top of page

Sejarah Indonesia

Asal Nama Wakatobi

Asal Nama Wakatobi

Dulunya bernama Kepulauan Tukang Besi, kepulauan yang rempah-rempahnya dihabisi VOC ini sekarang merupakan spot diving top.

14 Juni 2024

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Terumbu karang di perairan Wakatobi. (Craig D/Wikipedia)

WAKATOBI dikenal sebagai kawasan yang memanjakan mata para penyelam. Dengan taman lautnya, Wakatobi punya pemandangan bawah laut nan elok.


Sebagai daerah kepulauan yang bukan “baru kemarin dibuka”, Wakatobi tentu punya sejarah. Bahkan sudah ratusan tahun sejarahnya. Namun, jangan berharap bisa menemukan nama Wakatobi dalam teks sejarahnya lantaran nama Wakatobi bukan nama awal kepulauan ini.


Sejarah kepulauan tersebut terkait dengan negeri bernama Hitu di daerah Leihitu, Pulau Ambon. Pada tahun 1643 hingga 1646, Hitu berperang melawan maskapai dagang Belanda Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC). Namun Hitu kalah.


Perlawanan itu dipimpin oleh Tulakabessy, yang kadang ditulis Tulukabesi atau Telukabessy. Merle Calvin Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200–2008 menyebut, Tulakabessy yang semula Islam dipaksa masuk Kristen. Selain itu, banyak orang Hitu terusir dari negerinya. Ada yang menyebut Tulakabessy dihukum mati di Ambon dan pengikutnya banyak dibuang ke Batavia. Versi lain menyatakan dia dan pengikutnya melarikan diri ke Buton.


“Boleh saja sulit dipercaya dan dibuktikan bahwa nama Kepulauan Tukang Besi berasal dari Telukabessy,” catat sejarawan UI Susanto Zuhdi dalam artikelnya “Ketersingkiran Sosial Pengungsi Buton” yang termaktub di buku Kumpulan Diskusi Sejarah Lokal 1.


Susanto Zuhdi menyebut cerita lisan yang dituturkan La Ode Abubakar bahwa sebanyak 200 pengikut Tulukabessi diasingkan ke Buton. Oleh sultan Buton mereka lalu ditempatkan ke sejumlah pulau di kepulauan yang setelah abad ke-17 dikenal sebagai Kepulauan Tukang Besi.


Pulau-pulau di Kepulauan Tukang Besi itu mendapat perhatian tersendiri dari VOC. Maklum, pulau-pulau di sana kaya. Pulau Wanci dan Pulau Kaledupa, disebut Susanto Zuhdi dalam Sejarah Buton Yang Terabaikan, adalah pengasil cengkeh. VOC menganggap kehadiran pohon-pohon cengkeh itu sebagai ancaman. Oleh karenanya, VOC memberi 100-150 Rijksdaalder tiap tahun kepada raja Buton sebagai ganti-rugi penebangan cengkeh tersebut.


VOC berusaha menghabiskan tanaman rempah di Kepulauan Tukang Besi. Usaha yang sama dilakukan VOC di beberapa pulau di Maluku.


Akibatnya, timbul perlawanan dari rakyat lokal. Orang-orang di Kepulauan Tukang Besi rupanya pernah melawan terhadap VOC setelah pengasingan orang-orang Ambon itu.


“Kebencian mereka terhadap Belanda ternyata tidak luntur oleh pengasingan itu. Mereka kembali melakukan perlawanan di Pulau Wangi-wangi. Seiring dengan perlawanan itu, mereka kemudian menyebar ke pulau-pula lainnya, yakni Pulau Kaledupa, Pulau Tomia dan Pulau Binongko,” kata Abd. Rahman Hamid dalam Orang Buton: Suku Bangsa Bahari Indonesia.

 

Namanya Tukang Besi untuk kepulauan tersebut rupanya terkait dengan kerajinan besi yang berkembang di kawasan itu. Setidaknya hingga dua dekade silam kerajinan membuat alat-alat dari besi merupakan mata pencarian orang-orang Binongko. Di zaman Hindia Belanda, daerah ini disebut Toekang Besi Eilanden. Setelah era Belanda berlalu, nama Tukang Besi malah mulai menghilang.


Kawasan itu sempat disebut sebagai Bitokawa. Bitokawa merupakan akronim dari suku-kata depan nama-nama pulau di sana, terdiri dari: Binongko (bi), Tomie (to), Kaledupa (ka) dan Wangi-wangi (Wa). Tidak lama kemudian, akronim Bitokawa diganti dengan akronim nama pulau-pulau itu namun susunannya dibalik. Dimulai dari Wangi-wangi (Wa), Kaledupa (ka), Tomie (to), dan Binongko (bi) lalu jadilah Wakatobi.


“Nama ini pertama kali digunakan pada 1959, bersamaan dengan gagasan pembentukan satu kabupaten di Sulawesi Tenggara yakni Wakatobi, terpisah dari Kabupaten Buton,” kata Abd. Rahman Hamid.


Nama Wakatobi dipakai sampai sekarang. Meski kerajinan besi masih ada, kawasan ini sekarang bukan dikenal karena kerajinan tersebut. Bekas Toekang Besi Eilenden ini dikenal sebagai kawasan menyelam (diving) yang diminati selain Raja Ampat.*

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Film “The Voice of Hind Rajab” jadi antidot amnesia kisah bocah Gaza yang dibantai Israel dengan 335 peluru. PBB menyertakan tragedinya sebagai bagian dari genosida.
Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Dulu, orang Dayak dituduh pembakar hutan yang lebih berbahaya dari industri. Padahal, tidak banyak lahan hutan alam Kalimantan yang mereka gunduli.
Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Cerita di balik potret bocah-bocah yang menangis histeris saat terjadi serangan napalm di Perang Vietnam. Kini atribusi fotonya jadi polemik.
Anak Tawanan Itu Bernyanyi “Nina Bobo”

Anak Tawanan Itu Bernyanyi “Nina Bobo”

Sukses sebagai penyanyi di Belanda, Anneke Gronloh tak melupakan Indonesia sebagai tempatnya dilahirkan.
Pangku yang Memotret Kehidupan Kaum Pinggiran

Pangku yang Memotret Kehidupan Kaum Pinggiran

Film perdana Reza Rahadian, “Pangku”, tak sekadar merekam kehidupan remang-remang lewat fenomena kopi pangku. Sarat pesan humanis di dalamnya.
bottom of page