Hikayat Gedung Para Kapiten
Saksi sejarah kehidupan bermasyarakat orang-orang Tionghoa di Palembang.
GEDUNG bergaya multi kultural (Tiongkok, Melayu dan Eropa) itu nampak terlihat tua. Di beberapa bagiannya, dinding tembok mengelupas, memamerkan batu bata merah tua yang terlihat masih kokoh. Kesan kuno semakin kuat, melihat letaknya yang ada di pinggiran Sungai Musi, tepatnya di Dermaga Tujuh Ulu, Palembang. Sisa-sisa kejayaan bangunan itu juga tercermin dari pilar-pilar kayu jati yang masih nampak kekar, dan lantai gedung yang terbuat dari kayu onglen.
“Kami mengenalnya sebagai Gedung Kapiten,” ungkap Syukri (43), salah seorang warga kota Palembang.
Masuk ke gedung itu lewat sebuah tangga kayu berundak 12, pemandangan bercorak Tiongkok terhampar: altar-altar tua, sebuah foto usang lelaki Hokian lengkap dengan seragam pejabat Hindia Belanda-nya.
Ketika bertemu dengan salah seorang penghuninya bernama Tjoa Hok Lim pada sekira 2008, saya sempat mendapatkan semua informasi mengenai gedung tersebut. Termasuk jawaban siapa lelaki Hokian yang ada di foto itu.
“Ini mendiang kakek buyut saya. Namanya Kapiten Tjoa Ham Ling,”ujar lelaki yang pada 2008 tepat berusia 82 tahun.
Gedung milik keluarga besar Tjoa itu memang merupakan salah satu dari tiga bangunan bersejarah sisa-sisa kejayaan para Hokian perantau di pinggiran Sungai Musi. Ceritanya, pasca Kesultanan Palembang Darussalam dihapus oleh Pemerintah Hindia Belanda pada 7 Oktober 1823, diberlakukanlah sebuah undang-undang yang mewajibkan setiap etnis memiliki struktur komunitas masing-masing.
Komunitas itu biasanya dipimpin oleh seorang kuat yang diangkat langsung oleh pemerintah Hindia Belanda.Mereka dianugerahi pangkat mayor atau kapiten. Pada 1830, di Palembang, komunitas Hokian dipimpin oleh seorang Mayor. Namanya Tjoa Kie Tjuan,yang pada 1855 digantikan oleh putranya yang bernama Kapiten Tjoa Ham Hin.
Kapiten Ham Hin-lah yang kemudian menempati dan merenovasi gedung yang letaknya tepat di bawah lindungan Jembatan Ampera itu. Jauh sebelumnya gedung tersebut ditempati oleh seorang putri dari Keraton Kesultanan Palembang dan sudah ada sejak 1600-an.
“Terakhir keturunan Mayor Tjoa Kie Tjuan yang menjadi kapiten dan bertempat tinggal di sini adalah Kapiten Tjoa Ham Ling sampai sekitar tahun 1920-an,” ujar lelaki yang akrab di sapa warga Dermaga Tujuh Ulu sebagai Pak Kohar.
Sejak dicanangkan sebagai cagar budaya oleh pemerintah daerah setempat pada 2017, Gedung Kapiten praktis diurus oleh Mulyadi alias Tjoa Tiong Gie, generasi ke-13 dari Mayor Tjoa Kie Tjuan. Dia juga tak lain putra dari Tjoa Hok Lim.
Mulyadi berkisah bahwa begitu pentingnya posisi para kapiten itu di masa lalu sehingga pemerintah Hindia Belanda memperlakukan mereka secara istimewa. Itu wajar jika melihat tugas mereka sebagai pemunggut pajak dari para pengusaha Tionghoa di Palembang.
“Semua perizinan usaha dan kegiatan yang terkait dengan etnis Tionghoa di Palembang diurus oleh para leluhur saya,” ungkap Mulyadi.
Keturunan she (marga) Tjoa sendiri hingga kini sudah sampai pada 14 generasi. Mereka menyebar ke berbagai tempat di Indonesia, dan sebagian besar bermukim di Pulau Jawa.
“Di sini, yang tersisa hanya kami inilah,”ujar Tjoa Hok Lim.
Apa yang membuat mereka bertahan di gedung lawas itu? Menurut Mulyadi, secara emosional mereka merasa terikat dan berkewajiban untuk mengurus peninggalan moyangnya tersebut. Selain sudah diamanahkan oleh keluarga besarnya, Mulyadi juga sangat sadar jika gedung itu memiliki sejarah yang tidak ternilai.
“Pernah ada yang menawar dengan harga lumayan mahal, tapi kami tidak kasih. Ayah saya bilang berapa pun harganya yang mereka tawarkan, rumah ini tak akan pernah dijual,”ujar Mulyadi.
Kalaupun rumah itu sekarang sudah menjadi cagar budaya, namun status tersebut belumlah cukup untuk menjadikannya tidak terlupakan oleh sejarah. Diperlukan aksi nyata oleh pemerintah setempat (seperti renovasi dan revitalisasi) supaya generasi hari ini dan mendatang bisa menjadikan Gedung Kapiten sebagai obyek pembelajaran sejarah dan kepentingan wisata yang menarik para turis untuk mengunjunginya.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar