Jejak Tionghoa di Pondok Cina
Mereka datang sebagai pedagang tapi kemudian menghilang.
PAGI di hari Imlek, jalan utama penghubung dua provinsi Jawa Barat dan Jakarta lengang. Belum banyak warga berlalu-lalang, sehingga kendaraan bermotor dapat melaju kencang. Di kedua sisi jalan itu terdapat dua mall besar: Margo City dan Depok Town Square. Gapura merah menghiasi pintu masuk Depok Town Square. Di seberangnya, lampion-lampion tergantung di halaman Margo City. Ketika memasuki halamannya, orang akan menemukan sebuah rumah. Ia dulu sering disebut dengan nama “rumah tua Pondok Cina”. Rumah itu menjadi saksi bisu sejarah Pondok Cina yang tak bisa dilepaskan dari perkembangan kota Depok sejak masa Hindia Timur.
Jauh sebelum orang Belanda menemukan jalan ke Hindia Timur, orang Tionghoa telah mengenalnya, bahkan bermukim di sana. Mereka menyebut wilayah itu Nan Yang (Laut Selatan). Kebanyakan mereka bermukim di Jawa sejak sebelum masa kurun Niaga (pertengahan abad ke-15). Hanya sedikit catatan yang menerangkan kapan mula kedatangan mereka. Menurut sejarawan Onghokham dalam Anti Cina, Kapitalisme Cina dan Gerakan Cina, proses dan periode tak punya tanggal pasti. “Jika para sejarawan memberikan tanggal proses pergerakan, hal itu hanyalah untuk mempermudah,” tulis Ong.
Mereka merantau ke negeri jauh untuk berdagang dan mencari kekayaan. Menurut Ong, alasan ini semakin kuat saat orang Belanda tiba di kepulauan. Mereka segera menjadi mitra dagang tak lama setelah kongsi dagang Belanda (VOC) didirikan dan berpusat di Batavia. Di kota inilah terbentuk masyarakat Tionghoa-Jawa paling tua di bawah pemerintahan VOC.
Mereka memiliki perkampungan sendiri yang disebut Pecinan di sekitar Pasar Ikan. Dari Pecinan, orang Tionghoa membangun bisnisnya. Sejak Batavia berdiri, mereka tak perlu waktu lama untuk berhasil. Keberhasilan mereka mendorong kedatangan imigran Tionghoa lebih banyak lagi di akhir abad ke-17. Sebagian imigran memilih wilayah Ommelanden (daerah sekitar Batavia) untuk berdagang seperti Tangerang di Barat Batavia dan Depok di Selatan Batavia.
Pembukaan Ommelanden wilayah selatan dimulai ketika seorang saudagar VOC, Cornelis Chastelein, membeli sebidang tanah di Depok (Mampang dan Karanganyar) pada 1691 dari seorang tuan tanah Tionghoa, Tio Tiong Ko. Depok terletak jauh di selatan Batavia. Saat itu, orang mesti menempuh sekira dua jam perjalanan dengan kereta kuda dari pusat kota Batavia. Sebelum sampai ke Depok, orang harus melewati sebuah wilayah yang disebut Pondok Tjina.
Pondok Tjina sudah disebut sejak Cornelis Chastelein membeli tanah di Depok. “Nama Pondok Cina itu sudah ada sejak awal. Dalam peta abad ke-17, nama Pondok Cina sudah terpampang pada peta itu,” kata Tri Wahyuning Irsyam, kandidat doktor sejarah dari Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, yang sedang meneliti sejarah perkembangan kota Depok. Sejarawan Adolf Heuken berpendapat serupa. Menurutnya, nama Pondok Tjina dipakai untuk menyebut rumah tua Pondok Cina yang sekarang terletak di halaman Margo City. “Sebuah rumah sudah disebut dengan nama Pondok Tjina pada tahun 1690, waktu dimiliki oleh seorang Tionghoa,” tulis Heuken dalam Tempat-Tempat Bersejarah di Jakarta. Tetapi, belum ada catatan yang menjelaskan mengapa rumah itu dinamakan Pondok Tjina.
Dalam catatan Abraham Van Rieebek, seorang saudagar Belanda yang kelak menjadi pemimpin VOC, nama Pondok Tjina juga sudah tertera. Pada 1704, dia melakukan perjalanan untuk melihat potensi wilayah selatan. “Dia memulai perjalanannya dari Batavia-Tjililitan-Tandjung Timoer-Seringsing-Pondok Tjina-Pondok Putjung-Bodjong Manggis-Kedung Halang-Parung Angsana (sekarang menjadi Tanah Baru),” demikian dikutip Rian Timadar dalam skripsi di Universitas Indonesia, Persebaran Data Arkeologi di Permukiman Depok Abad 17-19.
Keterangan tersebut berbeda dari folklore yang hingga kini berkembang di masyarakat Pondok Cina. Rian Timadar menyebut bahwa masyarakat berpandangan Pondok Cina dulunya disebut Kampung Bojong. Orang Cina menempati hutan itu dengan mendirikan pondok-pondok sederhana. Tuan tanah Kampung Bojong, kebetulan juga orang Tionghoa, tak berkeberatan. Sejak itulah orang mulai menyebut wilayah tersebut Pondok Cina. Pada 1918, kampung tersebut resmi dinamakan Kampung Pondok Cina, menggantikan Kampung Bojong.
Meskipun ihwal penamaan Pondok Cina memiliki riwayat yang berbeda, Pondok Cina diyakini mulai berkembang sebagai tempat singgah sementara bagi orang Tionghoa sejak paruh pertama abad ke-18. Tak lama setelah Chastelein mulai membangun Depok melalui budak-budaknya. Chastelein dan budak-budaknya membutuhkan persediaan barang-barang kebutuhan sehari-hari. Batavia terlalu jauh sehingga dia membutuhkan pasar di Depok. Dia mulai mengundang para pedagang di Batavia untuk datang ke Depok. Sementara itu, VOC memandang Depok sebagai wilayah penyuplai hasil kebun dan tani ke Batavia. Terjadilah hubungan ketergantungan antara Depok dan Batavia.
Mereka yang berdagang di Depok mesti menaati aturan main Chastelein. Sebagai tuan tanah, Chastelein berhak menjadi raja kecil di sana. Dia mendapatkan hak istimewa seperti membuat hukum perdagangan. Salah satunya adalah pelarangan orang Tionghoa bermukim di Depok. Penyebab larangan sebenarnya tak pernah jelas. Tetapi, Lilie Suratminto dalam “Depok dari Masa Prakolonial ke Masa Kolonial” menyebutkan, “Dalam testamennya, Cornelis Chastelein melarang orang Tionghoa tinggal di Depok karena kebiasaan mereka yang tidak baik.”
Chastelein hanya mengizinkan orang Tionghoa berdagang di Depok sejak pagi hingga sore. Testamennya kemudian dijalankan oleh budak-budaknya. Setelah testamen Chastelein keluar, dia meninggal dalam 1714. Budak-budaknya berhak atas penggarapan tanah di Depok. Mereka juga melanjutkan aturan Chastelein seperti melarang orang Tionghoa bermukim di Depok.
Orang Tionghoa tak mungkin pulang ke Glodok, tempat asal mereka. Glodok terlalu jauh untuk ditempuh pulang-pergi. Saat itu, Pondok Cina bukan bagian dari Depok. Mereka diperbolehkan tinggal di sana. Orang Tionghoa tak berkeberatan. Posisi Pondok Cina sangat strategis, terletak di jalur utama (Margonda sekarang) menuju ke tiga pasar, yaitu Pasar Cimanggis, Pasar Cisalak, dan Pasar Lama. Tetapi, tiga pasar itu belum begitu ramai.
Tiga pasar ini baru berkembang saat memasuki abad ke-19. Ketika itu, pusat pemerintahan Batavia telah bergeser ke Weltevreden. VOC sudah bubar. Pemerintahan diambil-alih oleh negeri Belanda. Rumah Gubernur Jenderal berpindah: dari Batavia ke Buitenzorg (Bogor). Hal itu membuat jalan utama Batavia-Depok-Buitenzorg diperbagus. Selain itu, jalur kereta api Manggarai-Depok-Buitenzorg mulai dibangun pada pertengahan abad ke-19. Sebelumnya, jalur kereta api hanya dibangun dari Kota-Manggarai. Sebuah stasiun baru juga didirikan di Depok.
Distribusi barang-barang kebutuhan pokok Batavia-Depok-Buitenzorg menjadi lebih mudah. Permukiman baru pun tumbuh. Hilir-mudik masyarakat dari Batavia menuju Buitenzorg meningkat. Masyarakat yang ingin menuju Buitenzorg, dan sebaliknya, seringkali singgah dulu di Depok. Pada 1860, populasi orang Tionghoa di Hindia Belanda bertambah. Dua per tiganya tinggal di Pulau Jawa. Sebagian besar mereka menempati Batavia yang semakin padat. Beberapa di antara mereka semakin tertarik berdagang di Pasar Cimanggis, Pasar Cisalak, dan Pasar Lama demi memenuhi kebutuhan penduduk Depok. “Ini semua sangat mempengaruhi perkembangan tiga pasar tersebut, termasuk Pondok Cina,” tulis Rian Timadar.
Di pasar itu, mereka bisa berinteraksi dengan orang Depok Asal (orang betawi beragama Islam), orang Depok Asli (keturunan budak Chastelein), dan para pendatang (orang Ambon dan Manado). Pasar menjadi tempat paling terbuka bagi orang Tionghoa untuk menjalin kontak dengan komunitas lain. Sebab, aturan Chastelein masih berlaku hingga memasuki abad ke-20. Larangan itu berakhir ketika Belanda menyerah kepada Jepang dalam 1942.
Pondok Cina tak menjadi Pecinan seperti Glodok. Memasuki abad ke-20, orang Tionghoa di daerah itu berkurang. Sebagian pindah ke Pasar Cisalak, sebagian lain entah ke mana. Penelitian mengenai hal ini masih sangat jarang.
Hingga kini, keturunan para pedagang Tionghoa di Pondok Cina sulit ditemukan. Peninggalan mereka hanyalah rumah tua dan kompleks pemakaman Tionghoa di belakangnya. Tradisi budaya mereka tak mengakar di wilayah itu. Imlek hanya terasa di Margo City dan Depok Town Square, tidak di permukiman warga. Jejak mereka menghilang. Mereka –meminjam istilah sejarawan Belanda Leonard Blusse– seperti “orang-orang tanpa sejarah”. Padahal mereka pernah ikut bersama-sama membangun sejarah Depok.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar