Enam Penghargaan Lagi untuk Jagal
Jagal/The Act of Killing terus menuai pujian. Aung San Suu Kyi tak ketinggalan memberi penghargaan.
Jagal/The Act of Killing, film karya sutradara Joshua Oppenheimer, tentang perjalanan kejiwaan pelaku kekerasan massal 1965, memenangi enam penghargaan baru-baru ini. Dua penghargaan yaitu Audience Award dan The Special Jury Prize didapatkan di Sheffield Documentary Festival, Inggris, 16 Juni lalu.
Selain Sheffield Documentary Festival, Jagal juga mendapat penghargaan Grand Prize pada Biografilm Festival 2013 di Bologna, Italia; penghargaan Golden Chair dari Grimstad Short and Documentary Film Festival 2013 di Norwegia; dan Basil Wright Prize dari Royal Anthropological Institute Film Festival 2013 di Edinburgh, Skotlandia.
Beragam tanggapan dan pujian mencuat dari para juri. Krishan Aora, juru bicara Sheffield Documentary Festival mengatakan bahwa Jagal mengajukan lebih banyak pertanyaan daripada menyediakan jawaban, dan oleh karenanya merupakan sebuah film yang penting.
“Jagal adalah sebuah film dan dokumenter yang penting, tanpa basa-basi, dan berani. Film ini adalah sebuah pandangan yang mengerikan mengenai masa lalu juga masa kini Indonesia melalui filter yang membuatnya seolah sebagai fiksi, tapi yang menyedihkan, ini bukan fiksi,” ungkap Presiden Dewan Juri Biografilm Ed Lachman. “Jagal/The Act of Killing disutradarai dengan berani oleh Joshua Oppenheimer yang berkolaborasi dengan awak film anonim asal Indonesia untuk memberikan suara bagi mereka yang dibungkam dan sampai hari ini belum melihat keadilan ditegakkan.”
Film Jagal juga mendapat Penghargaan Aung San Suu Kyi dari Human Rights Human Dignity International Film Festival 2013 di Yangon, Myanmar. Suu Kyi sendiri yang menyerahkan penghargaan ini pada 19 Juni lalu.
Juri Penghargaan Aung San Suu Kyi memilih film Jagal sebagai film terbaik karena melihatnya sebagai sebuah karya sinematik penuh dengan humor, keyakinan diri, kecakapan, dan gaya yang bertingkat-tingkat; secara teatrikal juga sinematik. Juri berkomentar bahwa film ini bukan hanya mengkritik tindakan brutal pada masa lalu, tetapi juga menelusuri pengaruh tindakan brutal tersebut pada masyarakat Indonesia hari ini. Tak ketinggalan ia juga berkisah tentang para pemegang kekuasaan dan organisasi yang terlibat dalam peristiwa itu yang masih berkuasa hingga masa kini. “Film ini adalah sebuah perenungan sekaligus peringatan,” ujar juri.
Dalam sambutan tertulisnya, sutradara Joshua Oppenheimer menyatakan, “Kami merasa sangat tersanjung menerima sebuah penghargaan dari seseorang yang telah mendedikasikan hidupnya demi martabat sesama manusia di tengah situasi yang teramat sulit. Aung San Suu Kyi adalah teladan dan sumber inspirasi sejak kami memulai pembuatan film ini.”
Jagal memang dibuat dengan gaya penyampaian yang benar-benar beda dari film kebanyakan. Alih-alih menggunakan pemeran seperti artis-artis tenar, Openheimer dengan cerdik berhasil “memberi kesempatan” kepada para mantan jagal asli untuk jadi bintangnya. Tak ayal selain bermutu, film ini memiliki daya ungkap luar biasa terhadap tragedi puluhan tahun lampau.
Ariel Heryanto, Associate Professor di Australian National University, menulis bahwa film ini berhasil menganyam antara fakta dan fiksi. “Sambil menampilkan sejarah lisan, film ini sekaligus berkisah tentang cerita khayalan yang dibuat secara sadar agak berlebihan oleh para pelaku pembantaian, serta tanggapan mereka terhadap semua itu,” tulis Ariel. “Dengan demikian, para pelaku bukan sekadar objek di depan kamera, namun juga pihak yang berperan aktif sebagai penulis kisah tentang tindakan kejam mereka sendiri yang dituturkan dalam penuh semangat, tawa-ria, dan kegembiraan.”
Di Indonesia sendiri, Jagal masih dipertontonkan secara terbatas hingga saat ini. Namun demikian tak menghalangi film tersebut beroleh penghargaan di seluruh penjuru dunia. Sejak diluncurkan, Jagal telah meraih 24 penghargaan internasional, termasuk dua penghargaan bergengsi dari Festival Film Berlin 2013 di Jerman.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar