Kontestasi Ideologi dalam Pakaian Perempuan Indonesia
Dari masa ke masa, cara berpakaian perempuan Indonesia selalu berkelindan dengan negara dan politik. Ada perlawanan di setiap zaman.
Pasca-Proklamasi Kemerdekaan, upaya pencarian identitas kebangsaan menjadi isu penting di banyak sektor. Kaum perempuan juga tak luput dari tugas-tugas “revolusioner” itu. Pakaian menjadi salah satu senjatanya.
Sejarawan University of Michigan Charley Sullivan menjelaskan mengenai dinamika perempuan Indonesia dalam berpakaian tersebut dalam dialog sejarah “Pakaian Perempuan Indonesia dari Masa ke Masa” di saluran Facebook dan Youtube Historia.id, Selasa 8 September 2020.
Pada masa awal Indonesia berdiri, terang Charley, muncul pertanyaan bagi kaum wanita tentang bagaimana menjadi modern tetapi tetap menjadi bangsa Indonesia yang “timur”. Dari pertanyaan itu, mode kemudian membentuk sejarahnya sendiri.
Baca juga: Kolonialisme Hancurkan Kedudukan Perempuan
Charley menyebut, sejarah mode bukan hanya tentang busana dan make up atau bahkan bukan karena pilihan perempuan itu sendiri. Tetapi, terkait pula dengan makna sosial yang lebih umum dan posisi serta tingkat sosial wanita sebagai kaum.
“Dan in relationship to the state. In relationship ke negaranya,” jelas Charley.
Dalam disertasinya, Years of Dressing Dangerously: Modern Women, National Identity and Moral Crisis in Sukarno’s Indonesia, 1945-1966, Charley menyebut bahwa majalah-majalah perempuan saat itu memiliki peranan penting dalam hal ini. Wacana mengenai pakaian apa yang pantas serta mewakili citra Indonesia menjadi diskusi terbuka di media-media tersebut.
Diskusi tersebut misalnya, penggunaan kain batik pada era Sukarno terus dikonstruksi media sebagai simbol modernitas, kebanggaan kulturil dan sumber berkembangnya ekonomi nasional. Batik dan kemudian kebaya selain dianggap modern juga menjadi negasi dari gaya busana Barat.
Charley menyebut, saat itu perempuan memiliki tugas berat yang beriringan dengan politik anti-kolonialisme dan imperialisme Sukarno serta era konfrontasi yang memuncak di tahun 1960-an. Pakaian perempuan menjadi salah satu bentuk perlawanan terhadap hegemoni budaya Barat, khususnya Amerika Serikat.
Baca juga: Bersatulah Wahai Kaum Perempuan
“Dalam hal-hal mode pakaian, kecantikan ini, (perempuan) sudah punya duty. Satu pekerjaan yang sangat keras dan yang sangat sulit pada kaum wanita,” kata Charley.
Tetapi memasuki era Orde Baru, makna-makna itu berubah. Cara berpakaian tidak lagi terkait dengan hal-hal revolusioner. Rezim Soeharto cenderung mengembalikan peran perempuan ke ranah domestik. Gaya berpakaian kemudian diatur dalam kerangka stabilitas negara.
Aktivis gerakan perempuan Tunggal Pawestri menyebut bahwa Orde Baru, meski berbeda visi, juga menjadikan tubuh perempuan sebagai arena pertarungan ideologi. Contohnya adalah pelarangan penggunaan jilbab di Indonesia.
“Ada pelarangan jilbab dengan alasan katanya membatasi pengaruh fundamentalisme Islam dan gelombang arabisasi. Dan juga ada stereotype negatif yang dibangun bahwa, dan ini jelas klaim Barat juga, penggunaan jilbab itu sebagai salah satu ciri dari ekstremisme,” jelas Tunggal.
Meski cukup berhasil, sambungnya, pelarangan itu juga memunculkan perlawanan. Di era 1980-an, menggunakan jilbab merupakan satu bentuk perlawanan terhadap Orde Baru.
Baca juga: Perempuan Ditekan, Perempuan Melawan
Senada dengan Tunggal, Sosiolog UIN Syarif Hidayatullah Neng Dara Affiah menyebut bahwa tiap ada pelarangan, muncul pula perlawanan. Pada masa Orde Baru, memakai jilbab adalah protes terhadap narasi tunggal tentang identitas kebangsaan. Namun hal ini berbalik pasca-reformasi ketika pemakai jilbab mendominasi.
“Pemakaian kebaya sekarang ini justru protes dan pengimbangan terhadap dominasi orang-orang yang memakai jilbab,” kata Neng.
Zaman dulu dapat dilihat dengan jelas bagaimana orang berpakaian menunjukkan identitasnya. Misal, dari kalangan santri memakai jilbab, sedangkan di luar santri ada yang tidak berjilbab dan ada yang berkerudung terbuka. Namun, sambung Neng Dara, hal itu kini berubah. Jilbab tidak lagi hanya menunjukkan identitas keagamaan. Jilbab juga telah dipakai untuk kepentingan politik praktis.
“Bahkan pola masyarakat yang tadinya dijuluki abangan, priyayi dan santri, sekarang itu sudah sumir sekali perbedaannya,” jelas Neng Dara.
Neng Dara menyebut bahwa perubahan cara berpakaian di dalam masyarakat dari satu generasi ke generasi selalu berubah-ubah. Perubahan itu berkaitan dengan banyak hal, baik perubahan sosial di masyarakat itu sendiri maupun perubahan politik tingkat nasional maupun global.
Baca juga: Perempuan di Banyak Palagan
“Ada dinamika sosial yang tidak stagnan. Dia berubah-ubah, tentang pakaian dan identitas atau makna di saat kaum perempuan berpakaian itu. Makna dalam kaitan identitas keberagamaan, makna dalam identitas kebangsaan atau jati diri bangsa,” katanya.
Dinamika tersebut, menurut Tunggal, kemudian menjadi faktor munculnya permasalahan baru di masa kini. Dari tahun ke tahun semakin banyak peraturan daerah (perda) yang diskrimintaif terkait pakaian perempuan. Hingga 2012, ada 342 perda diskriminatif dan 72 di antaranya mengatur pakaian perempuan. Angka terus naik di tahun 2019 menjadi 421 perda diskrimintaif, termasuk di dalamnya peraturan tentang cara berpakaian perempuan.
Perda-perda tersebut selain mengatur cara berpakaian juga mengatur hal-hal terkait aktivitas perempuan. Semua peraturan tersebut dibuat berbasis interpretasi tunggal ajaran agama.
“Hal menarik juga belakangan selain ada state yang mencoba mengatur cara berpakaian perempuan, tapi juga ada kelompok-kelompok lain yang mencoba melakukan pengaturan cara berpakaian perempuan,” jelas Tunggal.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar