Nasib Mujur Jenderal Moersjid
Nyaris diculik pasukan G30S, untuk kesekian kali dalam hidupnya Moersjid terhindar dari kematian.
Pada 1 Oktober 1965 keributan terjadi di tubuh TNI Angkatan Darat. Pucuk pimpinan Menteri/Panglima AD (Menpangad) Letjen TNI Ahmad Yani dikabarkan hilang, tak diketahui rimbanya. Pada saat bersamaan, melalui siaran RRI pagi, masyarakat mendengar adanya kudeta Dewan Jenderal dari kelompok yang menamakan diri sebagai Dewan Revolusi. Bak petir di siang bolong, berita itu membuat orang-orang kelimpungan.
Kabar tentang pengamanan perwira tinggi oleh Dewan Revolusi membuat Mayor Jenderal Moersjid kaget bukan main. Sebagai Deputi I Menpangad di dalam urusan operasi, yang secara struktural merupakan orang kedua setelah Yani di jajaran TNI AD, Moersjid seyogyanya ikut diamankan bersama perwira tinggi lainnya. Tetapi sebuah peristiwa berhasil menyelamatkan nyawanya. Dia pun lolos dari daftar korban tewas malam itu.
Dituturkan putra ketiga Moersjid, Siddharta Moersjid, dalam diskusi daring “Ada Apa dengan 1 Oktober 1965: Kisah Mengenai Dedikasi, Integrasi, dan Pengorbanan Demi Membangun Harapan untuk Indonesia”, diselenggarakan FTHR, Sabtu (30/10/2020), pada malam 1 Oktober sekira pukul 02.00 dini hari, sekelompok tentara berhenti di kompleks perumahan tempat kediaman Moersjid dan keluarganya.
Para tentara itu, menurut Siddharta berdasar penuturan Moersjid di tahun 1980-an, datang untuk menangkap Moersjid. Akan tetapi mereka tidak tahu di mana letak persis rumah mantan anggota Kodam Siliwangi tersebut. Mereka menyusuri secara acak rumah-rumah di sana. Karena tidak kunjung menemukan rumah yang dimaksud, para tentara itupun akhirnya pergi.
Keesokan paginya, seseorang mengetuk pintu rumah Moersjid. Dia adalah dr. Sulaeman, seorang dokter di Angkatan Darat, yang rumahnya tidak jauh dari tempat Moersjid. “Tadi jam 2 atau jam 3 ada yang datang mencari kamu,” tutur Sulaeman begitu melihat Moersjid di balik pintu.
“Tapi saya katakan bahwa kamu (Moersjid) ada di Kalimantan,” lanjutnya.
Tindakan berani Sulaeman itu pun berhasil menghindarkan Moersjid dan keluarganya dari maut. Namun menurut Siddharta faktor keberuntungan juga mungkin turut andil menyelamatkan hidup ayahnya. Moersjid diketahui seringkali terlibat peristiwa antara hidup dan mati. Tetapi secara ajaib selalu bisa mempertahankan nyawanya.
Pernah satu waktu, di masa perang, Moersjid tengah berdiam di dalam sebuah gubuk. Tiba-tiba sebuah granat jatuh di atap gubuk tersebut, namun tidak meledak. Cerita lain, pernah Moersjid dihujani peluru oleh seorang yang tidak dikenal, tapi secara ajaib tidak ada satupun tembakan yang mengenai dirinya. Hidupnya kemudian terus berlanjut.
“Itu mungkin yang kalau saya lihat hoki nya dia (Moersjid) bagus. Dan saya juga akhirnya merasa bersyukur bahwa saya juga mempunyai hoki yang bagus karena memiliki seorang ayah yang hoki nya baik,” ucap Siddharta.
Setelah peristiwa maut 1 Oktober 1965, Moersjid membawa keluarganya mengungsi ke rumah kerabat di Senayan, Jakarta. Sidda dan saudara-saudaranya dititip di sana demi menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Sementara Moersjid tetap melanjutkan tugasnya sebagai Deputi I AD, termasuk bertemu Presiden Sukarno di Istana Negara guna mendiskusikan soal penunjukan Menpangad baru menggantikan Yani yang tak kunjung ditemukan.
Pada 1966 Moersjid diangkat oleh Bung Karno menjadi Wakil Menteri Koordinator dalam kabinet Dwikora II –dikenal juga sebagai kabinet 100 menteri. Namun baru beberapa bulan menjabat, terjadi peristiwa penangkapan para menteri. Sampai situasi dirasa aman, Morsjid membawa keluarganya menetap di Bandung. Beruntung dia diterima di sana.
Baca juga: Moersjid, Soeharto dan Senapan Chung
Dia memilih kota itu sebagai tempat berlindung karena di sanalah markas Kodam Siliwangi berada. Satuan militer yang membesarkan namanya. Tempat di mana dia berlatih kemiliteran selama kurun 1945-1956. Menurut Siddharta, Moersjid mengganggap Kodam Siliwangi sebagai rumah, di mana dia bisa menemukan teman-temannya. Setelah beberapa hari tinggal Moersjid kembali ke Jakarta.
“Sebagai mantan Siliwangi, mungkin beliau lebih nyaman berada di lingkungan yang sudah dikenalnya,” ujar Siddharta.
Setelah itu Moersjid tetap melanjutkan karirnya di kemiliteran. Pada 1967 dia ditunjuk menjadi Duta Besar di Filipina. Sampai 1969, Moersjid dan keluarganya tinggal di Manila. Dia juga pernah mendekam di balik jeruji besi pada 1969, dan dibebaskan pada 1973. Alasan penahanannya menurut Siddharta tidak jelas. Tidak lama setelah bebas, Moersjid memutuskan berhenti dari karirnya. Dia wafat pada 13 Agustus 2008, dalam usia 83 tahun.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar