Cerita Cinta Iwa
Dari mojang Sunda sampai perempuan Rusia pernah mengisi hati Iwa.
MENDAPAT restu dari keluarga, pada 1921 Iwa Kusuma Sumantri dan Emma Puradireja “kawin gantung”, sah sebagai suami-istri tapi belum boleh hidup bersama sebelum pernikahan resmi. Namun Iwa harus melanjutkan studi ke Fakultas Hukum di Universitas Leiden, Belanda. Emma, yang juga tokoh pergerakan, mengerti keinginan dan cita-cita suaminya.
Di Belanda, Iwa aktif di Perhimpunan Indonesia (PI). Ketika “front rakyat”, garis politik Komunis Internasional, menarik perhatian PI, Iwa bersama Semaun mengunjungi Moskow. Kepergian Iwa berdampak pada kehidupan pribadinya. Menduga Iwa komunis, keluarga Emma minta Iwa melepaskan ikatan perkawinan. Iwa kecewa.
“Saya masih mencintainya, tetapi saya harus meluluskan permintaan tersebut,” kata Iwa dalam otobiografinya, Sang Pejuang dalam Gejolak Sejarah.
Namun Iwa sendiri mengakui tak bisa berlagak sebagai suami setia. Dia menikmati pergaulan dengan nona-nona Belanda. Salah satunya, Mien (Wilhelmina) van Z, membuatnya jatuh hati.
“Kekecewaan saya atas Emma merupakan luka di dalam hati saya. Hati saya belum memiliki kepastian apakah saya mampu berkeluarga setelah tragedi yang saya alami,” ujarnya.
Pada akhir 1925, lulus dari Leiden, Iwa masuk Eastern University, semacam universitas persahabatan untuk orang-orang Timur, di Moskow. Dia sempat berpacaran dengan seorang gadis cantik Rusia asal Polandia tapi harus berakhir karena gadis itu meninggal. Dia kemudian menemukan penggantinya, gadis cantik asal Ukraina bernama Anna Ivanova, yang ditemuinya di sebuah club.
Anna sangat berjasa bagi Iwa: mengenalkan kehidupan masyarakat Rusia, mengajarinya bahasa dan kesusastraan Rusia, bahkan dengan gajinya yang tak seberapa sebagai pembantu dokter dia membantu ekonomi Iwa. Pada Januari 1926, Iwa menikahi Anna. Adik Anna, Varia, kelak menikah dengan Semaun.
Mereka dikaruniai seorang anak perempuan yang dinamai Sumira Dingli –nama kedua diambil dari nama Iwa di Rusia.
Setelah satu setengah tahun hidup di Rusia, dan merampungkan buku The Peasants’ Movement in Indonesia, Iwa kembali ke Indonesia pada akhir 1927. Istri dan anaknya tak bisa ikut karena kebijakan pemerintah Rusia yang melarang warganya ke luar negeri.
“Dengan uang yang penghabisan, Anna mengirimkan saya kembali kepada bangsa saya,” kata Iwa. “Saya seolah-olah kehilangan sebagian dari semangat saya.”
Di Indonesia, Iwa menjadi pengacara di Bandung, Jakarta, dan Medan serta aktif di sejumlah organisasi. Di Medan, Iwa tinggal di rumah pamannya, Abdul Manap. Sepupunya, seorang janda muda bernama Daru Kuraisin, juga tinggal di sana. Atas saran pamannya, Iwa menikahi Kuraisin pada Maret 1928. Kuraisin-lah yang menemani Iwa hingga ajal menjemput.
“Istri saya mengikuti saya dengan rela dan setia. Seorang wanita muda yang berkorban pada suaminya yang dikarenakan penjajahan yang kejam. Saya merasa berterima kasih kepadanya karena kesetiaan dan ketabahannya selama dia menjadi teman hidup saya,” kata Iwa.
Namun, Iwa tak bisa melupakan Anna dan anaknya di Rusia. Ketika menjadi rektor Universitas Padjajaran, Iwa sempat menghubungi Anna dari Peking. Anna melarangnya ke Moskow karena sedang musim dingin dan dia sedang sakit parah. Tiga tahun kemudian, ketika menjadi menteri perguruan tinggi ilmu pengetahuan, Iwa akhirnya sampai di Rusia tanpa bisa menatap wajah Anna.
“Saat inilah kesempatan saya untuk bertemu dengan anak saya Mira dan keluarganya. Bersama mereka saya pergi ke kuburan Anna,” kata Iwa. “Anna telah melakukan tugasnya sebagai seorang ibu yang berbudi luhur.”
Tambahkan komentar
Belum ada komentar