Begum Jaan Menolak Tunduk
Pahit getir pemisahan India-Pakistan dari pandangan seorang germo. Gagal berbunyi justru karena sesak oleh pesan.
Partisi India tahun 1947 adalah momen sejarah getir bagi India dan Pakistan. Partisi yang terjadi bersamaan dengan kemerdekaan India itu menimbulkan krisis dan konflik, yang hingga kini membayangi hubungan kedua negara tetangga itu.
Peristiwa sejarah itu mengilhami sineas-sineas Bollywood. Chinnamul adalah film India pertama yang menjadikan Partisi 1947 sebagai inti cerita, yang tayang di bioskop hanya berselang tiga tahun dari peristiwa.
Kini, lepas 70 tahun usai Partisi 1947, kembali hadir film yang berlatar sejarah getir itu. Kali ini lewat perspektif para pekerja seks di sebuah rumah bordil di pedalaman Punjab dalam film garapan sutradara Srijit Mukerji, Begum Jaan.
Vidya Balan, aktris yang besar lewat perannya dalam film-film bertema “perempuan-sentris”, didapuk sebagai seorang germo bernama Begum Jaan. Melalui film yang merupakan adaptasi atas film berbahasa Bengal, Rajkahini (2015), ini Srijit Mukerji menggali pandangan dari golongan yang secara sosial dianggap rendah, dan karena itu diabaikan, namun sebenarnya juga tak kurang penderitaannya daripada warga Islam dan Hindu yang dipaksa mengungsi.
Film ini memotret kegetiran Begum Jaan bersama sembilan “anak asuhnya”, seorang bibi, dua pembantu, penjaga setianya, serta seorang anak kecil berhadapan dengan kuasa negara yang secara tiba-tiba merasa berhak menentukan nasib mereka. Kepada negara yang sok tahu dan moralis inilah Begum Jaan memberontak.
Perlawanan Seorang Germo
Suara klasik Asha Boshlem, penyanyi India, mengalun melantunkan elegi Prem Mein Tohre. Layar lalu dilambari montase kehidupan di dalam tembok rumah bordil Begum Jaan. Elegi yang mengisahkan kecintaan yang dalam berbalas kejatuhan yang pilu itu menjadi latar anak-anak Begum Jaan melakoni hari-harinya. Bagaimana mereka bercengkerama, meladeni lelaki-lelaki uzur haus kehangatan, juga malankoli seorang pelacur yang membesarkan anaknya di sana, perlakuan kasar yang tak jarang menghampiri, dan cinta yang bersemi di antara mereka. Semua cerita itu menjadi dasar ikatan di antara mereka, melampaui kesialan-kesialan hidup yang mendera.
Namun, secara tiba-tiba rumah bordil di perbatasan Sakkergarh dan Dorangla, Punjab, itu diusik dan hendak digusur karena posisinya merintangi pagar perbatasan yang akan dipancang pemerintah baru India dan Pakistan. Begum Jaan, sang germo, menolak tunduk pada aturan itu yang menurutnya dibuat asal-asalan oleh para “bapak bangsa” sok tahu di Delhi. Hari Prasad (Ashish Vidyarthi), si petugas perwakilan Indian National Congress, dan Ilyas Khan (Rajit Kapoor) dari Muslim League yang datang ke rumah bordirnya untuk menyerahkan surat pemberitahuan malah dicaci, bahkan diacungi arit.
Merasa terhina, kedua birokrat itu mengultimatum akan menggusur rumah bordir Begum Jaan dengan segala cara. Tapi Begum Jaan ternyata begitu liat. Selama ini dia tak tersentuh aparat karena mendapat perlindungan dari seorang raja lokal. Karena itulah dia disegani, atau ditakuti, oleh warga sekitarnya. Posisi rumah bordilnya yang berada di wilayah tak bertuan juga menjauhkannya dari yusrisdiksi kepolisian.
Walau bagaimanapun, keduanya harus tetap menyelesaikan misi yang membuat mereka galau itu. Undang-undang sudah diteken, warga Hindu dan Islam di masing-masing wilayah sudah diinstruksikan memilih negara dan segera mengungsi. Dan lagi pemancangan pagar kawat berduri yang membelah Punjab sudah berjalan. Semua berjalan sesuai rencana kecuali penolakan Begum Jaan. Jika memang cara legal-formal tak digubris, maka tak ada pilihan lagi selain cara paksa.
