Konsep Sakit dan Sehat dalam Primbon
Orang Jawa punya kitab yang memuat konsep sehat dan sakit. Memuat berbagai jenis resep obat dan cara pengobatannya.
Imun yang kuat jadi faktor penting melindungi tubuh di tengah penyebaran Coronavirus (Covid-19). Banyak cara menjaga daya tahan tubuh, selain rajin berolah raga, mengonsumsi buah dan sayur, menjaga pikiran tetap positif dan tenang.
Konsep itu juga ditemukan dalam pandangan tradisional Jawa. Keseimbangan rohani dan jasmani menjadi penting bagi orang Jawa dalam melihat masalah sehat dan sakit. Jika keduanya selaras, seseorang akan merasa bahagia dan senang, sehingga jauh dari penyakit.
Antropolog Universitas Gadjah Mada, Atik Triratnawati, menjelaskan pandangan tradisional itu digali dari akar budaya yang bersumber dari kosmologi Jawa. Seperti ajaran kejawen yaitu sangkan paraning dumadi dan manunggaling kawula Gusti.
“Kosmologi Jawa adalah wawasan manusia Jawa terhadap alam semesta,” tulis Atik dalam “Masuk Angin dalam Konteks Kosmologi Jawa”, termuat di jurnal Humaniora Vol. 23/2011.
Konsep keseimbangan hidup orang Jawa sifatnya menyeluruh, mencakup makrokosmos dan mikrokosmos. Mistik kejawen menganggap jiwa, raga, dan suksma adalah satu.
Karenanya, jika oleh kalangan medis modern semua penyakit dianggap disebabkan oleh virus, kuman, jasad renik, maupun bakteri; masyarakat tradisional Jawa punya penjelasan lain. Ini adalah kepercayaan dan pengetahuan yang sudah mereka warisi dari para leluhur.
Analisis Primbon
Dosen Jurusan Sastra Indonesia Universitas Sebelas Maret Surakarta, Bani Sudardi, menjelaskan persoalan konsep sakit dan sehat banyak dijelaskan dalam kitab-kitab primbon. Secara garis besar primbon berisi masalah yang berhubungan dengan kelahiran, perkawinan, kematian, dan hubungan manusia dengan alam. Ada pula soal penyakit dan pengobatannya.
Orang Jawa mengenal pengetahuan primbon paling tidak sejak abad ke-8. Kala itu mereka telah terbiasa mencatat waktu, dari mulai musim, hari, bulan, tanggal, perbintangan, sampai rasi. Tentang ini muncul dalam Prasasti Tulang Air di Candi Perot (850), Prasasti Haliwangbang (857), dan Prasasti Kudadu (1294).
Primbon terlengkap dalam tradisi Jawa baru ditulis pada masa Kartasura berupa Serat Centhini. “Selain dapat dikatakan sebagai salah perwujudan primbon, serat ini juga dapat dikatakan sebagai salah satu bentuk ensiklopedi khas Jawa,” tulis Bani dalam “Konsep Pengobatan Tradisional Menurut Primbon Jawa”, terbit di jurnal Humaniora Vol. 14/2002.
Baca juga: Paradoks Serat Centhini
Serat Centhini ditulis atas perintah Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Amengkunegara III yang memerintah Surakarta (1820–1823). Ia adalah putra Pakubuwono IV (1788–1820). Penyusunannya dipimpin Ki Ngabehi Ranggasutrasna, didampingi Raden Ngabehi Yasadipura, Raden Ngabehi Sastradipura. Mereka dibantu Pangeran Jungut Mandurareja dari Klaten, Kiai Kasan Besari dari Panaraga, dan Kiai Mohammad Mindad dari Surakarta.
Berbagai jenis resep obat dan pengobatan dapat ditemukan dalam Serat Centhini. Namun, menurut Bani, kitab primbon selain Serat Centhini yang memuat itu juga ada. Sebagian sudah diterbitkan. Sebagian lainnya masih tersimpan sebagai manuskrip di berbagai tempat penyimpanan.
“Misalnya primbon yang tersimpan di keraton, masih bersifat rahasia, sulit dijangkau masyarakat luas,” ujar Bani.
Primbon biasanya dipegang oleh tokoh cendekiawan pada masanya, seperti tetua adat, tokoh masyarakat, dukun, atau guru kebatinan. Di bidang kesehatan, mereka memakai primbon untuk menganalisis kondisi kesehatan seseorang.
Untuk melakukannya, primbon memakai beragam perhitungan. Misalnya, jumlah neptu dina lan pasaran atau perhitungan hari pasaran Jawa saat datangnya penyakit. Ini bisa digunakan untuk menentukan asal penyakit, tingkat penyakit, dan bagian yang sakit.
Baca juga: Keris Sakti dan Pagebluk Corona
Antara primbon yang satu dan yang lain mungkin bisa berbeda. Namun yang jelas ada beberapa kemungkinan suatu penyakit itu berasal. Penyakit bisa datang dari Allah, bisa karena perkataannya sendiri yang tidak dipenuhi (ujar), bisa dari jin atau setan, dan dari perbuatan jahat orang lain (teluh).
Contohnya, dilihat dari hari dimulainya penyakit, bisa ditentukan anggota badan mana yang memulai sakit atau sebab sakitnya. “Bila sakit dimulai hari Senin, asal penyakit dari telinga. Penyebabnya bisa karena mendengar berita buruk, menahan marah, dan sebagainya yang bersumber dari telinga,” jelas Bani.
Bisa juga mengetahui muasal penyakit lewat perhitungan hari lahir si penderita. Pun bisa lewat mencari tahu perbuatannya yang mungkin telah melanggar pantangan.
Seimbang Jiwa dan Raga
Artinya, orang bisa sakit akibat kualitas hubunganya dengan lingkungan. Pasalnya orang Jawa yakin bahwa manusia adalah bagian tak terpisahkan dari suatu tatanan kosmis. Akibat konsep itu, tak heran kalau mereka percaya berbagai penyakit datang akibat guna-guna. Kalau sudah begini, mereka merasa tak akan mempan bila pergi ke dokter modern.
Sejarawan Denys Lombard dalam Nusa Jawa III: Warisan Kerajaan Konsentris menjelaskan ritual-ritual pedesaan banyak dilakuan demi menjaga keserasian kosmis antara kekuatan yang tak selaras. Antara desa dan semesta harus seimbang agar kehidupan tak bergoncang. Ini juga demi menaklukan roh-roh jahat penyebab goncangan itu.
Baca juga: Penyakit yang Ditakuti pada Zaman Majapahit
Seperti dengan menggelar pertunjukkan wayang. Alasannya bisa bervariasi misalnya peristiwa dalam keluarga, pindah kediaman, penggantian nama, mimpi buruk, dan sakit. Tujuannya adalah menjinakkan roh, seperti dedemit, lelembut, memedi, dan tuyul yang dianggap hadir.
“Bila mereka betul-betul sudah dijinakkan, barulah manusia dapat ‘selamat’,” kata Lombard.
Menurut Bani, banyak pula dalang yang bercerita kalau orang yang rajin bersemadi hidupnya akan sehat. Ia bakal jauh dari penyakit. Teorinya, saat bersemadi seluruh lubang tubuh yang berjumlah sembilan itu akan terkonsentrasi dalam kebaikan. Akibatnya unsur spiritual seseorang akan menjadi kuat. Daya tahan tubuh menjadi optimal.
“Pada saat seseorang sedang labil jiwanya, kekebalan tubuh akan mengalami penurunan, inilah yang akan mengakibatkan orang mudah sakit,” jelas Bani.
Baca juga: Mengobati Penyakit pada Zaman Kuno
Pun halnya kalau pikiran tak bersih, kurang sabar, atau hanya memikirkan soal materi semata. Ini akan mendorong seseorang menjadi tergesa-gesa dalam bekerja. Fisik pun jadi melemah. Ia lalu akan mudah sakit.
Atik Triratnawati mengatakan harmonisasi tubuh manusia terwujud apabila aspek fisik dan nonfisik berada dalam keadaan seimbang. Bagi orang Jawa sakit terjadi apabila ketidakseimbangan unsur fisik dan nonfisik.
Makanya jika seseorang merasa masuk angin, misalnya, oleh orang Jawa kondisi ini dapat dianggap sebagai adanya ketidakseimbangan di dalam tubuh dengan lingkungan sekitarnya. Pemicunya adalah emosi yang tak terkontrol, baik berupa marah, jengkel, iri hati, angan-angan yang tinggi maupun pikiran berat yang menguras energi.
Akibatnya, penderita menjadi sulit tidur, makan, dan minum, yang berpengaruh pada fungsi tubuh secara keseluruhan. Biasanya penderita akan merasakan gejala panas, dingin, perut kembung, atau pegal linu.
“Ada fungsi tubuh yang terganggu, khususnya peredaran darah akibat angin yang kurang lancar,” jelas Atik.
Baca juga: Wabah-Wabah Penyakit Pembunuh Massal
Orang juga akan mudah sakit apabila gagal mengendalikan nafsu, nafsu amarah, aluamah, supiyah, dan mutmainah; atau nafsu makan, nafsu marah, nafsu seksual, dan nafsu otak atau berpikir terlalu keras.
“Orang itu akan mudah mengalami sakit, baik yang bersifat sakit fisik maupun mental,” jelas Atik. “Seseorang yang mampu mengendalikan empat perkara itu disebut orang hebat dan dirinya akan selalu sehat.”
Karenanya, bagi masyarakat tradisional Jawa, primbon membantu mereka untuk memahami penyakit. Dengan pemahaman ini maka akan diketahui bagaimana pola pengobatannya.
“Setidak-tidaknya, konsep pengobatan tradisional Jawa yang memiliki pandangan kosmologis tentang penyakit, memandang penyakit tidak saja pada apa yang sakit, melainkan juga bagaimana dan mengapa seseorang menjadi sakit,” jelas Bani.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar