Cara Keluarga Kerajaan Belanda Perlakukan Karya Raden Saleh
Bertahun-tahun digulung dan tersimpan di Istana Het Loo tanpa pernah dipamerkan. Publik Belanda dikagetkan oleh kabar penjualan lukisan Raden Saleh.
DALAM kunjungan terakhirnya ke Indonesia November lalu, Perdana Menteri Belanda Mark Rutte menyerahkan sebilah keris kepada Presiden Joko Widodo. Ini adalah salah satu dari 1500 barang warisan budaya Indonesia yang dikembalikan oleh Belanda. Walau demikian ada satu karya seni penting yang tidak akan dikembalikan, karena karya seni itu sekarang sudah menjadi milik Singapura.
Arjen Ribbens, wartawan harian sore NRC Handelsblad, mengungkap bagaimana dinasti Oranje yang bertahta di Belanda memperlakukan karya seni berukuran 300 kali 396 centimeter ini. Cukup lama karya ini tak terlihat, ternyata digulung dan disimpan di gudang. Setelah direstorasi bukannya dipajang di salah satu museum besar Belanda, tapi dijual kepada penawar tertinggi.
Pada 1850, pelukis Indonesia Raden Saleh, menghadiahkan lukisan Boschbrand (Kebakaran Hutan) kepada Raja Willem III dalam kapasitasnya sebagai raja Belanda dan Hindia Belanda. Tapi pada 2016 lukisan itu dijual kepada Galeri Nasional Singapura. Dengan berbuat seperti itu maka dinasti Oranje telah menyinggung perasaan Indonesia.
Para ahli waris Ratu Juliana sepenuhnya bebas menentukan apa yang dilakukan dengan warisan yang mereka terima. Demikian penjelasan Dinas Penerangan Kerajaan menanggapi keterkejutan khalayak umum Belanda terhadap penjualan lukisan Boschbrand karya Raden Saleh (1811-1880) oleh dinasti Oranje.
Ini adalah lukisan spektakuler utama warisan zaman kolonial. Makna seninya berkaitan erat dengan sejarah yang lebih besar lagi. Latar belakang karya seni ini, termasuk riwayat pelukisnya, merupakan kronik esensial sejarah kolonialisme Belanda pada abad 19.
Karena itu karya ini bukan saja merupakan warisan sejarah Belanda: ini adalah juga warisan sejarah bersama. Di negeri kelahirannya Raden Saleh adalah “bapak senirupa Indonesia”. Dalam 30 tahun terakhir penghargaan terhadap karya-karyanya sangat meningkat. Dia adalah pelukis yang mengabadikan Pangeran Diponegoro, pahlawan kemerdekaan pertama Indonesia dan pahlawan Perang Jawa. Pada lukisan Raden Saleh terlihat bagaimana Diponegoro dijebak secara licik oleh Jenderal De Kock —lukisan ini sangat terkenal di Indonesia.
Raden Saleh menghadiahkan Boschbrand kepada pelindungnya, Raja Willem III, beberapa saat sebelum dia kembali ke Jawa, setelah bertahun-tahun menetap di Eropa. Karena itu semua yang berkaitan dengan Raden Saleh bukan saja warisan sejarah bersama, tapi juga warisan sejarah bersama yang intim.
Bagaimana mungkin karya seni yang sempat lama disia-siakan ini tiba-tiba merupakan karya seni kebanggaan Galeri Nasional Singapura? Jawaban terhadap pertanyaan para anggota parlemen Belanda yang diajukan oleh fraksi partai buruh PvdA, fraksi partai demokrat D66 dan fraksi partai sosialis SP menanggapi persoalan lukisan itu, harus memberikan penjelasan sepenuhnya. Sebelum jawaban itu keluar, berikut ini bisa diajukan beberapa catatan.
Apa artinya jika penjualan diam-diam dan sembarangan warisan kolonial itu berlangsung secara bersama dengan pembelian dua karya cukupan Rembrandt yang mati-matian diupayakan oleh menteri kebudayaan Belanda Jet Bussemaker, karena harganya mencapai 160 juta euro?
Tidaklah lain, bagi saya, ini adalah pendirian bahwa sejarah kolonial masih tetap dianggap terpisah dari sejarah Belanda; seolah-olah bisa dilepaskan dan bukan satu keseluruhan yang utuh. Karena itu sebuah karya biasa Rembrandt harus bisa dibeli kembali berapapun harganya, dan dengan hiruk pikuk nasional harus didatangkan dari Paris, sementara karya Raden Saleh boleh secara rahasia dan diam-diam dijual kepada penawar tertinggi, tak peduli di manapun dia berada.
Apa artinya jika tak seorangpun di sekitar Raja Willem-Alexander yang sejarawan itu telah membicarakan dampak transaksi ini? Tak seorangpunkah yang tahu bahwa Ratu Juliana pernah menghadiahkan karya Raden Saleh kepada Indonesia sebagai tanda rujuk dan upaya membangun masa depan dengan penuh pengertian bagi hubungan dengan bekas koloni Belanda? Jelas terlihat bahwa bagi keturunannya zaman sekarang pelbagai pertimbangan Ratu Juliana yang bijaksana itu sudah tidak penting lagi.
Selanjutnya apalah artinya jika hanya dibutuhkan waktu seminggu bagi permintaan izin ekspor dengan keluarnya izin itu sendiri. Setiap karya seni bersejarah hanya boleh dijual keluar Belanda kalau sudah ada izin ekspor. Apakah dalam waktu seminggu itu menteri luar negeri Bert Koenders sudah memperoleh kesempatan untuk mempertimbangkan dampak diplomatis yang mungkin muncul akibat keputusan ini, terutama dalam masalah hubungan diplomatik dengan Indonesia?
Sudahkah dipertimbangkan selalu munculnya friksi dalam hubungan negara besar Indonesia dengan tetangga kecilnya Singapura? (Coba perhatikan, ironinya, lukisan ini berjudul “kebakaran hutan”, sedangkan kebakaran hutan juga merupakan sumber konflik besar antara kedua negara, asap mencekik yang dialami Singapura karena kebakaran hutan yang disengaja di Indonesia).
Akhirnya; apa maknanya, ketika sekarang muncul debat panjang tentang siapa yang berhak atas dana yang diperoleh dari hasil penjualan itu? Siapa yang berhak memperoleh uang yang pada zaman dulu disebut sebagai batig saldo?
Masa lampau kolonial hanya punya arti kalau ada uangnya, prakiraan seperti ini makin banyak diduga orang, apakah itu wisata tempo doeloe, barang seni Hindia yang dilap bersih atau daur ulang kekerasan zaman kolonial. Sekali tempat mencari keuntungan selamanya akan terus merupakan tempat mencari keuntungan. Begitu tampaknya kesimpulan sedih yang pantas untuk menyebut hubungan Belanda dengan Hindia Belanda atau Indonesia sebagai bekas koloninya.
(Opini karya Lizzy van Leeuwen dimuat oleh harian NRC Handelsblad, edisi 13 Oktober 2016, halaman 18)
Tambahkan komentar
Belum ada komentar