Adu Jangkrik dari Tiongkok ke Nusantara
Di Tiongkok, saking suka adu jangkrik sampai ada kaisar dan menteri jangkrik.
JANGKRIK telah menjadi perhatian orang Tiongkok sejak 300 SM. Buktinya adalah lukisan jangkrik. Sejak sebelum Dinasti Tang, 500 SM-618 M, masyarakat Tiongkok telah mengagumi suara jangkrik. Mereka pun mengadu kerik jangkrik.
Kegemaran pada suara jangkrik berlanjut hingga era Dinasti Tang (618-906 M). Mereka mengurung jangkrik ke dalam kandang yang terbuat dari bambu.
Pada era Dinasti Song (960-1278 M) yang diadu adalah fisik si jangkrik. Sejak itu, muncul permainan adu jangkrik yang digemari anak-anak hingga dewasa. Begitu populernya jangkrik, sampai-sampai ada “menteri jangkrik” yang dijabat oleh Jia Shi Dao (1213-1275). Selama menjabat, dia menyumbangkan buku tentang jangkrik berjudul Cu Zhi Jin.
“Dia sampai dituduh melalaikan tugas kerena obsesi dan gairahnya mengadu jangkrik. Tapi kala itu juga terdapat puisi mengenai ‘suara jangkrik’,” kata Dwi Cahyono, sejarawan Universitas Negeri Malang.
Bukan hanya “menteri jangkrik”, penguasa Dinasti Ming, Xuande (1425-1435 M), dijuluki “kaisar jangkrik” karena gemar mengadu jangkrik. Di lingkungan istana, jangkrik begitu dihargai. Tiap tahun ribuan jangkrik terpilih dikirim ke ibukota. Jangkrik yang hebat mendapat harga yang tinggi. Jangkrik pun untuk pamer kekayaan dan gengsi.
“Terdapat kisah seorang petugas lumbung beras yang rela menukar kuda terpilihnya dengan jangkrik yang tangguh,” kata Dwi.
Adu jangkrik bisa membuat orang kaya mendadak. Namun, tak jarang menghacurkan perekonomian keluarga. Karenanya pada era Dinasti Qing (1644-1911) adu jangkrik secara resmi dilarang. Namun, pada periode tertentu Dinasti Qing, adu jangkrik masih dihadirkan dalam olahraga nasional setiap musim gugur.
Di Nusantara, sayangnya belum diperoleh bukti tekstual pra Kesultanan Mataram soal adu kerik maupun fisik jangkrik. Namun, kuatnya pengaruh Tiongkok sangat mungkin membawa kebiasaan ini masuk ke Nusantara.
Pada era Kesultanan Mataram, adu jangkrik menjadi kegemaran orang Jawa dan kalangan Tionghoa peranakan. Sejarawan Denys Lombard menyebutnya dalam Nusa Jawa: Silang Budaya, Jilid 2: Jaringan Asia.
Bahkan, ketika masa pemerintahan Hamengkubuwono VII (1877-1921) adu jangkrik masuk lingkungan keraton. Para bangsawan dan pedagang kaya di Kota Gede mengadakan pertandingan adu jangkrik tiap Selasa dan Jumat.
Menurut Tjan Tjoe Siem dalam artikel “Adoe Jangkrik”, yang dimuat majalah Djawa tahun 1940, pada awal abad ke-20, adu jangkrik sebagai praktik perjudian ramai dilakukan di Jawa Tengah. Tidak sedikit orang Tionghoa ikut pat-sik-soet (adu jangkrik) di musim jangkrik.
“Pusat-pusat aduan jangkrik yang taruhannya tidak kecil berada di Magelang, Yogyakarta, dan Solo. Pada tahun 1901 diadakan pertandingan besar ‘adu jangkrik’ di Semarang,” ujar Dwi.
Baca juga:
Tambahkan komentar
Belum ada komentar