Di Balik Topeng Betawi
Topeng Betawi bertahan selama lebih dari seabad. Kesenian yang diwariskan turun-temurun.
Selain ondel-ondel, kesenian khas Betawi adalah Topeng Betawi. Seni tradisi ini melintasi zaman berhadapan dengan modernisasi di ibu kota DKI Jakarta. Ini berkat para penggiat yang menjaga warisan leluhurnya.
Topeng Betawi bertahan hingga sekarang karena kesenian ini diwariskan dari generasi ke generasi. Sebagaimana disebut dalam buku Topeng Betawi terbitan tahun 1979, kesenian ini merupakan warisan secara turun-temurun. Tokoh-tokoh kesenian Topeng Betawi dari berbagai perkumpulan mengetahui kesenian yang mereka geluti dari orang tua mereka. Orang tua mereka sendiri mewarisi dari kakek (engkong) mereka.
Pada masa lalu, banyak di antara pemain Topeng Betawi terdiri dari seorang suami, istri, dan anak-anaknya. Dalam suatu pertunjukan Topeng Betawi sering membawa anak kecil. Hal ini disebabkan seluruh anggota keluarga ikut menjadi anggota Topeng Betawi, sehingga tidak ada orang yang bisa menjaga anaknya di rumah. Dengan demikian terjadilah proses pengenalan seni dalam diri anak kecil yang ikut dalam rombongan.
Salah satu penggiat Topeng Betawi adalah Andi Supardi (62), pemimpin sanggar Kinang Putra yang biasa pentas di Setu Babakan. “Tarian topeng ini diperkenalkan oleh Mak Kinang dan Kong Djiun pada tahun 1918, hingga sekarang tarian ini sudah dilestarikan oleh tiga generasi,” ujar Bang Andi, cicit dari Mak Kinang binti Kinin dan Djiun bin Dorak.
Baca juga: Tari Topeng Rasinah Melintasi Sejarah
Mak Kinang dan Djiun memiliki tiga anak, yaitu Bokir, Dalih, dan Kisam. Sejak kecil mereka sering ikut orang tuanya mengamen Topeng Betawi. Mereka kemudian mendirikan sanggar Topeng Betawi masing-masing: Setia Warga (Bokir), Kinang Putra (Dalih), dan Ratna Sari (Kisam). Selain sebagai seniman Topeng Betawi, H. Bokir terkenal sebagai aktor dan pelawak.
“Dalam kenyataannya pada kumpulan-kumpulan Topeng Betawi yang hidup sekarang, para anggota pemainnya masih ada hubungan kerabat antara satu dengan yang lain,” sebut buku Topeng Betawi.
Menurut Sal Murgiyanto, kritikus tari, dalam Tradisi dan Inovasi: Beberapa Masalah Tari di Indonesia, Topeng Betawi berasal dari Cirebon masuk ke Jakarta lewat Indramayu dan Karawang. Bekas-bekas pengaruh Topeng Cirebon pada Topeng Betawi tampak pada gerak tari, bentuk topeng, dan pakaiannya, sedangkan lagu-lagu pengiringnya menggunakan lagu Sunda. Instrumen pengiring terdiri atas rebab, kromong tiga, gendang, kecrek, dan pertunjukannya terdiri atas tiga bagian.
Pertama, lagu-lagu instrumental dan vokal yang diikuti dengan dua fragmen tari: topeng kedok dan kembang topeng dengan bodoran. Kedua, lakon Topeng Betawi biasanya dilakukan semalam suntuk. Ketiga, tambahan lakon Jantuk, yaitu tokoh tua bertopeng hitam sembab –seperti tokoh Temben di Jawa Tengah– yang biasanya memberi nasihat-nasihat mengenai masalah perkawinan dan kehidupan rumah tangga. Dalam perkembangannya, bagian kedua yang memaparkan cerita tentang kehidupan sehari-hari lebih ditonjolkan sehingga sering terjadi hanya bagian ini saja yang dipentaskan tanpa memakai topeng.
“Oleh karena itu, istilah ‘topeng’ di Jakarta tidak selalu berarti sebuah tontonan dengan para pelaku memakai topeng, tetapi sebagai ‘tarian’ atau ‘drama rakyat’ yang lebih menekankan pada unsur humor,” tulis Sal Murgiyanto. Hal ini dapat dipahami mengingat di Losari, Cirebon, juga ada kebiasaan beberapa lakon topeng yang dipertunjukkan tanpa topeng.
Dalam Topeng Betawi, Sal Murgiyanto menambahkan, bahasa yang digunakan adalah bahasa Betawi pinggiran atau Betawi Ora yang sedikit berbeda dengan bahasa Betawi di Jakarta Pusat. Pakaian yang dipergunakan para pemainnya adalah pakaian sehari-hari. Pentas yang dipakai berbentuk arena dengan sebuah tiang lampu minyak bersumbu tiga di tengahnya.
Ragam Tari Topeng Betawi
Saat ini ada beberapa jenis Tari Topeng Betawi antara lain Topeng Kedok atau Topeng Tunggal, Lipet Gandes, Enjot-enjotan, dan Ronggeng Topeng.
Bang Andi menjelaskan, Tari Topeng tunggal diperankan oleh tokoh Panji, Samba, dan Jingga. Ketiga tokoh tersebut menari dengan gerakan yang berbeda sesuai karakter yang diperankan. Panji memainkan peran sebagai tokoh yang lemah lembut, Samba berkarakter centil dan ceria, sedangkan Jingga berperan gagah dan lebih terlihat kelaki-lakian.
“Tari Topeng Betawi ini tidak berkaitan dengan cerita Ramayana ataupun Panji yang sering dikaitkan dengan topeng. Tarian topeng lebih menitik beratkan pada sifat manusia,” kata Bang Andi.
Menurut Bang Andi, dahulu garakan Tari Topeng Betawi langsung dipraktikkan di atas panggung. Namun, sejak tahun 1980-an pola Tari Topeng Betawi disamakan sehingga seluruh sanggar di Jakarta pola tariannya memiliki kesamaan.
Gerakan Tari Topeng Betawi mengandalkan ketahanan kaki. Penari akan menurunkan badan hingga kaki menopang badan. Penari harus luwes dalam memutar bagian tangan di beberapa bagian gerakannya. Penari juga menggerakkan bagian pinggul yang menimbulkan teriakan atau siulan dari penonton. Selain itu, gerakan lainnya adalah goyang, gibang, pablang, kewer, dan lain-lain.
Ada tiga syarat menjadi penari Tari Topeng Betawi, yaitu ajer artinya penari harus riang dan ceria apapun yang akan terjadi di panggung; penari tidak boleh menunjukkan wajah murung atau sedih di hadapan penonton; dan gendes artinya penari dituntut lemah gemulai dalam melakukan gerakan tari sehingga dapat menari dengan lepas tanpa beban.
Baca juga: Cinta Mati Batik Betawi
Tema yang dibawakan dalam pertunjukan Tari Topeng Betawi beragam tentang kehidupan di masyarakat, cerita legenda, kritik sosial, dan cerita klasik lainnya. Kostum penari biasanya tergantung pada tema yang dipentaskan. Namun, tidak akan lepas dari kostum adat khas Betawi.
Seiring perkembangan zaman, pertunjukan Tari Topeng Betawi tidak hanya di kampung-kampung, tetapi juga di acara-acara penting di pusat kesenian, upacara resmi kenegaraan dan mancanegara. Saat ini Tari Topeng Betawi telah ditetapkan sebagai cagar budaya yang dilindungi oleh Dinas Kebudayaan DKI Jakarta.
Melestarikan Budaya Betawi
Topeng Betawi telah berusia lebih dari seabad. Kesenian khas Betawi ini dapat bertahan berkat kepedulian berbagai pihak.
“Peran penting dari keturunan, seniman, hingga para pemangku jabatan dibutuhkan untuk bersama-sama menjembatani dan melindungi kekayaan budaya Betawi, salah satunya Tari Topeng Betawi,” kata Bang Andi.
Bang Andi juga berharap para orang tua mau mengenalkan kesenian khas Betawi sehingga kepedulian tertanam sejak dini. Dari kepedulian inilah akan timbul rasa cinta terhadap kebudayaan sendiri.
Baca juga: Mencegah Kemusnahan Bahasa Betawi
“Apalagi terjadi kolaborasi di ranah pendidikan. Misalnya mewajibkan setiap sekolah di DKI Jakarta untuk memiliki ekstrakurikuler tari. Serta hotel-hotel di Jakarta setiap mengadakan acara, harus yang pertama ditampilkan adalah tarian Betawi karena kita ini tuan rumah,” kata Bang Andi.
Selain itu, Bang Andi mengingatkan, generasi sekarang jangan sampai kacang lupa kulitnya. “Boleh suka dengan budaya luar, tapi jangan sampai budaya sendiri dilupakan. Orang luar negeri bahkan banyak yang tertarik dengan budaya kita sehingga mereka berani mengularkan kocek sendiri untuk mempelajari budaya Indonesia,” kata Bang Andi.*
Penulis adalah mahasiswa magang dari Politeknik Negeri Jakarta.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar