Sorak-Sorak Bergembira Keliling Kota
Lagu-lagu perjuangan dinyanyikan di atas truk untuk merayakan kemerdekaan pada 1945. Pasca-1965, dinyanyikan para tapol di atas truk menuju pembuangan.
Pada masa revolusi 1945, komponis Cornel Simanjuntak membuat lagu berjudul “Sorak-Sorak Bergembira” yang kemudian menjadi populer dan banyak dinyanyikan para pejuang. Pada suatu hari, Cornel mengajak kawan-kawannya berkeliling Jakarta. Mereka lalu berkeliling dari kampung ke kampung menggunakan mobil bak terbuka.
“Di sepanjang jalan, dengan iringan sebuah gitar kami menyanyikan lagu-lagu perjuangan Sorak-Sorak Bergembira, Maju Tak Gentar dan lain-lain, sambil melambai-lambaikan bendera merah putih,” kisah Binsar Sitompul dalam Cornel Simanjuntak, Komponis, Penyanyi, Pejuang.
Dalam rombongan itu turut serta Suryo Sumanto, D. Djajakusuma, Gayus Siagian, hingga Usmar Ismail. Belakangan, rombongan ini menjadi tokoh-tokoh kebudayaan ternama di Indonesia dari bidang musik hingga perfilman.
Baca juga: Cornel Simanjuntak, Komponis yang Bertempur
Rombongan berkeliling kota dan berhenti pada tempat-tempat tertentu untuk menyanyikan lagu-lagu perjuangan bikinan Cornel. Orang-orang kemudian mengerumuni pick up mereka. Dan mimbar terbuka pun digelar untuk mereka yang ingin berpidato.
“Pada pokoknya ia memberikan penerangan tentang kemerdekaan Indonesia yang telah diproklamasikan, dan yang harus dibela dan dipertahankan,” kenang Binsar.
Kegiatan keliling kota ini dilakukan berkali-kali pada masa genting itu. Hingga suatu ketika, mereka tak bisa lagi keliling kota karena mulai terjadi adu tembak di berbagai sudut kota. Pertempuran antara pemuda Republik dan serdadu Belanda semakin sering terjadi.
Hampir setiap hari terjadi pertempuran di Petojo, Jaga Monyet, Jatinegara, Senen hingga Tangsi Penggorengan. Sementara itu, Cornel dan kawan-kawannya berpisah. Masing-masing bergabung dengan kesatuan-kesatuan pejuang yang berbeda di Jakarta.
Binsar Sitompul bergabung dengan Barisan Keamanan Rakyat (BKR) Laut di Tanjung Priok. BKR Laut kemudian menjadi TKR Laut. Sementara, Cornel bergabung dengan Angkatan Pemuda Indonesia (API) yang bermarkas di Menteng 31. Belakangan Cornel tertembak pahanya, mengungsi ke Karawang dan kemudian kabur ke Yogyakarta. Cornel meninggal dunia karena sakit paru-paru pada 15 September 1946.
Pasca-1965, lagu-lagu ciptaan Cornel dinyanyikan lagi dari atas truk. Namun kali ini bukan untuk merayakan kemerdekaan, tapi dinyanyikan para tahanan politik yang dituduh terlibat G30S. Lagu seperti “Sorak-Sorak Bergembira” beserta lagu-lagu perjuangan lainnya dinyanyikan di atas truk melewati jalanan Jakarta mengiringi para tapol itu menuju pembuangan.
Hersri Setiawan dalam Memoar Pulau Buru mengisahkan bagaimana para tapol menyanyikan lagu-lagu yang menggema dari atas konvoi truk itu.
“Iringan-iringan truk mulai bergerak. Satu demi satu meninggalkan halaman dalam RTC Tangerang. Maka bergemalah paduan suara dari atas belasan truk. Syair demi syair membahana, Bangunlah Kaum –maksudnya Internasionale, Halo-Halo Bandung, Sorak-Sorak Bergembira, Darah Rakyat, Dua Belas November, dan berbagai lagu revolusioner lainnya. Udara siang Jakarta seperti bertambah panas,” tulis Hersri.
Baca juga: Jejak Komponis Mochtar Embut
Hersri yang berada di dalam truk di tengah-tengah konvoi menjadi satu dari 850 tapol yang diberangkatn siang itu. Jika Cornel dan kawan-kawan penuh semangat revolusi, Hersri dan ratusan tapol dalam situasi penuh ketidakpastian di bawah kuasa militer.
“Dalam konvoi yang amat panjang, di tengah derum-derum bunyi berbagai kendaraan bermotor yang melaju sangat cepat, hingar-bingar suara paduan suara itu sebenarnya hanya menambah bising saja. Lebih tertuju kepada diri para penyanyi sendiri ketimbang pada siapapun,” tulis Hersri.
Suasana jalanan pun berbeda. Tak ada sambutan suka-cita dari rakyat dan para pejuang. Tak ada orang berkumpul untuk mendengarkan pidato-pidato kemerdekaan. Lalu lintas memang ditutup ketika mereka lewat.
“Orang lalu-lalang dilarang. Masyarakat dilarang menampakkan diri di sepanjang jalan yang dilewati konvoi. Yang menampak di pinggir jalan, hanya deretan serdadu-serdadu Angkatan Darat dalam siaga tempur, yang berdiri membelakangi jalan pada jarak sekitar setiap 50 meter,” kenang Hersri.
Walaupun kembali dinyanyikan oleh para tapol, “Sorak-Sorak Bergembira” atau “Maju Tak Gentar” tak bernasib buruk seperti lagu-lagu yang di-PKI-kan. Lagu-lagu itu masih bisa dinyanyikan bahkan menjadi lagu nasional. Berbeda dari lagu-lagu yang dicap komunis seperti “Genjer-Genjer”, “Internasionale” maupun “Darah Rakyat”.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar