Gus Dur Hanya Pulang
Gus Dur telah memberikan teladan, tinggal kita yang meneruskan.
LAMAT-lamat terdengar shalawat narriyah, yang dilantunkan sekelompok penyanyi di halaman Taman Ismail Marzuki, 28 September lalu. “Shalawat ini adalah kesukaan Gus Dur,” ujar salah satu vokalis grup An-Nabawi dalam pagelaran seni budaya mengenang 1000 hari meninggalnya Abdurrahman Wahid atau yang kerap dipanggil Gus Dur. Salah satu putri Gus Dur, Alissa Wahid, disela-sela acara tersebut menerangkan, “di acara malam ini, akan kita lihat bagaimana pluralitas yang identik dengan sosok Gus Dur sebagai seorang anak bangsa.”
Acara dengan tajuk “Ziarah Budaya” untuk mengenang nyewu-nya Gus Dur tersebut bernafas Nusantara dan kebhinekaan. Pengisi acaranya berasal dari Aceh hingga Papua. Di awal acara, terlihat aksi menawan barongsay dari kelompok Naga Merah Putih dari Bogor. “Kami tampil di acara ini karena ingin menyumbang saja, sebagai wujud terima kasih kami, karena Gus Dur pula kesenian barongsay menemukan kebebasannya,” ujar Ade, pelatih kelompok ini.
Kebhinekaan benar-benar tersaji di atas panggung seluas 10m x 6m itu, dengan background spanduk besar berwarna dasar putih bertuliskan “Menggerakkan Tradisi Meneguhkan Indonesia”. Acara ini dibuka oleh Alissa Wahid, kemudian silih berganti pengisi acara tampil. Mulai dari penyanyi Glenn Fredly, penyair Zawawi Imron, budayawan Mohammad Sobary, pendongeng dari Aceh Agus PM Toh, kelompok paduan suara GKI Yasmin dari Bogor. Sementara di tenda tamu tampak pula Sinta Nurriyah, istri Gus Dur, yang khusyuk mengikuti acara hingga selesai.
Persoalan bangsa yang masih belum terselesaikan, diselipkan dalam acara ini, salah satunya masalah 1965. Permasalahan tersebut menjadi salah satu tugas yang harus diselesaikan penguasa, dan Gus Dur sedikit banyak sudah memulainya. “Cap ET (eks Tapol) di KTP, sudah dihapus pada masa Gus Dur,” kata Romo Mudji Sutrisno dalam doa diawal acara, tampak pula wakil dari Kristen, Konghucu, Baha’i, dan Islam.
Gus Dur telah mencairkan ruang beku mengenai persoalan 1965. Pendapat kontroversialnya ialah mengenai permintaan maaf atas perlakuan tidak adil terhadap orang-orang yang dituduh komunis. “Saya minta maaf atas segala pembunuhan yang terjadi terhadap orang-orang yang dikatakan komunis itu,” kata Gus Dur, dalam acara Secangkir Kopi Bersama Gus Dur yang disiarkan TVRI tahun 2000.
Selain persoalan pelanggaran HAM berat 1965 yang disinggung Romo Mudji, persoalan keadilan dan kekuasaan menjadi gugatan Mohammad Sobary dalam orasi budayanya. “Kekuasaan merupakan alat untuk melindungi yang lemah, yang tersingkir, dan kekuasaan juga untuk menjamin keadilan,” kata Sobary lantang. Sementara Zawawi Imron, penyair dari Madura, menyentil mengenai kejujuran yang sudah menjadi barang langka di Indonesia. Sedangkan masa lalu Indonesia penuh kekerasan pun diwujudkan dalam sebuah lagu, seperti petikan lirik syair lagu yang dilantunkan Glenn Fredly malam itu: negeriku gelap history/ kebencian jadi ideologi.
Gus Dur tak hanya piawai mengenai masalah kenegaraan dan politik, namun sebagai pribadi yang dibesarkan dalam keluarga santri, pemahaman agamanya pun sudah matang. Pemahaman agama dikolaborasikan dengan seni, maka tercipta apa yang dinamakan syi’ir Gus Dur: “akeh kang apal Qur’an Haditse, seneng ngafirke marang liyane, kafire dewe dak digatekke, yen isih kotor ati akale (Banyak yang hafal Alquran dan haditsnya, senang mengkafirkan kepada orang lain, kafirnya sendiri tak dihiraukan, jika masih kotor hati dan akalnya). Petikan lirik dalam Syi’ir Gus Dur, yang dinyayikan kembali oleh grup Rois n Friends, salah satu personilnya anak bungsu Gus Dur, Inayah Wahid.
Eksotisme musik rasa Nusantara di akhir acara disajikan oleh penampil terakhir kelompok musik Kyai Menur, yang dilengkapi sejumlah alat musik tradisional seperti kendang, saluang, dan jimbe. Ziarah Budaya mengenang 1000 hari wafatnya Gus Dur ditutup dengan kolaborasi antara paduan suara GKI Yasmin dengan kelompok musik Kyai Menur dengan melantunkan lagu kebangsaan Indonesia Raya.
Gagasan dan tindakan nyata Gus Dur dalam penguatan pluralitas tidak dapat disangkal lagi, dan tongkat estafet tersebut berada pada penerusnya. “Gus Dur tidak pergi, ia hanya pulang dan Gus Dur telah memberikan teladan, tinggal kita yang meneruskan,” kata Alissa Wahid.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar