Kisah Nyai dalam Sastra
Ada beragam cara menggambarkan hidup seorang nyai. Ada yang bernada merendahkan, ada pula yang berusaha memahami kesakitannya.
TANPA dilatari percekcokan atau pertengkaran, Nyai Dasima, gundik lelaki Inggris bernama Edward Williams, pergi meninggalkan tuan dan anaknya. Bukan hanya itu, ia bahkan mau dijadikan istri kedua lelaki pribumi bernama Samioen.
Guna-guna Samioen ternyata yang membuat Dasima melakukan itu semua. Samioen sebenarnya hanya mengincar harta Dasima. Tak heran bila dalam pernikahan ini Dasima mendapat perlakuan buruk dari mertua dan istri pertama Samioen. Dasima akhirnya meninggal.
Kisah itu terdapat dalam prosa Nyai Dasima karya G Francis tahun 1896. Ada banyak versi tentang Nyai Dasima, yang kisahnya bahkan menjadi folklore. Dalam cerita karya Francis, semua tokoh jahat merupakan pribumi muslim yang menyalahgunakan agama untuk memuaskan keserakahan mereka. Menurut Tineke Hellwig dalam Citra Perempuan di Hindia Belanda, Dasima sendiri digambarkan sebagai orang yang tidak setia pada anak dan pasangan Eropanya. Sementara Williams dilukiskan berperasaan halus, sangat peduli pada Dasima dan anaknya. Francis menciptakan kontras baik-buruk lewat tokoh kulit putih-pribumi.
Dalam karya sastra lain, semisal Therese Hoven dalam Vrouwen Lief en Leed onder De Tropen (1896), seorang nyai digambarkan tidak mampu mendidik anak. “Ah! Bagi orang Jawa hal ini (mendidik anak, red.) tidak seburuk itu. Mereka sama seperti masyarakat yang tinggal di alam bebas dan sejauh ini seperti hewan.” Contoh lain ialah roman De Andere Wereld karya Madelon Szekely Lulofs. Madelon mengisahkan lekaki Eropa bernama Pieter Bot yang hidup bersama seorang nyai hingga memiliki anak. Bot mengeluhkan sifat jelek anaknya yang ia diduga menurun dari sang ibu.
Baca juga: Nyai Tak Pernah Diakui
Tiga karya tersebut hanyalah segelintir contoh gambaran negatif sosok nyai dalam karya sastra era kolonial. Menurut Reggie Baay dalam Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda, pencitraan negatif terhadap nyai bertujuan untuk menarik garis pemisah sosial dan rasial yang jelas dalam masyarkat kolonial. Gambaran buruk ini juga digunakan untuk “melindungi” masyarakat Eropa agar tidak berinteraksi dengan para gundik. Seorang nyai selalu dianggap sebagai perempuan gatal. Padahal, seks hanya menjadi peran si lelaki sementara si nyai tak punya kuasa apa pun.
Namun, beberapa penulis Eropa lain bersikap lebih adil. Herman Kommer, misalnya, menceritakan nyai dengan simpatik lewat Nyi Paina yang terbit tahun 1900. Karya ini menceritakan tentang seorang gadis yang dipaksa menjadi nyai untuk menyelamatkan ayahnya, Niti Atmodjo, dari hukuman.
Niti, pemegang kas perusahaan, dituduh menggelapkan uang. Tuduhan itu dimanfaatkan atasan barunya, Briot, yang jatuh hati pada anak Niti dengan mendesak Niti agar mau menyerahkan anaknya untuk dijadikan gundik. Dengan berat hati, Niti menyampaikan keinginan Briot pada istri dan anaknya.
Paina sontak menolak. “Apa? Jadi nyainya Celeng itu? Tiada sekali-kali. Beberapa orang melamar padaku tetapi sudah ditampik dan sekarang hendak dijadikan budaknya si celeng alas itu?” kata Paina.
Baca juga: Perempuan dalam Cengkraman Pergundikan
Namun, Paina menyadari kalau menuruti kemauan Briot adalah satu-satunya cara menyelamatkan si ayah. Di saat bersamaan, penyakit cacar sedang mewabah di desanya. Kondisi itu dimanfaatkan Paina untuk bersiasat. Paina lalu berkeliling kampung, mengunjungi rumah orang-orang yang terkena cacar agar tertular dan bisa menulari Briot.
Ketika Paina akhirnya menyetujui permintaan sang ayah, rencananya pun berhasil. Sepuluh hari tinggal bersama, Briot terserang cacar dan tewas empat hari setelahnya.
Tulisan itu jelas memperlihatkan kekuasaan orang Eropa atas pribumi. Briot menggunakan posisinya untuk menekan Niti agar menyerahkan anaknya. Lewat Nyi Paina, Kommer mengajak pembacanya untuk bersimpati pada ketertindasan perempuan pribumi dan keluarganya.
Nyi Paina ditulis dengan perspektif pribumi. Kommer mengantagoniskan Briot sebagai lelaki buruk rupa pemabuk yang suka menghina orang. Meski keinginannya dituruti, dia tak sadar Paina diam-diam melawan. Paina akhirnya menang melawan hegemoni lelaki kolonial dengan mempertaruhkan nyawanya sendiri.
Penulis lain yang sama simpatiknya dengan Kommer ialah Annie Foore (nama asli Francoise Ijzerman-Junius) dan Marie Frank. Lewat Indische Huwelijke (1895), Annie menggambarkan ketidakadilan yang dialami seorang nyai dan anak indo. Sementara, Marie dalam kumpulan cerpennya yang terbit 1875 dengan simpatik menceritakan kisah seorang gundik yang tak kunjung dinikahi tuannya.
Cerita tentang nyai terus bermunculan. Setelah kemerdekaan, tokoh nyai bisa dijumpai dalam novel Pramoedya Ananta Toer. Di sini, kisah nyai diceritakan dengan perspektif pribumi dari mulut orang Indonesia. Gundik tidak hanya diceritakan sebagai orang lemah terbelakang tetapi berkembang menjadi kuat dan berhati mulia.
Reggie Baay memuji karya Pram sebagai sastra terindah tentang seorang nyai. Bumi Manusia (1980) dengan Nyai Ontosoroh yang amat terkenal dan Surati yang mulai muncul dalam Anak Semua Bangsa (1980). Kisah penolakan diam-diam Surati karya Pram persis Kisah Nyi Paina karya Kommer.
“Pramoedya menggambarkan hidup seorang nyai dengan amat indah,” kata Reggie Baay pada Historia.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar