Empat Film Korea Selatan yang Menggambarkan Darurat Militer
Darurat militer dan pemerintahan otoriter di Korea Selatan menginspirasi para sineas untuk mengangkat peristiwa itu ke dalam film.
GEJOLAK politik di Korea Selatan tengah menjadi sorotan publik internasional. Darurat militer yang dideklarasikan Presiden Yoon Suk Yeol pada Selasa malam (3/12) dicabut beberapa jam kemudian setelah parlemen menolak melalui pemungutan suara. Ribuan warga turun ke jalan menuntut Presiden Yoon Suk Yeol mundur.
Dalam sejarah politik Korea Selatan, darurat militer telah beberapa kali diberlakukan. Di antaranya terjadi pada Oktober 1979, darurat militer diberlakukan tak lama setelah Presiden Park Chung Hee dibunuh dan digantikan oleh Choi Kyu Hah yang kemudian digulingkan oleh kudeta militer.
Pemerintahan militer yang menyensor media, menekan, dan mengintimidasi masyarakat sipil pro-demokrasi sepanjang tahun 1980-an, menginspirasi sineas Korea Selatan untuk memproduksi film yang mengangkat peristiwa tersebut. Di antaranya empat film sebagai berikut:
12.12: The Day (2023)
Film garapan Kim Sung Su ini berhasil meraih berbagai penghargaan bergengsi seperti Best Picture di Blue Dragon Film Awards ke-45 pada 29 November 2024. Film ini terinspirasi dari gejolak politik setelah kematian Presiden Park Chung Hee pada Oktober 1979.
Kematian Park Chung Hee dan diberlakukannya darurat militer diwarnai intrik politik elite pejabat yang berupaya mendapatkan kekuasaan penuh. Mengambil latar di Seoul pada akhir tahun 1979, film ini mengisahkan seorang Kepala Komando Keamanan, Chun Doo Gwang (Hwang Jung Min) yang mencoba melakukan kudeta militer bersama kelompok perwira pada 12 Desember. Rencananya tak berjalan mulus karena mendapat perlawanan dari Lee Tae Shin (Jung Woo Sung), komandan Pertahanan Ibu Kota, yang menentang kudeta tersebut.
Film berdurasi 2 jam 21 menit ini sukses menyedot perhatian publik Korea Selatan karena memiliki kualitas produksi luar biasa dan mampu menggambarkan peristiwa bersejarah di Negeri Gingseng secara mendalam. Tak heran, sejak dirilis pada 22 November 2023, film ini telah disaksikan oleh lebih dari delapan juta penonton dan membuatnya menjadi salah satu film Korea terlaris sepanjang masa.
Baca juga:
Bila merunut sejarahnya, kematian Presiden Park Chung Hee mulanya dipandang sebagai titik balik bagi kehidupan demokrasi di Korea Selatan. Novelis yang juga aktivis Korea Selatan, Hwang Sok Yong menulis dalam The Prisoner: A Memoir, kelompok aktivis dan sejumlah pemimpin partai minoritas menggelar aksi di Seoul menuntut presiden berikutnya dipilih secara langsung oleh rakyat, Konstitusi Yushin dibatalkan, tahanan yang dianggap melanggar aturan darurat militer dibebaskan, dan kekuasaan pemerintah dialihkan kepada rakyat.
“Sekitar tanggal 15 Desember, seseorang memberitahuku bahwa pada tanggal 12, Jenderal Angkatan Darat Chun Doo Hwan telah mengerahkan kekuatan militer, dan setelah baku tembak, berhasil menangkap Kepala Staf Angkatan Darat Jeong Seung Hwa dan mengambil alih kekuasaan. Inilah kudeta 12 Desember. Perubahan sudah di depan mata,” tulis Sok Yong.
Setelah peristiwa 12 Desember, pemerintahan militer yang baru memutuskan untuk melantik Choi Kyu Hah sebagai presiden melalui Konferensi Nasional Unifikasi. Doo Hwan meminta Presiden Choi Kyu Hah menunjuknya sebagai kepala Korean Central Intelligence Agency (KCIA) dan panglima tertinggi. Setelah Doo Hwan memegang semua kekuasaan militer dan intelijen, ia segera menyingkirkan Choi Kyu Hah. Kudeta yang dilakukan Doo Hwan memicu protes nasional pada 1980.
A Taxi Driver (2017)
Pemerintahan militer Chun Doo Hwan menuai protes dari masyarakat Korea Selatan. Unjuk rasa massa pro-demokrasi di Gwangju pada Mei 1980 menjadi peristiwa bersejarah dan memberi tinta hitam pada pemerintahan Doo Hwan.
Peristiwa itu digambarkan Jang Hoon dalam filmnya, A Taxi Driver yang dirilis pada 2017. Film berdurasi 2 jam 17 menit itu mengisahkan jurnalis Jerman, Jürgen Hinzpeter (Thomas Kretschmann), yang menyewa supir taksi, Kim Man Soeb, atau Hinzpeter mengenalnya dengan panggilan Kim Sa Bok (Song Kang Ho) untuk melakukan perjalanan dari Seoul menuju Gwangju.
Kim Man Soeb sempat menolak permintaan Hinzpeter yang menyebut kunjungannya ke Gwangju untuk urusan bisnis. Namun, ia akhirnya setuju untuk mengantar pria asing tersebut. Tanpa diketahui Kim Man Soeb, tujuan Hinzpeter ke Gwangju sesungguhnya untuk meliput protes massa pro-demokrasi. Perjalanan ke Gwangju membuka mata kedua orang itu terhadap penindasan brutal aparat kepada demonstran. Keduanya akhirnya terlibat dalam protes tersebut.
Menurut Hwang Sok Yong, Lee Jae Eui, dan Jeon Yong Ho dalam Gwangju Uprising: The Rebellion for Democracy in South Korea, Hinzpeter, koresponden Norddeutscher Rundfunk (NDR) untuk Asia, pertama kali melihat berita singkat tentang “Warga Sipil di Gwangju Bentrok dengan Pasukan dalam Keadaan Darurat Militer” di Tokyo pada 19 Mei 1980. Ia segera pergi ke Korea Selatan dan tiba di Gwangju pada pagi hari tanggal 20 Mei, sehari lebih awal dari kebanyakan wartawan asing lainnya.
Pada saat itu, media asing diwajibkan melapor ke Kementerian Informasi Publik sebelum meliput berita di Korea Selatan, tetapi Hinzpeter memilih untuk menyelinap masuk ke kota itu tanpa pemberitahuan. Pada 20 Mei, saat pemberontakan mencapai puncaknya, warga Gwangju menyambut Hinzpeter karena telah menerobos blokade yang dijaga ketat. Dia merekam rumah sakit dan lokasi pembantaian. Ia juga mengambil gambar semburan tembakan di Province Hall pada 21 Mei.
“Untuk mengirimkan rekaman tersebut ke markas besar NDR di Hamburg, ia meninggalkan Gwangju pada sore hari tanggal 21 Mei dan membawa film tersebut ke Tokyo melalui Seoul. Setelah melalui prosedur keamanan selama dua puluh dua jam, ia akhirnya mencapai bandara di Tokyo, di mana ia menyerahkan film tersebut untuk dikirim ke Jerman dan langsung terbang kembali ke Gwangju. Pada 23 Mei, ia merekam aktivitas perlawanan selama pembebasan Gwangju dan unjuk rasa warga. Hinzpeter bertanggung jawab atas sebagian besar rekaman video pemberontakan Gwangju yang tersedia saat ini,” tulis Sok Yong, Jae Eui, dan Yong Ho.
Baca juga:
The Attorney (2013)
Disutradarai oleh Yang Woo Seok, film The Attorney dirilis pada 2013. Film ini mengisahkan seorang pengacara hukum perpajakan, Song Woo Seok (Song Kang Ho) yang membela Park Jin Woo (Im Si Wan), putra Nyonya Soon Ae (Kim Young Ae), pemilik rumah makan langganannya yang dituduh komunis.
Film ini terinspirasi oleh kisah nyata kasus Burim pada 1981, di mana selama pemerintahan militer Chun Doo Hwan, sebanyak 22 murid, guru, dan pekerja kantor yang tergabung dalam klub buku ditahan tanpa surat perintah karena dituduh simpatisan Korea Utara. Karakter utama dalam film yang sukses menarik lebih dari 11 juta penonton ini didasarkan pada kehidupan mantan Presiden Korea Selatan Roh Moo Hyun, yang di masa mudanya dikenal sebagai pengacara hak-hak sipil di Busan pada awal tahun 1980-an. Kala itu, Moo Hyun membela sekolompok mahasiswa yang dituduh subversi dan komunis.
Baca juga:
David T. Johnson & Franklin E. Zimring menulis dalam The Next Frontier, tak hanya dikenal sebagai pengacara hak asasi manusia, Roh Moo Hyun juga bagian dari gerakan “Perjuangan Bulan Juni” yang menantang rezim militer Chun Doo Hwan pada 1987. Atas aksinya, Moo Hyun pernah dituntut di bawah Undang-Undang Keamanan Nasional. Ia juga pernah dipenjara selama tiga minggu pada September 1987 karena bersekongkol dengan para pekerja yang mogok.
Terlepas dari sepak terjangnya dalam upaya mewujudkan demokrasi di Korea Selatan, serta kebijakannya sebagai presiden, nama Roh Moo Hyun kini lebih sering dikaitkan dengan kontroversi. Ia bunuh diri pada Mei 2009 selama penyelidikan dan penuntutan atas tuduhan penyuapan yang melibatkan keluarga dan teman-temannya.
Baca juga:
Park Chung Hee, Napoleon dari Korea Selatan
1987: When the Day Comes (2017)
Film arahan sutradara Jang Joon Hwan ini dirilis pada 2017. Didasarkan pada kisah nyata, film ini menceritakan tentang penangkapan seorang mahasiswa yang juga aktivis, Park Jong Chul (Yeo Jin Goo) karena terlibat dalam unjuk rasa menentang rezim militer Chun Doo Hwan. Setelah ditangkap, Jong Chul diinterogasi sembari disiksa yang berujung pada kematiannya. Aparat yang berwenang dan pemerintah menutupi kematian mahasiswa tersebut. Media, mahasiswa, dan penegak hukum, salah satunya Jaksa Choi Hwan (Ha Jung Woo), berupaya mengungkap penyebab kematian Jong Chul.
Menurut Hwang Sok Yong dalam The Prisoner: A Memoir, sebuah demonstrasi massal mahasiswa, buruh, dan penuntut demokrasi dilakukan di Incheon pada 3 Mei 1986 untuk menentang pemerintahan Chun Doo Hwan, berujung pada tuduhan penghasutan terhadap para penyelenggara aksi. Insiden ini terus bergema hingga tahun berikutnya, ketika seorang mahasiswa, Park Jong Chul meninggal saat diinterogasi di markas Agency for National Security Planning (ANSP).
“Ada banyak kematian yang mencurigakan sebelumnya, yang berhasil ditutupi oleh kediktatoran militer di masa lalu. Namun kali ini berbeda, dan rakyat terus menuntut untuk mengetahui kebenarannya. Asosiasi Pastor Katolik untuk Keadilan mengungkapkan bahwa para pejabat telah mencoba menutupi fakta bahwa Park Jong Chul telah meninggal karena penyiksaan di dalam air. Ketika insiden-insiden ini memicu lebih banyak protes, seorang mahasiswa berama Lee Han Yeol terkena tabung gas air mata ketika mengikuti aksi unjuk rasa dan dinyatakan mati otak,” tulis Sok Yong.
Hyug Baeg Im dalam Democratization and Democracy in South Korea, 1960–Present menyebut kematian Park Jong Chul memberikan momentum bagi pembentukan koalisi oposisi yang lebih luas. Memicu gerakan perlawanan yang diselenggarakan secara damai dan berskala nasional pada Juni 1987, yang diikuti oleh lebih dari satu juta warga. Pada akhirnya, rezim militer Chun Doo Hwan tak dapat menahan protes yang meluas terhadap kebijakannya yang dianggap diktator, dan pada 29 Juni 1987, mengumumkan referendum nasional untuk revisi konstitusi, yang memperkenalkan pemilihan presiden secara langsung di Korea Selatan.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar