Dakocan dari Boneka ke Lagu Anak-anak
Boneka dakocan menjadi salah satu mainan paling disukai anak-anak. Namun, boneka dari Jepang ini dianggap rasis. Di Indonesia, dakocan sampai dibuat lagu anak-anak.
KEBANYAKAN orang tentu tak asing dengan nama dakocan, sebuah boneka yang populer di kalangan anak-anak perempuan sejak tahun 1960-an. Boneka berbahan plastik maupun karet berwarna hitam ini berasal dari Jepang. Nama boneka ini adalah dakko-chan yang dalam bahasa Jepang artinya boneka yang bisa dipeluk.
Sesuai dengan namanya, dakocan dapat dililitkan ke badan –biasanya tangan atau kaki– yang membuat boneka ini terlihat seperti sedang memeluk sesuatu. Tak heran bila banyak anak-anak melilitkan dakocan di tangannya saat tengah bermain atau melakukan aktivitas sehari-hari.
Menurut Millie Creighton dalam “Soto Others and uchi Others: Imaging Racial Diversity, Imagining Homogeneous Japan,” termuat di Japan’s Minorities: The Illusion of Homogeneity, dakocan muncul di Jepang sejak tahun 1950-an dan segera mencuri perhatian publik di Negeri Sakura, khususnya anak-anak. Sebab, boneka yang diproduksi oleh Takara Company ini memiliki tampilan yang khas, yakni berwarna hitam dengan mata besar dan bibir berwarna merah yang juga besar. “Dakko-chan menjadi mainan terlaris di Jepang dan menjadi barang rumah tangga yang umum dimiliki di tahun pertamanya,” tulis Creighton.
Baca juga:
Selain digemari anak-anak, boneka ini juga diburu orang dewasa. Tak butuh waktu lama hingga dakocan menjadi tren di Jepang. Antrean pembeli terlihat di sejumlah toko di berbagai sudut kota Jepang. Para pelanggan mengantre di sepanjang satu blok dan terkadang menunggu sepanjang malam hanya untuk membeli boneka ini.
Majalah Life, 12 September 1960 melaporkan, produksi boneka ini mencapai 7.000 buah per hari. Kendati jumlah produksinya cukup tinggi, tetapi angka ini masih belum dapat memenuhi tingginya permintaan dari pembeli. Kondisi ini menyebabkan sejumlah toko yang menjual dakocan mengeluarkan tiket prioritas untuk pembeli. “Sayangnya, para calo yang tidak berperasaan menjual kembali tiket prioritas ini dengan harga 1,40 Yen untuk orang-orang yang tak ingin menunggu lama,” tulis Life.
Sejak tahun 1960-an, dakocan menjadi salah satu mainan anak-anak yang paling banyak dibeli oleh masyarakat Jepang. Boneka ini juga mulai merambah ke berbagai negara, tak terkecuali Indonesia. Bahkan, begitu populernya dakocan, Takara Company memutuskan untuk mengganti logo perusahaan mereka dengan gambar boneka tersebut.
Sementara itu, di Indonesia popularitas dakocan terlihat sejak tahun 1970-an. Kala itu, banyak anak perempuan yang meminta dibelikan boneka ini kepada orang tuanya. Zeffry Alkatiri menulis dalam Pasar Gambir, Komik Cina, dan Es Shanghai: Sisik Melik Jakarta 1970-an, di masa lalu belum ada toko yang khusus menjual mainan anak-anak. Mainan-mainan tersebut biasanya dijajakan di toko barang keperluan rumah tangga. Toko ini biasanya menjual mainan anak yang berasal dari luar negeri, salah satunya dakocan.
Tak berbeda dengan di Jepang, Amerika Serikat atau negara asing lainnya, dakocan juga menjadi salah satu boneka yang paling banyak dibeli di Indonesia. “Dakocan juga sempat dibuat lagu dan dinyanyikan oleh Elya Khadam,” tulis Zeffry. Selain Elya Khadam, lagu tentang dakocan juga sempat dibawakan oleh Leony Vitria dan Eno Lerian tahun 1990-an.
Dalam Kumpulan Lagu Wajib Nasional, Tradisional, dan Anak Populer yang disusun oleh Hani Widiatmoko dan Dicky Maulana dijelaskan, lagu dakocan seakan hendak menggambarkan dunia anak yang riang gembira. Lagu tersebut bercerita tentang sebuah boneka yang lucu dan sempat begitu populer di kalangan masyarakat. Ketika boneka dakocan sangat terkenal, harga boneka ini terbilang mahal. Besar kemungkinan karena boneka tersebut berasal dari luar negeri.
Baca juga:
Kendati begitu populer, dakocan tak lepas dari pro dan kontra. Kritik muncul terkait tampilan boneka yang dianggap rasis. Menurut Yuya Kiuchi dalam “An Alternative African American Image in Japan: Jero as the Cross-Generational Bridge Between Japan and the United States”, termuat di Global Cultures, boneka dakocan menjadi salah satu contoh paling terkenal mengenai citra negatif orang Afrika-Amerika dalam budaya populer Jepang.
Takara Company membantah dan bersikeras menyatakan boneka itu menggambarkan “anak-anak Jepang yang sehat dan berjemur di bawah sinar matahari”. Namun, sejumlah pengamat memandang penjelasan ini tak cukup kuat untuk menjelaskan latar belakang produksi boneka tersebut yang berwarna hitam, mengenakan rok rumbai-rumbai, dan tanda-tanda lain yang kerap digunakan untuk mengidentifikasi orang kulit hitam yang primitif. “Beberapa orang tua dan anak-anak Jepang menganggap tampilan boneka itu menyinggung atau tidak pantas. Kontroversi ini pada akhirnya menyebabkan boneka dakko-chan ditarik dari rak-rak toko di Jepang,” tulis Kiuchi.
Selain itu, kritik dan tekanan yang tak henti kepada Takara Company terkait logo mereka yang menggunakan boneka dakocan juga berakhir dengan dihilangkannya logo perusahaan tersebut pada 1980-an. Kontroversi yang membayanginya tidak lantas membuat popularitas dakocan luntur. Boneka ini justru mendorong pengembangan berbagai mainan anak lainnya di Jepang maupun negara-negara di belahan bumi lainnya.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar