Benda-Benda Peninggalan Pangeran Diponegoro
Keris Kiai Nogo Siluman melengkapi koleksi benda-benda Pangeran Diponegoro di Indonesia.
PEMERINTAH Belanda telah resmi mengembalikan keris pusaka Kiai Nogo Siluman milik Pangeran Diponegoro ke Indonesia. Keris tersebut dibawa Duta Besar Indonesia untuk Belanda I Gusti Agung Wesaka Puja dan diserahkan kepada Kepala Museum Nasional Indonesia Siswanto pada Kamis, 5 Maret 2020.
Keris Kiai Nogo Siluman sempat dinyatakan hilang. Melalui riset bertahun-tahun, keris ini akhirnya bisa ditemukan, diidentifikasi, dan dipulangkan ke Indonesia. Pulangnya keris Kiai Nogo Siluman mendapat apresiasi dari banyak pihak.
Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Hilmar Farid mengatakan pemerintah akan memberikan kesempatan kepada publik untuk ikut menikmati kebahagiaan ini.
Baca juga: Hilang Ratusan Tahun, Keris Diponegoro Ditemukan di Belanda
“Kami sangat berterimakasih dan berharap pihak Museum Nasional menjaga pusaka ini, betul-betul memastikan keamanan seluruh benda berharga ini,” katanya.
Keris Kiai Nogo Siluman melengkapi koleksi benda-benda sang pangeran Jawa yang saat ini tersebar di beberapa tempat di Indonesia –dua di antaranya tersimpan di Museum Nasional, Jakarta.
Berikut benda-benda milik Pangeran Diponegoro yang digunakan semasa hidupnya.
Tombak Kiai Rondhan
Sejarawan Peter Carey menyebut tombak Kiai Rondhan menjadi pusaka yang dipercaya Diponegoro mampu melindunginya dari bala. Kehilangan benda tersebut memberinya isyarat timbul kesulitan dan bahaya. Buktinya, setelah tombak itu tak lagi di sisi Diponegoro, percobaan penangkapan atas dirinya kian gencar dilakukan pasukan Belanda.
Tombak Kiai Rondhan hilang pada 11 November 1829, tepat di hari ulang tahun ke-44 Diponegoro. Diceritakan Peter Carey dalam Kuasa Ramalan: Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa 1785-1855, Diponegoro disergap pasukan gerak cepat ke-11 pimpinan Mayor A.V. Michiels di pegunungan Gowong, sebelah barat Kedu, Jawa Tengah. Diponegoro bersama pengikutnya hampir tertangkap, namun berhasil lolos dengan meninggalkan luka di kakinya.
Baca juga: Kembara Pusaka Diponegoro
Situasi panik membuat beberapa barang miliknya tertinggal: beberapa ekor kuda, tombak pusaka Kiai Rondhan, dan peti pakaian. Dia tak mungkin kembali untuk mengambilnya. Bersama kedua punakawannya, Batengwareng dan Roto, Diponegoro memilih mengembara di hutan-hutan wilayah Bagelen barat.
“Hilangnya benda itu sangat berpengaruh terhadap dirinya dan ia menganggapnya sebagai suatu tanda dari Yang Maha Kuasa,” ujar Carey.
Tombak Kiai Rondhan dibuat di Yogyakarta pada abad ke-19. Pusaka ini memiliki panjang 98 cm dan diameter 3,2 cm. Batangnya berbahan kayu, berbentuk silinder yang mengecil hingga ke leher tombak. Terdapat lempengan emas melingkar yang memisahkan bahan kayu dan lilitan kawat sampai ke leher tombak. Antara bagian batang dan mata tombak terdapat ukiran dengan balutan emas dan dua batu mulia (semula empat buah). Bilah tombak berbentuk segitiga dengan bahas besi.
Tombak Kiai Rondhan menjadi salah satu “hadiah kemenangan” yang dibawa Kolonel Jan-Baptist Cleerens untuk diberikan kepada Raja Willem I. Pada 1976, saat lawatan Ratu Julian ke Indonesia, tombak itu dikembalikan.
Kini, pusaka tersebut tersimpan di Museum Nasional lt 4, koleksi emas dan keramik.
Keris Kiai Ageng Bondoyudo
Keris Kiai Ageng Bondoyudo disebut-sebut sebagai pusaka paling favorit Pangeran Diponegoro. Keris ini bahkan menemani sang pangeran ke liang lahatnya. Peter Carey mengartikan Kiai Ageng Bondoyudo sebagai “Paduka Tempur Tanpa Senjata”. Namun dalam alam mistis Jawa, Kiai Bondoyudo adalah penguasa semua roh di Cilacap yang putrinya menikah dengan roh lelaki dari keraton Ratu Kidul.
Menurut Babad Diponegoro, keris Kiai Ageng Bondoyudo dibuat dengan melebur tiga pusaka lain: keris Kiai Sarutomo, keris Kiai Abijoyo, dan tombak Kiai Barutobo.
Keris Kiai Sarutomo diperoleh dari Ratu Kidul ketika Diponegoro bersemedi di Cepuri Parangkusumo. Menurut K.H. Muhammad Sholikhin dalam Kanjeng Ratu Kidul dalam Perspektif Islam Jawa, Ratu Kidul mengingatkan Diponegoro agar tak menerima jabatan apapun yang diberikan Belanda.
“Setelah suara itu hilang, jatuhlah sinar dari langit ke depan Pangeran Diponegoro. Ternyata sinar putih itu membawa senjata cundrik. Pusaka itu diberi nama Sarotama (Sarutomo). Dengan cundrik inilah, semangat Pangeran Diponegoro semakin membara,” tulis Sholikhin.
Keris Kiai Abijoyo adalah warisan dari ayah Diponegoro tatkala dirinya diangkat menjadi Raden Ontowirjo pada September 1805. Sedangkan tombak Kiai Barutobo dibawa Ngusman Ali Basah, panglima resimen pengawal pribadinya, Bulkio.
Diponogoro membawa keris Kiai Ageng Bondoyudo ke pengasingan di Manado kemudian Makassar. Berdasar lukisan Diponegoro karya A.J. Bik, yang dibuat tahun 1830 di Batavia, terlihat sang pangeran membawa serta keris Kiai Ageng Bondoyudo di pinggangnya. Informasi tentang keris ini juga tercatat dalam jurnal perwira Jerman kelahiran Luxemburg yang menemaninya ke pengasingan, Justus Heinrich Knoerle (1796-1833).
“Sore ini (27-5-1830) pukul enam Diponegoro menyerahkan kepada saya sebilah keris yang indah dan mahal sambil mengatakan: ‘Lihat inilah pusaka ayah saya, yang sekarang menjadi sahabat Allah, keris ini telah menjadi pusaka selama bertahun-tahun. Ketika ayah saya, Sultan Raja (Hamengkubuwono III) bermaksud menyerahkannya (sebagai) tanda ketaatan kepada Marsekal (Daendels), dia memberikan keris yang sama kepadanya. Marsekal mengembalikan keris itu karena dia tahu keris itu adalah pusaka keramat dan bahwa ayah saya adalah sahabat sejati Belanda’.”
Keris yang dibuat pada tahun kedua Perang Jawa ini lebih sebagai jimat dibandingkan senjata tempur.
Pelana Kuda Kiai Gentayu
Pelana kuda milik Diponegoro tertinggal bersama kuda tunggangannya saat upaya pelarian di wilayah pegunungan Gowong. Dudukan bagi para penunggang kuda ini, kata Peter Carey, digunakan Diponegoro selama masa Perang Jawa. Sementara sumber lain menuturkan pelana kuda tersebut tidak hanya digunakan saat masa perang tapi juga dalam kesehariannya.
Pelana kuda Kiai Gentayu menjadi satu dari dua bukti kemenangan Belanda di Jawa. Bersama tombak Kiai Romdhan, pelana ini dibawa sebagai hadiah bagi penguasa Belanda. Kedua pusaka, ditambah keris Kiai Nogo Siluman, disimpan di bagian barang antik di istana Den Haag. Pelukis kenamaan Raden Saleh pernah melihat dan diminta untuk memberi deskripsi bagi benda-benda tersebut. Pelana ini kemudian dipindah ke Museum Veteran Tentara Belanda di Bronbeek, Arnhem.
Baca juga: Keris Kiai Nogo Siluman Tak Pernah Hilang
Di bawah ketentuan “Cultural Accord” yang ditandatangani tahun 1969, pelana kuda Kiai Gentayu dan tombak Kiai Rondhan dikembalikan ke Indonesia pada 1976. Kini tersimpan di ruangan yang sama dengan tombak Kiai Rondhan.