Menengok Partisi India 1947
Sosok Begum Jaan yang menjadi sentral film ini bukanlah tokoh nyata. Film ini adalah fiksionalisasi dari beberapa peristiwa yang terjadi semasa Partisi India 1947. Sutradara Srijit Mukerji menggali inspirasi ceritanya dari buku Mottled Dawn: Fifty Sketches and Stories of Partition karya Saadat Hasan Manto, penulis masyur Indo-Pakistan.
Penonton Indonesia yang tak familiar dengan sinema India akan sulit memahami Begum Jaan tanpa menengok peristiwa Partisi India 1947. Krisis dan konflik yang menyertai proses partisi itu berakar dari penentuan garis batas yang tergesa-gesa.
Pada Agustus 1947, pemimpin tertinggi pemerintah Inggris di Hindustan, Sir Lord Mountbatten, mengeluarkan perintah kepada Sir Cyril Radcliffe sebagai ketua Komisi Perbatasan untuk mengurus proses partisi India menjadi dua negara dominion, India dan Pakistan.
Radcliffe hanya memiliki sedikit wawasan tentang geografi dan budaya Hindustan. Dia bahkan baru menginjakkan kaki di India pada 8 Juli 1947. Berdasar pengetahuan ala kadarnya tentang India, Radcliffe menyelesaikan garis batas India-Pakistan dua hari sebelum kemerdekaan India pada 15 Agustus 1947. Provinsi Sindh dengan mayoritas Muslim hampir 73 persen dan Baluchistan dengan hampir 92 persen populasi Muslim ditetapkan sepenuhnya sebagai wilayah Pakistan.
Persoalan muncul di Punjab. Di wilayah ini populasi Muslim, Hindu, dan Sikh relatif setara, sehingga diputuskan untuk dipartisi. Punjab pun terbelah; bagian timur menjadi wilayah India dan bagian barat adalah Pakistan. Demarkasi yang membelah Punjab ini, juga di Bengal, kemudian disebut sebagai Radcliffe Line. Dan segera, krisis menjalar di daerah-daerah yang dilalui garis batas itu.
Begum Jaan bagi sineasnya agaknya dimaksudkan untuk menggugat hal itu. Partisi itu pada akhirnya menjadikan kemerdekaan yang diraih India menjadi semu. Bagi elit politik, kemerdekaan adalah suatu pencapaian luhur. Tapi tidak demikian di mata orang-orang jelata seperti Begum Jaan; kemerdekaan baginya adalah omong kosong.
“Tapi, kita akhirnya merdeka setelah 200 tahun perbudakan oleh Inggris,” kata seorang guru yang mengabarkan berita kemerdekaan ke rumah bordil Begum Jaan.
Begum Jaan hanya menjawab sinis, “Bagi pelacur, semua hari sama saja, Guru. Setelah lampu dimatikan, apa yang terjadi pada kami sama saja.”
“Tapi, ini adalah kemerdekaan negaramu juga,” sanggah si guru.
“Ya. Tapi tanyakan kepada jutaan warga negara ini, adakah yang mau menikahi salah satu perempuan di rumah bordilku?” kilahnya.
Kemerdekaan semu itu kian nyata dan menekan dengan adanya partisi. Selama proses partisi, sekitar 14 juta orang di kedua sisi Radcliffe Line terpaksa meninggalkan kampung halaman mereka. Yang Muslim pindah ke Pakistan dan yang Hindu menyeberang ke India. Konflik horisontal di antara warga Muslim dan Hindu tak terhindarkan. Sekira sejuta orang meninggal dunia karena penyakit, kelaparan, atau kerusuhan selama eksodus massal ini. Syak wasangka pun timbul dalam hubungan dua negara, yang bertahan hingga bertahun-tahun sesudahnya.
Dengan jitu hal itu digambarkan Srijit Mukerji melalui montase edegan pertikaian, tangis, tatapan-tatapan curiga, dan tentu saja eksodus. Semua itu dilatari lengkingan suara khas Rahat Fateh Ali Khan, musisi Pakistan, dan Sonu Nigam, musisi India, melantunkan nyanyian penuh ejekan atas kemerdekaan yang semu itu.
Tujh ko mubarak teri yeh mitti
Ghar mera hai kahan itna bata
Ah nikli hai yahan, ah nikli hai wahan
Waah ri, waah ri yeh Azaadiyan!
Selamat untuk tanah tempatmu berpijak
Lalu, jelaskan padaku di mana rumahku?
Bravo, kemerdekaan!
Gagal Berbunyi
Rumah bordil Begum Jaan adalah sebuah metafora atas masyarakat India yang multikultur. Lokasi, penghuni, dan pelanggannya adalah gambaran kecil India, di mana orang dari beragam latar etnis, agama, dan kasta berbaur. Rumah bordil itu sedang terancam oleh garis batas yang dibikin secara tiba-tiba dan mengoyak keragaman itu. Dan Begum Jaan menolak tunduk pada partisi itu. Di rumahnya tidak ada Muslim, Hindu, dan kasta.
Menilik gambar-gambar itu, penonton dengan segera dapat mengasosiasikannya dengan pesan humanisme. Tapi, anehnya, sutradara Srijit Mukerji menaruh sebuah adegan berlatar India kekinian di bagian awal filmnya yang memberikan sebuah pesan lain.
Digambarkan sekelompok lelaki mencoba menodai seorang gadis, setelah pacarnya dihajar. Seketika itu muncul sosok perempuan tua yang mencoba melindungi si gadis. Perempuan tua itu lantas meloloskan seluruh pakaiannya, membuat para lelaki yang mengejarnya muak. Mereka lantas berbalik pergi daripada dianggap pengecut karena melawan nenek tua.
Adegan ini dengan jelas bisa dibaca sebagai pesan perlawanan perempuan terhadap kuasa patriarki. Menilik adegan dan dialog saat Begum Jaan menerima Shabnam (Mashti), gadis korban perkosaan dan penelantaran akibat konflik di Punjab, di awal film pun penonton akan dengan mudah mengasosiasikannya dengan pesan feminisme.
Suatu pagi Saleem (Sumit Nijhawan), si penjaga, membawa seorang gadis bermata kosong ke hadapan sang germo. “Dia diperkosa saat kerusuhan terjadi, beberapa pria membuangnya ke pengungsian dalam keadaan kacau. Ayahnya tak mau menerimanya kembali dan meninggalkannya,” kata Saleem.
“Di luar rumahku ini semua orang adalah bajingan. Di dalam rumahku setiap kalian adalah angsa,” timpal Begum Jaan.
Si gadis bermata kosong itu kemudian dinamainya Shabnam (Mishti). Saleem disuruhnya ke kantor polisi, “Jika ada yang mencari gadis ini, katakan bahwa gadis ini dalam perlindungan Begum Jaan.”
Begum Jaan lalu menatap mata kosong Shabnam. Jelas dia dalam keadaan jiwa terpukul oleh kemalangan bertubi-tubi yang menimpanya. “Anakku, kau pasti merasakan kesakitan?” ujar Begum Jaan seraya menampar Shabnam. Lalu dua tamparan dan kemudian tiga. Shabnam bergeming. Begum Jaan menghujani pipi merah Shabnam dengan tamparan. Hingga kemudian matanya mendelik bersama dengan semburan teriakan dan tangis. Shabnam meratap sesenggukan. “Akhirnya semua itu keluar. Hidupmu akan lebih mudah sekarang,” kata Begum Jaan enteng.
Pesan-pesan inilah yang kemudian tumpang tindih dan menjadi musabab Begum Jaangagal “berbunyi”. Ia terlalu sesak oleh pesan-pesan yang saling berebut perhatian. Dan lagi pesan-pesan itu disampaikan dengan cara dangkal dan verbal di beberapa bagian sehingga terkesan menjadi khotbah yang klise.
Bila saja plotnya berjalan dengan mulus, tak ada masalah dengan semua itu. Sayangnya, naskah film ini kedodoran di sana-sini. Perpindahan antaradegan juga terbilang kaku. Lain itu, Vidya Balan membawakan karakter Begum Jaan secara datar. Seakan hanya mengulang apa yang dilakoninya dalam The Dirty Picture (2011), kecuali kini dia lebih fasih mengumpat. Dia tak menggali karakter Begum Jaan lebih dalam selain sebagai germo yang keras hati.
Meskipun begitu, sebagai film berlatar sejarah, acuan peristiwanya sebenarnya manarik dan layak di simak. Juga nisbi dekat dengan persoalan-persoalan yang tengah hangat di Indonesia: bagaimana kita menyikapi intoleransi yang mengemuka dan membikin “garis batas” di antara masyarakat Indonesia yang majemuk.
[pages]
Tambahkan komentar
Belum ada komentar