Badan Gemuk Cermin (Jangan) Dibelah
Menurunkan berat badan dianggap gaya hidup. Tubuh sehat dan berat ideal juga jadi ukuran patriotisme di Inggris.
PERNAHKAH Anda mendengar nama David Gurnani? Pemuda Indonesia berusia 25 tahun itu adalah pemenang pertama reality show “The Biggest Loser Asia”. Dalam waktu enam bulan selama berada di karantina program televisi tersebut, David sukses menurunkan 83 kg bobot tubuhnya, dari 157 kg menjadi 74 kg saja.
The Biggest Loser Asia adalah sebuah acara televisi asal Amerika yang mengadu kemampuan para penderita obesitas menurunkan bobot tubuh mereka. Selama berada di karantina, para peserta harus mengikuti serangkaian diet ketat, dan berjam-jam olahfisik setiap harinya. Peserta yang susut bobot paling banyak akan keluar jadi pemenang. Di Amerika program televisi itu telah mencapai tahun keenam, dan animo untuk mengikuti acara itu belum juga surut.
Di Indonesia, ada acara “Bye Bye Big” yang pernah tayang di stasiun televisi Trans7. Acara ini diadopsi dari program penurunan berat badan yang dimiliki dan dikembangkan PT Roche Indonesia. Acara ini dipandu aktor sekaligus model Jeremy Thomas dan presenter Cathy Sharon. Sebagai konsultan adalah Dr Grace Judio-Kahl, ahli penurunan berat badan.
Obesitas kini menjadi isu global. Menurut data terbaru Badan Kesehatan Dunia (WHO), saat ini setidaknya satu milyar orang di dunia menderita obesitas, 300 juta di antaranya penderita obesitas klinis. Mereka yang memiliki lemak tubuh jauh di atas normal punya kecenderungan menderita diabetes, gangguan pernapasan, problem otot dan persendian kronis, penyakit kulit, juga infertilitas. Kanker saluran pencernaan dan penyakit ginjal adalah contoh penyakit serius yang mengancam jiwa orang akibat obesitas.
Menurut Ina Zweiniger-Bargielowska dalam sebuah tulisan berjudul Obesity and the Modern Lifestyle: What Can We Learn from History yang dimuat di bbchistorymagazine.com, obesitas bukan hal baru. Fenomena ini sudah menyeruak di Inggris sejak 1920-an. Saat itu Inggris sudah menjadi salah satu negara maju di dunia. Meski tingkat pengangguran cukup tinggi, dan harus melalui masa-masa depresi ekonomi, standar hidup kelas menengah Inggris meningkat secara signifikan. Kasus obesitas mulai ditemui di kalangan kelas menengah ketika makanan bergizi kian mudah didapatkan dan banyak orang memiliki mobil.
Perang Dunia II mempengaruhi pola konsumsi orang Inggris. Nazi berusaha mengalahkan Inggris dengan cara memotong jalur persediaan makanan dan barang-barang lainnya. Kapal selam Jerman menyerang kapal-kapal yang mengirim barang ke Inggris. Sebelum terjadi perang, Inggris mengimpor 55 ton makanan setiap bulannya. Serangan Jerman menyebabkan jumlah itu turun drastis menjadi 12 ton setiap bulannya. Sementara produksi domestik Inggris hanya mampu mencukupi kebutuhan makanan untuk satu dari tiga orang saja. Inggris harus mengatur jatah makanan penduduknya. Pemerintah Inggris mengeluarkan kupon-kupon makanan yang membatasi jumlah makanan yang boleh dikonsumsi setiap orang.
Penghematan bahan makanan, dan pengaturan ransum yang terjadi saat itu, mengurangi konsumsi gula, daging, dan lemak. Mereka menggantikannya dengan roti, kentang, dan susu. Intervensi negara menyebabkan perubahan pola makan besar-besaran di Inggris, yang tak lagi dipengaruhi kelas sosial. Kondisi ini bertahan bahkan setelah kebijakan penjatahan makanan berakhir pada 1954.
Kalori yang dikonsumsi masyarakat kelas menengah menurun drastis. Untuk sementara orang-orang Inggris hanya bisa bermimpi menikmati daging, telur, roti berlapis mentega, dan kopi yang disajikan dengan gula dan krim. Aktivitas fisik pun meningkat seiring peningkatan jam kerja. Kebijakan membatasi penggunaaan bahan bakar membuat semakin banyak orang berjalan kaki untuk menjalankan aktivitas mereka.
Pemerintah Inggris juga memperkenalkan program Dig for Victory yang mendorong setiap laki-laki dan perempuan untuk menanam sayuran dan buah-buahan. Kebijakan ini meningkatkan aktivitas fisik masyarakat Inggris sekaligus menambah cadangan makanan.
Sejak 1950-an Inggris mulai kebanjiran makanan murah. Dalam beberapa dekade terakhir terjadi pergeseran pola makan dari tiga kali sehari menjadi kebiasaan mengudap, mengonsumsi junk food, dan makanan siap saji. Semua faktor itu menjadi penentu kegemukan di Inggris. Ditambah lagi, aktivitas fisik berkurang karena semakin banyak orang memiliki mobil dan home entertainment. Penambahan bobot tubuh lepas tak terbatas pada kelas masyarakat tertentu. Orang-orang Inggris bukannya tak sadar kondisi kesehatan mereka. Usaha menurunkan berat badan sudah mulai dilakukan sejak Perang Dunia II.
Berbeda dengan usaha penurunan berat badan masa kini, saat itu orang tak terlalu peduli perhitungan kalori. Orang-orang Inggris lebih memandang usaha penurunan berat badan sebagai perubahan gaya hidup. Dasarnya adalah disiplin diri dan moderasi porsi makan. Kunci dari penyusutan bobot tubuh adalah gabungan dari makan dan minum lebih sering tapi dalam porsi kecil, olahraga setiap hari, dan kebersihan diri. Buku-buku juga menyarankan orang untuk menghindari makanan manis dan berlemak dan menggantikannya dengan daging tanpa lemak (lean meat), ikan yang direbus, serta buah-buahan dan salad.
Ditekankan pula pentingnya mengunyah makanan hingga benar-benar lumat serta menjaga kesehatan sistem pencernaan. Konstipasi, yang disebabkan oleh sistem pencernaan yang tak berjalan lancar, disebut-sebut sebagai penyebab obesitas dan dapat dihindari dengan makan teratur, latihan otot perut, dan diet tinggi serat.
Konsep kesehatan dan kecantikan saat itu tak terbatas di ranah individu. Memiliki fisik sehat dianggap patriotis sebab Kerajaan Inggris membutuhkan laki-laki dan perempuan bertubuh sehat.
Saat ini obesitas masih menjadi masalah serius. Tapi masyarakat Inggris belajar dari sejarah. Pada 2007 pemerintah Inggris mengeluarkan sebuah strategi baru untuk menanggulangi masalah ini. Meniru pola-pola pada Perang Dunia II, pemerintah mengkombinasikan promosi pola makan sehat dengan perubahan gaya hidup yang menuntut orang melakukan lebih banyak aktivitas fisik.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar