di seberang Taman Jetayu, berdiri gagah sebuah bangunan yang bergaya perpaduan Eropa dan lokal dari awal abad ke-20 yang kini menjadi Museum Batik Pekalongan. Museum itu diresmikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 2006 seiring pengajuan batik sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Nonbendawi asal Indonesia di UNESCO.
“Bangunannya sudah sejak 1900-an (1906, red.). Sebelum jadi museum, bangunan ini dipakai jadi Balai Kota Pekalongan. Dan jauh sebelumnya lagi bangunan ini digunakan untuk salah satu kantor cabang administrasi pabrik gula di zaman Belanda,” terang pemandu museum bernama Adi Putro kepada Historia.ID.
Baca juga: Mengenal Kain Tenun Halaban, Sobi, dan Cual Sambas
Gedung itu dulu memang merupakan kantor keuangan yang menaungi tujuh pabrik gula di seantero Karesidenan Pekalongan di era Hindia Belanda. Bangunannya didirikan hampir bersamaan dengan sejumlah bangunan penting lain di era pembangunan titik nol yang dilewati megaproyek Jalan Raya Pos-nya Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels (1816-1818).
“Ditandai dengan Tugu Myl Paal dekat kawasan Jetayu, kota tua Pekalongan. Di jalur Jalan Raya Pos yang melewati Pekalongan ini kemudian dibangun peradaban pada 1850-1870. Di antaranya Gedung Museum Batik, Kantor Pos Pekalongan, banguan residen, dan bangunan-bangunan lainnya yang kini berlabel Cagar Budaya Pekalongan,” ungkap Angga Indrawan dalam Napak Tilas Jalan Daendels.
Soal batik, meski Pekalongan punya motif khas, museum itu tidak hanya menampilkan motif-motif kota setempat. Dari sejumlah koleksi yang terbagi di tiga ruang pamer, terdapat pula motif-motif batik dari daerah lain di Nusantara.
“Kita ada lebih dari seribu koleksi batik dan tidak hanya dari Pekalongan saja. Koleksinya juga banyak dari donasi. Per tiga atau enam bulan biasanya ganti terus temanya yang ditampilkan. Misal pas 17-an (momen HUT RI 17 Agustus) kita munculkan batik-batik nasional,” imbuhnya.
Baca juga: Tenun Nusantara Merambah Generasi Muda
Ada beberapa koleksi yang boleh disentuh pengunjung dengan hati-hati untuk merasakan bahan kain batik itu, tapi ada juga yang ditempatkan di etalase kaca alias tidak boleh disentuh. Salah satunya kain batik tulis bermotif Piring Selampad Phoenix Latar Banji yang merupakan sumbangan dari keluarga proklamator Mohammad Hatta kepada museum pada Juni 2023.
“Karena berhias emas begitu ya dan ini coraknya seperti corak Mega Mendung yang terpengaruh dari China,” sambung Adi.
Ada pula kain batik unik bermotif burung garuda. Kain batik ini merupakan sumbangan dari keluarga Hasri Ainun Besari Habibie, istri Presiden RI ketiga Bacharuddin Jusuf Habibie.
Lalu, ada lagi kain batik motif Boketan Tiga Negeri sumbangan seniman batik Afif Sjakur yang dibuat lintas tiga daerah: Lasem, Pekalongan, dan Surakarta (Solo). Kain batik cantik berdimensi panjang 209 cm x 103,5 cm itu berlatar warna cokelat dengan berhias tumbuhan dan bunga-bunga berwarna merah dan biru.
“Motif buketan sebenarnya salah satu motif khas Pekalongan. Batik ini proses membatik dan pewarnaannya pada 1930-an itu sampai ke tiga kota. Merahnya dari Lasem, cokelatnya dari Solo, dan birunya dari Pekalongan. Lasem kan terkenal batiknya motif-motif merah dan Pekalongan itu biru,” lanjutnya.
Baca juga: Merambah Indahnya Kain Tenun Nusantara
Selain motif buketan, batik Pekalongan juga punya kekhasan motif jlamprang. Lainnya adalah motif negeri dongeng, motif pagi sore, motif semen, hingga motif Jawa Hokokai.
Pembeda signifikan lainnya, sambung Adi, adalah soal warna. Pekalongan sebagaimana kota-kota pesisir pantai utara lainnya punya corak dan motif dengan warna-warna cerah. Berbeda dari batik daerah “pedalaman” seperti di Solo yang motif-motifnya dominan berwarna cokelat dan hitam, serta Yogyakarta yang dominan cokelat dan putih.
“Kalau pedalaman itu seperti yang Kraton Solo sama Yogya cokelat dan putih dominan warnanya. Kalau yang ada di pesisir seperti Cirebon, Pekalongan, Lasem, itu warnanya warna-warni. Bedanya karena faktor pendatang dari Arab, China, dsb.,” ujarnya.
Batik dengan motif-motif inilah yang marak ditemui dan bisa dibeli di kawasan-kawasan wisata belanja Kampung Batik Kauman atau Pasar Grosir Batik Setono. Hanya saja, tetap harus diperhatikan keotentikan batiknya.
“Karena zaman sekarang selain batik tulis dan batik cap, ada juga batik sablon dan batik printing. Lalu ada juga batik kombinasi (cap-tulis, cap-printing, dsb). Kalau yang sablon sama printing itu ya kain bermotif batik saja tapi tidak bisa disebut batik karena proses pembuatannya tidak melewati proses dan menggunakan alat-alat khas membatik,” tandas Adi.
Baca juga: Seragam Batik Tempur
(BERSAMBUNG)
Tambahkan komentar
Belum ada komentar