Menurut informasi yang tertulis dalam buku terbitan Museum Nasional, Treasures of the National Museum Jakarta, bahan dasar pelana adalah kulit, kain, dan besi pada bagian pijakan kaki. Dudukan pelana terbuat dari kain berlapis dengan ukuran panjang 80 cm dan lebar 68 cm. Pada bagian depan dudukan kain terdapat kantong kecil berukuran kurang lebih 10 cm.
Peti Pakaian
Menurut Wardiman Djojonegoro dalam Sejarah Singkat Diponegoro, peti pakaian ini ikut tertinggal bersama dua benda lainnya, tombak dan pelana kuda. Selama masa pelariannya, Diponegoro membawa beberapa potong pakaian yang tersimpan di dalam sebuah peti. Peter Carey menyebut pakaian-pakaian yang dibawa oleh Diponegoro itu sebagai: “pakaian suci untuk perang”.
Dari lukisan yang dibuat Raden Saleh berjudul “Penangkapan Pemimpin Jawa Diponegoro” (1857), dapat diketahui pakaian yang digunakan sang Pangerang. Di sana terlihat Diponegoro memakai pakaian berlapis. Terdapat sorban, jubah, lilitan kain di pinggang untuk menyimpan senjata, celana, dan lapisan kain lainnya. Namun bagi Mayor A.V. Michiels, komandan gerak cepat pasukan Belanda, isi di dalam peti pakaian tak terlalu berharga. Benda-benda itu tak bisa menjadi persembahan bagi kerajaan Belanda.
“Bukan suatu kumpulan pakaian yang mengesankan,” ujar Michiels.
Keris Kiai Abijoyo
Keris Kiai Abijoyo diwariskan oleh ayahnya, Sultan Hamengkubuwono II, saat Diponegoro menginjak usia dewasa. Ketika itu Diponegoro mendapat gelar Raden Ontowirjo, sebagai tanda kesiapannya memerintah kerajaan.
“Dia telah mewarisi juga sebilah keris, Kiai Abijoyo, dari ayahnya, barangkali tatkala ia diangkat sebagai Raden Ontowiryo pada September 1805,” tulis Carey.
Menurut Carey, Diponegoro sadar bahwa keris pemberian ayahnya itu menjadi bukti bahwa dia sepenuhnya bertanggung jawa atas tugas, serta bukti kekuasaan ganda berupa Ratu Tanah Jawa (Raja Jawa) dan sebagai seorang prajurit di tanah kelahirannya.
Keris Kiai Abijoyo merupakan satu dari tiga keris yang dilebur Diponegoro untuk membuat keris Kiai Kiai Ageng Bondoyudo.
Pusaka Lain
Pangeran Diponegoro memiliki koleksi besar senjata pusaka berupa keris dan tombak. Sebagian besar dibagi-bagikan kepada anggota keluarga dekatnya. Terutama putra dan putri dari sejumlah pernikahannya.
Diponegoro memberikan keris Kiai Bromo Kedali (cundrik) dan tombak Kiai Rondan kepada Pangeran Diponegoro II; keris Kiai Habit (Abijoyo?) dan tombak Kiai Gagasono kepada Raden Mas Joned; serta keris Kiai Blabar dan tombak Kiai Mundingwangi kepada Raden Mas Raib.
Baca juga: Melacak Keris Mistis Pangeran Diponegoro
Keris Kiai Wreso Gemilar dan tombak Kiai Tejo diberikan kepada Raden Ayu Mertonegoro; keris Kiai Hatim dan tombak Kiai Simo kepada Raden Ayu Joyokusumo, tombak Kiai Dipoyono kepada Raden Ajeng Impunl, serta tombak Kiai Bandung kepada Raden Ajeng Munteng.
Peter Carey mencatat, berdasarkan babad Keraton Yogyakarta, Diponegoro juga memiliki sebilah keris pusaka keraton, Kiai Wiso Bintul. Namun Ratu Ageng, ibu Hamengkubuwono IV, memintanya karena ada ramalan yang mengatakan: barang siapa memiliki keris itu akan memerintah di Yogyakarta.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar