Sri Sultan, Es Puter, dan Pedagang Beras
Kebersahajaan Sri Sultan Hamengkubuwono IX tercermin kala dia memperlakukan para sahabat dan rakyatnya.
SUATU senja di tahun 1946. Kereta Api Luar Biasa yang datang dari Yogyakarta terhenti di Stasiun Klender, Jakarta Timur. Kendati memuat sejumlah pejabat RI (Republik Indonesia) yang akan melakukan perundingan dengan pihak Sekutu dan Belanda di Jakarta, namun tak urung izin masuk Jakarta dari NICA (Pemerintah Sipil Hindia Belanda) tetap diperlukan.
Sudah beberapa menit kereta api tak jalan jua. Cuaca Klender yang panas membuat para penumpang kegerahan. Rasa dahaga pun mendera. Dokter Abdoel Halim memutuskan keluar dari gerbong untuk mencari minuman dingin. Baru saja meloncat keluar tetiba terdengar suara Sri Sultan Hemengkubuwono IX di belakangnya.
“Hei Dok, mau kemana?” tanya Raja Jawa itu.
“Ah tidak…Saya mau mencari minuman,” jawab Halim.
“Ik ga met u mee,” jawab Sri Sultan sambil meloncat dari dalam kereta api. Sang adik Pangeran Bintoro lantas mengikutinya.
Baca juga: Perjalanan Rahasia dari Pegangsaan Timur
Menyaksikan itu, Halim agak terperangah. Dia tak berani mengajak Sri Sultan karena berpikir mana mungkin seorang bangsawan yang kedudukannya sangat tinggi mau nongkrong dengannya sambil minum di pinggir jalan.
“Ini bisa bikin repot, mana ada restoran yang lumayan di dekat stasiun ini,” pikir Halim seperti dikisahkannya dalam buku Tahta untuk Rakyat: Celah-celah Kehidupan Sultan Hamengkubuwono IX (disunting oleh Atmakusumah).
Meskipun agak segan, Halim menunggu Sri Sultan dan Pangeran Bintoro untuk menyertainya cari minuman. Mereka kemudian jalan beriringan keluar dari lingkungan Stasiun Klender.
Beberapa meter dari stasiun nampaklah seorang tukang es puter tengah melayani para pembelinya. Merasa jengah jika harus mengajak Sri Sultan dan adiknya itu jajan minuman di pinggir jalan, Halim terus melewati gerobak es puter tersebut.
“Hai Dok, mengapa berjalan terus? Ini kan ada es puter, di sini saja kita minum,” kata Sri Sultan.
Jadilah mereka bertiga jajan es puter di depan Stasiun Klender. Anehnya, tak nampak gelagat dua bangsawan itu terlihat rikuh. Dengan santainya mereka menikmati es puter sambil berdiri di sela lalu-lalang kendaraan dan pejalan kaki.
“Dengan kejadian itu, mendadak hilanglah sikap segan dari saya terhadap orang bangsawan yang feodal itu dan mulai terpikir oleh saya bahwa orang ini selanjutnya mungkin dapat menjadi kawan yang akrab,” ungkap Abdoel Halim.
Kebersahajaan Sri Sultan juga terceritakan Komandan Komando Militer Kota (KMK) Yogyakarta Mayor Pranoto Reksosamodra pada 1950. Suatu hari Sri Sultan pulang blusukan dari pelosok. Di Desa Godean, tetiba Land Rover-nya dihentikan oleh seorang perempuan penjual beras.
Tanpa pikir panjang, Sri Sultan menghentikan jip buatan Inggris itu. Belum Sri Sultan mengeluarkan sepatah kata, perempuan itu sudah berseru: “ Niki, karung-karung beras niki diunggahake!” Rupanya, sang penjual beras yang tak mengenal wajah Sri Sultan mengira raja Jawa itu sebagai sopir angkutan beras yang biasa membawa para pedagang ke Pasar Kranggan di wilayah kota Yogyakarta.
Sri Sultan pun mengangkat dua karung besar beras ke bagian belakang kendaraannya. Sementara itu sang penjual beras langsung menaiki jip dan duduk di samping Sri Sultan. Sepanjang jalan, mereka ngobrol dengan akrabnya hingga tak terasa sampai tujuan. Tanpa diperintah, Sri Sultan lantas keluar dari mobil. Dengan tangkas diturunkannya karung-karung berisi beras tersebut.
Baca juga: Kebersahajaan Sri Sultan Hamengkubuwono IX
Begitu selesai, penjual beras itu lantas merogoh kemben usangnya dan mengeluarkan uang lembaran dan disodorkan ke Sri Sultan. Lelaki ramah itu tersenyum dan menggelengkan kepala. Disikapi seperti itu, alih-alih berterimakasih, sang penjual beras malah ngomel-ngomel, dikiranya “sang sopir” tidak mau menerima ongkos karena jumlah uangnya yang kurang.
Dengan sabar, Sri Sultan mengatakan,” Pun boten sisah, Mbakyu.” Artinya: tidak usah bayar, Mbak. Tanpa menunggu jawaban dari si penjual beras, Sri Sultan lantas memacu Land Rover-nya ke arah keraton.
“ E, eeee…Diwenehi duwit kok nampik. Sumengkean temen ta sopir kuwi,” gerutu penjual beras itu. Ya, siapa yang tak berkata demikian di zaman susah itu jika ada sopir angkutan yang begitu “belagu” menampik duit.
Kendaraan Sri Sultan sudah berlalu, namun perempuan itu tetap saja mengomel. Tanpa disadarinya sudah lama prilakunya disaksikan banyak orang yang ada di sekitarnya. Seorang polisi lantas menghampiri penjual beras itu dan memberitahu jika “sopir” yang baru diomelinya itu adalah Ngarsa Dalem.
Bukan main kagetnya penjual beras itu. Bahkan saking kagetnya, ia lantas terhuyung-huyung dan jatuh pingsan hingga dilarikan ke Rumah Sakit Bethesda. Kejadian itu lantas berkembang dari mulut ke mulut hingga sampai ke telinga Sri Sultan.
“Sri Sultan mendapat laporan bahwa si penjual beras dirawat di Rumah Sakit Bethesda, maka beliau pun memerlukan datang untuk menengoknya,” ungkap Pranoto Reksosamodra dalam otobiografinya, Catatan Jenderal Pranoto Reksosamodra: Dari RTM Boedi Oetomo sampai Nirbaya.
Baca juga: Soeharto Seteru Pranoto
Tambahkan komentar
Belum ada komentar