Aryono dalam Kenangan
Luasnya wawasan sejarah, hasrat kuat meneliti dan ketajaman intuisinya menjadikannya periset masa lalu yang ulung.
“Nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda,” demikian Soe Hok Gie menulis dalam buku hariannya, Catatan Seorang Demonstran. Gie seolah meramal takdirnya sendiri: mati muda pada usia 27 tahun di puncak Gunung Semeru, 16 Desember 1969.
Aryono (Arik), kawan kami yang baru saja wafat Selasa subuh, 15 September 2020, tak pernah terdengar mengucapkan atau mengutip kalimat Soe Hok Gie tersebut. Nyawanya tak terselamatkan setelah pingsan pada Senin malam dan sempat dilarikan ke Unit Gawat Darurat Rumah Sakit Pelni, Petamburan, Jakarta Barat. Dia mati muda seminggu setelah merayakan ulang tahun yang ke-38.
“Tiap generasi,” demikian sejarawan Amerika Henry Morse Stephens, “menulis sejarahnya sendiri.” Gie lulus dari UI pada 1964, menulis skripsi mengenai gerakan komunis yang bermetamorfosis dari Sarekat Islam di Semarang, diterbitkan dengan judul Di Bawah Lentera Merah. Sementara Arik lulus 2009 dari Universitas Diponegoro, Semarang dengan skripsi berjudul Jalan Mendaki Menuju Reformasi: Gerakan Mahasiswa di Semarang Tahun 1990–1998.
Baca juga: Soe Hok Gie dan Para Penyusup di UI
Arik memang tertarik pada sejarah aktivisme dan terlibat secara praksis pada kegiatan aktivisme. Semenjak kuliah aktif di dalam berbagai forum diskusi, bergiat di ranah kebudayaan dan terlibat kegiatan riset. Salah satu pekerjaan riset yang pertama kali saya lakukan dengannya adalah pengumpulan kisah-kisah penyintas peristiwa 1965 di Jawa Tengah. Saat itu, Arik belum lagi lulus kuliah, rambutnya masih gondrong urakan, penampilan khas aktivis mahasiswa yang agak sedikit nyeniman.
Pada pertengahan 2012, tiga tahun setelah lulus kuliah, Arik melamar ke majalah Historia. Lamarannya diterima. Dia kemudian datang ke kantor redaksi di Jl. Wahid Hasyim, Tanah Abang. Penampilannya sudah berbeda dari waktu terakhir saya temui saat melakukan penelitian: rambutnya tak lagi gondrong dan tubuhnya jauh lebih gemuk. Sebelum mulai resmi bekerja, saya yang mewawancarainya.
Pada akhir wawancara dia bertanya: “Jadi kapan saya mulai kerja, mas?”
“Sekarang juga!” kata saya.
Sejak hari itu, Arik bekerja di Historia, mengawali kariernya sebagai reporter. Arik selalu menunjukkan keseriusannya bekerja, walau kemampuan menulisnya kadang-kadang masih kedodoran, dia terbilang anak yang tambeng alias cuek dan terus belajar. Budi Setiyono, redaktur pelaksana yang juga instruktur kelas pelatihan jurnalisme sastra di Yayasan Pantau pernah beberapa kali mengembalikan naskah karya Arik untuk diperbaiki. Seorang reporter lain malah pernah dibabat sebelas kali bolak-balik revisi. Arik tak sampai sebelas kali tapi lumayan membuatnya pucat.
Setelah beberapa kali evaluasi, melihat kinerja Arik, kami memutuskan untuk memindahkan Arik ke bagian riset. Bukan apa-apa, dia rajin melakukan penelitian dan banyak menemukan bahan, namun masih kurang piawai meramu bahan temuannya menjadi naskah yang ciamik. Di bagian riset, Arik seperti menemukan jodohnya: klop! Seiring waktu dan karena sifat uletnya, Arik berhasil mengembangkan diri tak hanya jadi periset andalan tapi juga penulis yang piawai meramu bahan temuan riset dengan reportase.
Dalam artikel “Tari Topeng Rasinah Melintasi Sejarah” dia menunjukan keterampilannya memadukan reportase dan riset sejarah. Setelah peristiwa 1965, tari topeng Indramayu mengalami kesulitan pentas karena tuduhan terkait dengan aktivitas Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Arik merekam kegiatan sanggar tari topeng maestro Mimi Rasinah yang kini dikelola Aerli, cucu Rasinah.
Arik memang trengginas. Kecuali pada masa pagebluk corona, dia rajin ke lapangan baik untuk reportase maupun riset arsip dan pustaka ke kantor Arsip Nasional atau Perpustakaan Nasional. Tugasnya sebagai kepala bagian riset juga meliputi pengumpulan dokumentasi sejarah yang tercecer di berbagai lokasi untuk disimpan secara digital di hard disk komputer di kantor. Rencananya, kami akan membangun pusat data digital sejarah di Historia.id, Arik salah satu motor penggeraknya.
Untuk mewujudkan gagasan tersebut, kami merintis proyek seri dokumentasi aktivisme masa Orde Baru. Rencananya kesaksian aktivis dari semua angkatan mulai 1974 sampai 1998 akan direkam dan disimpan di dalam bank data yang terbuka untuk digunakan oleh para peneliti. Dua tahun lalu kami telah memulai melakukan pendokumentasian terhadap beberapa aktivis yang terlibat gerakan anti-Soeharto di era 1990-an. Arik yang spesialis sejarah gerakan mahasiswa berperan penting di dalam proyek tersebut.
Baca juga: Pameran Surat Pendiri Bangsa
Kemampuan Arik melakukan riset sejarah memang jempolan. Selain memahami seluk beluk kearsipan, dia juga menguasai bahasa Belanda sebagai sumber secara pasif. Selama bergabung dengan Historia.id, Arik terlibat di dalam beberapa proyek penting, mulai dari riset konten Museum Multatuli, pameran Surat Pendiri Bangsa dan riset proyek Asal-Usul Orang Indonesia (ASOI) yang menggunakan tes DNA.
Bekerja dengan Arik selalu penuh riang dan canda tawa. Dia tak pernah terdengar mengeluh sekalipun pekerjaan terus bertumpuk setiap hari. Acapkali dia terlihat tidur mendengkur di kursi kerjanya di kantor. Hal serupa juga terjadi ketika kami berdua menjadi peneliti tamu di Flinders University, Adelaide, Australia September 2019. Kesunyian ruang koleksi khusus pecah oleh suara dengkuran Arik yang ketiduran saat memindai dokumen. Ajaibnya, dia tertidur sementara tangannya masih terus bekerja menggerakan pemindai. Sembari bergurau saya bilang padanya kalau dia sudah dapat karomah Gus Dur karena tetap bisa bekerja sambil terlelap.
Arik dan saya diundang untuk membongkar arsip-arsip milik sejarawan Anton Lucas yang tersimpan di seksi koleksi khusus perpustakaan Flinders University. Anton meneliti sejarah di pantai utara Jawa Tengah untuk disertasinya yang sudah diterbitkan, Peristiwa Tiga Daerah: Revolusi dalam Revolusi. Intuisi dan wawasan yang dimilikinya terlihat dari caranya memilah arsip yang memberikan petunjuk pada peristiwa penting di masa lalu. Di ruangan koleksi khusus itu Arik berbisik kepada saya, “Pak… MMC nih, Pak. MMC.”
Baca juga: Anton Lucas dan Cerita Kutilnya
Merapi Merbabu Complex atau disingkat MMC adalah milisi kiri yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia. Pasca peristiwa Madiun 1948, mereka menjadikan wilayah lereng gunung Merapi dan Merbabu sebagai basisnya. MMC terdiri dari para laskar merah yang kecewa atas kebijakan Reorganisasi dan Rasionalisasi (Re-Ra) pemerintah terhadap Tentara Nasional Indonesia. Arik paham peristiwa penting ini belum banyak diketahui publik, dia pun bergegas mencatat dan memindai beberapa dokumen penting itu.
Sebagai peneliti sejarah yang sadar situasi, Arik juga mafhum jika penulisan sejarah gerakan kiri di Indonesia, terutama mengenai peristiwa 1965 masih diliputi trauma. Cara pandang sejarah yang traumatis dan terbebani stigma negatif itu menjadi penghalang bagi ikhtiar pengungkapan kebenaran dan penegakkan keadilan bagi para korban dan penyintas peristiwa 1965.
Perhatiannya pada isu 1965 terwujud di dalam beberapa artikelnya antara lain tentang penemuan 16 titik kuburan massal di Purwodadi, Jawa Tengah, “Operasi Penumpasan PKI di Surabaya” dan “Pembersihan Mahasiswa IPB dan UI”, mengisahkan operasi penangkapan mahasiswa yang dituduh terlibat dalam peristiwa G30S 1965. Ketika Simposium Nasional Tragedi 1965 berlangsung di hotel Aryaduta, Jakarta, 18–19 April 2016, Arik adalah penulis yang setiap hari bertugas meliput acara tersebut.
Baca juga: Penumpasan PKI di Surabaya
Selain mencintai pekerjaannya, Arik juga selalu menunjukkan sikap solidaritasnya pada kawan. Suatu kali seorang penulis Historia.id menghadapi persoalan akibat menyebut aparat militer terlibat melarang diskusi bertemakan peristiwa 1965 di sebuah kampus di Malang. Danrem Malang melalui Kepala Penerangan Korem (Kapenrem) mencari-cari penulis muda yang gugup itu. Arik pasang badan, dia menenangkannya seraya melayani sanggahan perwira Korem Malang melalui telepon. Di kemudian hari kisah tersebut diceritakan kembali dengan bumbu guyon dan jadi bahan tertawaan.
Kadang-kadang selalu saja ada kelakuan nyeleneh almarhum. Kali lain, dalam sebuah perhelatan pesta di kampus Flinders University, kami menikmati suguhan makanan. Saya, Direktur Migrant Care Wahyu Susilo dan Arik mencomot makanan dan menenggak minuman apapun yang dibawa oleh pramusaji. Rupanya ada satu jenis makanan yang kami bertiga sukai dan ingin tambah lagi, namun pramusaji berjalan cepat ke tengah kerumunan menawarkan makanan itu untuk yang lain. Arik tak sabar. Dia pun berteriak memanggilnya, “Mbakk….mbakkkk… kesini mbaakk..,” katanya sambil melambai-lambaikan tangannya. Jangankan datang, menengok pun tidak. Saya dan Wahyu Susilo tertawa terpingkal-pingkal menyaksikan tingkah Arik.
Baca juga: Korem Bantah Larang Seminar di Malang
Dalam bertugas, Arik tak pernah mengeluh dan mengatakan tidak atau menolak penugasan. Saya selalu meminta tolong agar dicarikan dokumen penting sebagai sumber tulisan, baik di kantor ANRI maupun di Perpusnas RI. Terakhir kali saya memesan kepadanya agar dicarikan pidato Bung Karno tentang pertahanan dan keamanan serta arsip-arsip Departement van Financien era kolonial. “Oke, Pak. Beres, nanti saya carikan,” katanya.
Senin sore, 14 September 2020, Arik masih terlihat sekelebat melintasi ruang kerja saya yang terbuka pintunya. Saya menyapanya setengah berteriak, “Rik, piye? Beres?”
“Beres, Pak! Aman!” katanya sambil berlalu ke arah ruangan kerjanya.
Tanpa disangka itulah pertemuan saya yang terakhir dengannya. Kurang dari empat jam kemudian, pukul 19:40, Arik jatuh pingsan di kantor. Kami segera membawanya ke UGD RS Pelni, Petamburan, Slipi yang jaraknya hanya sepelemparan batu dari kantor. Setelah sempat dirawat secara intensif semalaman, Arik mengembuskan napas terakhirnya pada Selasa pukul 04:50 subuh. Menurut tim dokter yang menanganinya, dia mengalami pendarahan otak dan kecil kemungkinan untuk diselamatkan. Anak muda yang baik hati dan periang itu wafat dalam tugasnya sebagai sejarawan dan periset sejarah andalan kami.
Pada kaos yang dikenakannya saat-saat terakhir hidupnya tertera kalimat, We are not the makers of history, we are made by history. Arik memang bukan pencipta sejarah, tokoh besar sebagaimana dimaksud oleh sejarawan Jerman, Leopold von Ranke. Namun kerja-kerja Arik semasa hidupnya: menelusuri sumber sejarah dan mencatat kisah-kisah masa lalu merupakan pekerjaan besar yang menyadarkan kita akan pentingnya sejarah dalam membentuk pengalaman hidup kita sekarang dan masa yang akan datang.
Selamat jalan, Arik. Kami jaga api semangatmu dan teruskan kerja-kerjamu...
Kumpulan tulisan Aryono bisa dibaca di sini
Tambahkan komentar
Belum ada komentar