Kisah Kampung Jawa di Paris
Kampung Jawa menjadi daya tarik utama dalam pameran kolonial dunia di Paris. Di balik kesuksesannya, orang-orang Hindia dalam pameran ini mendapat perlakuan buruk.
SEBUAH bangunan luas yang dikeliling pagar bambu menarik perhatian pengunjung pameran kolonial dunia yang diselenggarakan di Paris, Prancis pada 1889. Di depan pintu masuk, sebuah papan besar berwarna putih bertuliskan “Kampong (Village) Javanais” atau Kampung Jawa.
Menurut Le courrier de la Meuse, 4 Juni 1889, meski kampung itu tak terlalu besar –hanya sekitar dua puluh rumah dan enam puluh penduduk–, tetapi merupakan salah satu bagian yang paling menarik dan indah dari pameran ini. “Di sini, seratus meter dari Palais-Bourbon dan Champs-Elysees, pria, wanita, dan anak-anak telah didatangkan, dan bahasa, pekerjaan, serta pola makan mereka masih sama persis dengan yang ada di kampung halamannya, sebelum mereka melakukan perjalanan sejauh tiga belas ribu dua ratus sembilan puluh lima kilometer yang memisahkan mereka dari Pameran Dunia,” tulis surat kabar berbahasa Prancis itu.
Maria Grever dan Berteke Waaldijk menulis dalam Transforming the Public Sphere: The Dutch National Exhibition of Women’s Labor in 1898, keberadaan kampung itu diprakarsai oleh seorang pengusaha Belgia bernama M. Bernard yang telah tinggal di Jawa selama bertahun-tahun. Kampung “Jawa” itu dibangun oleh “penduduknya” sendiri yang didatangkan dari berbagai wilayah di Hindia Belanda. Layaknya di Jawa, mereka membangun rumah dengan menggunakan batang bambu, daun enau, anyaman dari serabut kelapa, golok bendo, dan sebuah pisau yang disebut pissoraoute. Tanpa paku atau papan, batu bata, plester maupun gergaji dan palu, mereka membangun pondok-pondok jerami yang kemudian membentuk perkampungan Jawa.
Baca juga: Memamerkan Negeri Jajahan di Paris
Pondok-pondok itu memiliki penampakan yang serupa baik di bagian dalam maupun luar. Lantainya terbuat dari anyaman bambu dan ditinggikan satu atau dua kaki di atas tanah yang menjadi tempat perabotan. Di sana para penghuninya menyantap hidangan berupa nasi dan daging kambing panggang yang disajikan dua kali dalam sehari. Sedangkan saat malam, ruangan itu berganti fungsi menjadi kamar tidur. “Mereka berbaring di atas kasur tipis dari daun kering atau erin; kotak-kotak berisi pakaian mereka diletakkan di atasnya. Ini sekaligus menjadi tempat tidur, lemari, meja, dan tempat duduk bersama para penghuninya,” tulis Le courrier de la Meuse.
Di sana pengunjung pameran dapat melihat berbagai kegiatan yang dilakukan oleh para penduduk kampung. Misalnya, di salah satu pondok yang dihuni keluarga pembuat topi, pengunjung dapat melihat para pria, dengan kain yang diikatkan di kepala mereka, menggunakan pissoraoute untuk memotong kulit bambu menjadi potongan-potongan tipis yang kemudian dianyam oleh para wanita untuk membuat hiasan kepala.
Berjalan ke pondok lain, pengunjung dapat melihat seorang wanita yang tengah membatik. Dengan menggunakan canting yang terbuat dari tembaga dan bambu, wanita itu mengambil lilin yang meleleh dari kuali dan menggambar berbagai macam pola di atas kain. Setelah dihias, kain tersebut kemudian dicelupkan ke dalam pewarna. Di pondok ketiga, pengunjung dapat mencicipi minuman yang disajikan oleh seorang penduduk wanita yang mengenakan sarung dan kebaya.
Selain beragam aktivitas yang dilakukannya, penampilan penduduk di kampung ini juga mencuri perhatian para pengunjung. Dalam Paris en 1889, Souvenirs et Croquis de l’Exposition, Paul Bluysen memuji kecantikan wanita Hindia yang menghuni Kampung Jawa.
“Mereka memiliki tinggi badan rata-rata; wajah mereka cantik meskipun tulang pipinya sedikit menonjol; bibir merah mereka, yang terbuka dengan senyuman terus menerus, menunjukkan gigi yang sangat indah yang belum digelapkan oleh sirih... Mereka mengenakan kamisol bermotif bunga-bunga khas Hindia, memperlihatkan leher yang jenjang, dan mengenakan sandal kulit dengan jari-jari kaki yang terbuka,” tulis Bluysen.
“Mereka juga memiliki rambut yang indah berwarna hitam dan semakin cantik dengan hiasan jepit rambut emas dan perak yang dibuat dengan cermat; gerak-geriknya lincah dan menyenangkan,” tambahnya.
Baca juga: Kala Jawa Memesona Eropa
J. de Meester juga mengisahkan pengalamannya mengunjungi Kampung Jawa dalam majalah Eigen Haard. Ia menyebut kampung itu dihuni 40 penduduk laki-laki dan 20 perempuan. Selain melihat berbagai aktivitas yang dilakukan para penghuninya, pengunjung juga dapat menyambangi sebuah rumah Minangkabau yang dikelola oleh perusahaan coklat Van Houten. Di sana pengunjung akan dilayani oleh “tiga perempuan cantik berkulit coklat yang mengenakan sarung indah”.
Selain coklat, pengunjung juga dapat mencicipi minuman sopi, minuman tradisional asal Maluku, di sebuah bangunan kecil yang didirikan firma Erven Bols. Di tempat itu para pelayan didatangkan dari Hindia Belanda. Untuk urusan perut, para pengunjung tak perlu khawatir kelaparan karena di kampung itu juga berdiri sebuah restoran yang menyediakan hidangan rijsttafel yang dimasak oleh seorang koki. “Sudah menjadi mode bagi kalangan atas Paris untuk sesekali pergi makan rijsttafel,” kata de Meester sebagaimana dikutip sejarawan Harry A. Poeze dalam Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda, 1600–1950.
Atraksi lain yang ada di kampung tersebut menampilkan seorang gadis Jawa bernama Oehoen yang “sepanjang hari tersenyum”. Selain itu, pertunjukan tari yang diiringi dengan orkes gamelan juga ditampilkan untuk menghibur para pengunjung. Para penari yang tampil di Kampung Jawa merupakan utusan dari kerajaan lokal di Hindia Belanda. Surat kabar Le courrier de la Meuse melaporkan bahwa mereka merupakan utusan dari Sultan Solo, sementara Poeze menyebut penari-penari itu merupakan para penari Yang Mulia Pangeran Mangkoenegoro, raja dari Yogyakarta. Para penari yang mengenakan pakaian emas, sutra, dan berbagai perhiasan itu sukses membius pengunjung yang datang ke Kampung Jawa.
Sayangnya, meski dianggap sebagai salah satu daya tarik utama dari keseluruhan pameran, pers Prancis dan Belanda menyoroti perlakuan buruk yang diterima para penduduk Kampung Jawa: kelaparan, gaji rendah, dan yang lebih buruk lagi, disiksa dan dimarahi jika berani mengeluh. “Namun pemberitaan positif mengenai kampung ini lebih banyak daripada pemberitaan negatifnya,” tulis Grever dan Waaldijk.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar