Jenderal Orba Rasa Korea
Korsel tak sungkan umbar keburukan jenderal-jenderalnya dalam film meski nama disamarkan. Dalam tiga tahun terakhir setidaknya ada dua film yang menggambarkannya.
Akhir tahun 2023 lalu, film 12.12 The Day dirilis di Korea Selatan (Korsel). Kisahnya seputar para jenderal di sekitar Kudeta 12 Desember 1979 di Korea Selatan. Tiga tahun sebelumnya, Korsel juga merilis sebuah film tentang para jenderal mereka dalam The Man Standing Next (2020). Meski berbeda kisah, kedua film itu menggambarkan pula kenekatan para jenderal-jenderal Korsel.
The Man Standing Next yang disutradarai Woo Min Hoo berkisah tentang jenderal intel bernama Kim Gyu-pyeong (diperankan Lee Byung-hun), yang menjabat direktur badan intel Korsel yakni Korean Central Intelligence Agency (KCIA). KCIA biasa dipimpin seorang jenderal Angkatan Darat.
Sebagai kepala intel, Kim bekerja di bawah Presiden Park. Atas sepengetahuan Presiden Park, Kim terlibat dalam pembunuhan Park Yong Gak, direktur KCIA sebelum Kim sekaligus kawan lama Kim.
Kim mulanya berusaha menjadi bawahan yang baik bagi Presiden Park, hingga harus terlibat dalam pembunuhan direktur sebelumnya. Namun hubungan dia dengan presidennya menjadi buruk. Apalagi Presiden Park punya kepala pengawal yang dekat dengannya namun penuh intrik, yakni Kwak Sang Cheo. Kim juga ditekan untuk menekan perlawanan sipil Korea yang mulai menguat pada 1979.
Kim muak dengan “politik kantor” alias intrik-intrik di lingkaran Presiden Park. Dia akhirnya tak bisa berdiam. Dalam sebuah jamuan makan malam 26 Oktober 1979, Kim nekat menembak Presiden Park dan punakawannya Kwak. Setelah pembunuhan itu, Kim meminta kepala staf tentara Korsel untuk mengambil alih keadaan.
Sosok Kim yang berkacamata, mirip Kepala BAKIN era Orde Baru Jenderal Yoga Sugama. Bedanya, Yoga tak pernah mencelakai Presiden Soeharto. Dalam dunia nyata, pada 26 Oktober 1979, Presiden Park Chung Hee (1917-1979), presiden ke-3 Korsel, memang dibunuh oleh kepala intel Kim Jae Gyu (1924-1980). Pun, pemerintahan Park Chung Hee mirip pemerintahan Soeharto. Keduanya sama-sama diktator yang membiarkan para jenderal di sekelilingnya saling cakar untuk merebut pengaruhnya.
“Karena mengecewakan ekspektasi semua orang, Park menerapkan sistem politik paling komprehensif dan koersif untuk memperluas kekuasaannya. Pada 17 Oktober 1972, Park Chung-hee melakukan upayanya yang paling berani dan terang-terangan untuk mendapatkan kekuasaan seumur hidup. Dia mengumumkan darurat militer dan membubarkan Majelis Nasional. Park sebenarnya melakukan kudeta lagi. Amandemen konstitusi ketujuh menetapkan sistem politik bagi kediktatoran seumur hidup Park Chung-hee. Meskipun presiden harus dipilih secara tidak langsung oleh para delegasi, prosedur ini sebenarnya tidak ada artinya,” tulis Won-Taek Kang dalam artikelnya, “The Strengthening of the Presidential Power and the Rise of Authoritarianism (1952-1980)”, di buku The Oxford Handbook of South Korean Politics yang dieditori Jeong Hun Han dkk.
Sementara, film 12.12 The Day, yang disutradarai Kim Sung Su, seolah meneruskan kisah The Man Standing Next. Di awal film, pelaku pembunuhan Presiden Park ditangkap dan disiksa jenderal-jenderal lain. Kepala Staf Tentara Jeong Sang-ho (1929-2002) dijadikan kambing hitam atas kematian Park oleh para jenderal, termasuk para jenderal klik Hanahoe yang dipimpin Kepala Keamanan Militer Korea Selatan Mayor Jenderal (Mayjen) Chun Doo Gwang (diperankan Hwang Jung-min).
Sewaktu Presiden Park terbunuh, Mayjen Lee Tae Shin adalah komandan garnisun ibukota. Tanggungjawab Lee kira-kira seperti panglima KODAM di Indonesia. Posisi strategisnya membuat merasa mesti bertindak ketika mencium gelagat buruk dari Kelompok Hanahoe. Kelompok Hanahoe, yang punya koneksi dengan para jenderal yang memimpin pasukan, mencoba peruntungan dari keadaan yang ada dengan melancarkan kudeta. Lee memimpin pasukan untuk melawan kudeta tersebut. Bahkan, Lee mengancam akan mengerahkan meriam artilerinya ke tempat para jenderal Hanahoe berkumpul. Namun, Menteri Pertahanan menghentikan Lee. Akhirnya Lee dan perwira anti-kudeta kalah. Chun dan konco-konconya pun menang.
Karakter Chun dimaksudkan untuk menggambarkan Mayjen Chun Doo Hwan (1931-2021) di dunia nyata. Chun Doo Hwan memang pemimpin Hanahoe. Setelah kudeta sukses, dia menjadi presiden Korea ke-5 Korsel.
Jabatan Komandan Keamanan Militer yang disandang Mayjen Chun kira-kira serupa dengan Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) di Indonesia. Dengan kekuasaan besar seperti Pangkopkamtib, Chun menyeret Jeong yang dituduh kudeta pada 1979. Langkahnya mirip Pangkopkamtip Soeharto saat menyeret orang-orang yang dianggap terlibat kudeta G30S pada 1965. Soeharto juga kemudian jadi pejabat presiden, satu dekade sebelum Chun. Keduanya sama-sama memerintah dengan “tangan besi”.
“Chun Doohwan mengirim tentara ke Gwangju untuk secara brutal menumpas pemberontakan sipil, menewaskan lebih dari enam ratus orang,” catat Mark Dake dalam South Korea: The Enigmatic Peninsula.
Pembantain Gwangju pernah digambarkan dalam beberapa film Korsel. Di antaranya Taxy Driver dan May 18.
Sementara Lee Tae Shin, yang diperankan aktor Korea Jung Woo-sung, adalah Mayjen Jang Tae Wan sang komandan garnisun Seoul. Setelah Chun jadi presiden, tempat Jang adalah ruang tahanan. Jang kemudian menulis kisahnya dalam 12-12 Kudetawa Na. Meski sempat jadi pesakitan, Jang kembali menjadi orang yang dihormati setelah Chun lengser.
Sementara, Noh Tae-gon di dunia nyata adalah Mayjen Roh Tae Woo. Ia belakangan mengantikan Chun sebagai presiden Korsel (1988-1993). Roh dan Chun tutup usia pada tahun yang sama namun beda bulan: Roh di bulan Oktober sementara Chun di November.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar