Tan Malaka Tak Pernah Menguap Ketika Ngobrol
Meski pengaruhnya cukup besar dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, Tan jauh dari jemawa. Selalu menghormati lawan bicara tanpa peduli status sosial.
Di Indonesia, nama Tan Malaka masih di-“blacklist” bahkan hingga kini, 71 tahun setelah wafatnya. Penyitaan salah satu buku karyanya, Merdeka 100 Persen, dari tangan mahasiswa usai berdemonstrasi di Banten beberapa waktu lalu merupakan buktinya.
Nama Tan justru dihormati di Belanda, negeri yang kolonialismenya dia lawan sejak muda hingga akhir hayatnya. Nama Tan digunakan untuk menamakan sebuah jalan di Amsterdam.
“Tahun yang lalu di Amsterdam ada rumah-rumah yang baru dan nama-nama jalan yang baru. Dan di sana sudah disebut Tan Malaka, seperti nama jalan. Ini istimewa dan ini lebih cepat daripada di Indonesia,” kata sejarawan Harry A. Poeze, yang 40 tahun lebih meneliti Tan, dalam Dialog Sejarah bertajuk “Indonesia Dalam Mimpi Tan Malaka” di kanal Youtube Historia, Jumat, 16 Oktober 2020.
Padahal, hampir seluruh hidup Tan digunakan untuk memperjuangkan Indonesia. Penjara demi penjara di dalam maupun luar negeri menjadi rumahnya sebagai akibat dari perjuangannya untuk memerdekakan dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Tak sedikit pun ada keluhan keluar dari mulut Tan meski kerap hidup di balik jeruji dan acap tak punya uang untuk sekadar hidup. Sebaliknya, Tan sangat tegar memotivasi pemuda-pemuda sejak kembali ke Indonesia dan amat menghormati siapapun lawan bicaranya serta tak merasa hebat. Hal ini disaksikan antara lain oleh A. Hamzah Tuppu, yang kelak menginisiasi pembentukan BKR Laut di Surabaya, dan Darwis Tamin, adik pengusaha Rahman Tamin.
Baca juga: Jejak Langkah Sang Pengikut Tan Malaka
Dalam perjumpaan pertamanya dengan Tan, tak lama setelah Proklamasi, Hamzah langsung terpukau. Tan tak hanya punya wawasan luas dan penjelasannya sistematis namun juga menyampaikan pandangannya secara simpatik.
“Kesan saya, Tan Malaka kalau berbicara sangat sopan, rendah bicaranya, tidak tinggi-tinggi, tetapi menarik. Dan dia ada humornya kalau berbicara,” kata Hamzah dalam testimoninya di buku Sukarni Dalam Kenangan Teman-Temannya, “Bersama Bung Karni di Balik Kawat Berduri di Kamp Garut”.
Kesan serupa itu pula yang didapatkan Darwis selama tinggal serumah dengan Tan di Jalan Juminahan 44 Yogyakarta tak lama setelah Tan dibebaskan dari Penjara Magelang (1948). Lantaran tinggal serumah dalam waktu lama, Darwis punya banyak kesempatan mengobrol dengan Tan.
“Tiap kali setelah makan siang saya selalu ngobrol dengan Tan Malaka mulai pukul 14.00-18.00, atau setelah makan malam pukul 21.00-02.00 malam,” kata Darwis dalam testimoni di buku yang sama, “Seorang Pendobrak yang Luar Biasa”.
Mengobrol santai seperti itu tidak dihindari Tan meski selama di Jogja dia disibukkan oleh bermacam pekerjaan. Tan bahkan menyempatkan untuk menyelesaikan beberapa bukunya. Untuk urusan ini, biasanya dia mengerjakan di rumah Pangulu Lubis, kepala Antara di Yogyakarta. “Dia merapikan naskahnya Madilog dan Gerpolek, dan mengoreksi bagian terakhir Dari Pendjara ke Pendjara untuk siap cetak,” tulis Poeze dalam Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia Jilid 4: September 1948-Desember 1949.
Baca juga: Empat Puluh Tahun Mencari Tan Malaka
Sikap Tan yang menghargai orang tanpa pandang status sosial membuat Darwis yang masih “ingusan” tak segan menanyakan berbagai hal kepada Tan. Siang hari maupun malam, jika ada kesempatan terus digunakan Darwis untuk mengobrol dengan Tan selama berjam-jam baik . Tak hanya soal politik atau hal-hal berat, obrolan mereka bahkan sampai ke hal-hal yang remeh. Bukan hanya kagum, Darwis juga dibuat heran oleh sikap Tan tersebut.
“Selama kenal dan berbicara dengan Tan Malaka itu, saya merasa heran bahwa dia tidak pernah menguap atau merasa kesal, ataupun bosan menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang kadang-kadang merupakan pertanyaan dangkal dan bodoh. Dia selalu dengan sabar memberikan penjalasan, menuntun saya,” kata Darwis.
Sikap Tan itu membuat Darwis menaruh hormat tinggi kepada Tan.
“Saya juga kenal banyak pemimpin, tapi tidak saya dapati yang seluar biasa Tan Malaka ini. Biasanya, kalau bertemu pemimpin-pemimpin itu kita bicara dengan mereka terbatas waktunya. Kalau ada pertanyaan yang bukan-bukan, mereka lantas tidak mau menjawab. Tetapi lain halnya dengan Tan Malaka.”
Tambahkan komentar
Belum ada komentar