Masa Kecil Sesepuh Potlot
Dia ikuti masa awal dinas ayahnya di Kalimantan, berteman dengan anak Dayak pula. Mengalami masa-masa genting akibat perang.
Pada pertengahan 1938, ketika kapal laut tak secepat sekarang, sebuah keluarga kecil harus naik kapal untuk bisa mencapai pulau lain demi mencari penghidupan ke tanah yang jauh dari tanah kelahiran mereka. Mereka harus ke Kalimantan bagian timur.
“Dengan menumpang kapal Pahud dari KPM (Koninklijke Paketvaart Maatschappij) kami bertolak dari Tanjung Perak, membawa anak pertama Mamang yang baru berumur dua tahun,” aku Armistiani dalam Bukit Kenangan.
Suami Armistiani, Soemarno, sejak 1 April 1938 resmi menjadi dokter lulusan Nederlandsch Indische Artsen School (NIAS), Surabaya. Ia kemudian ditugaskan ke Kalimantan bagian timur.
Mamang adalah anak laki-laki satu-satunya ketika mereka belayar ke Kalimantan. Nama lengkapnya Sidharta Manghurudin. Dia lahir di Surabaya pada 18 Januari 1936 ketika Soemarno masih kuliah kedokteran. Nama Manghurudin diambil dari nama ayah mertua Armistiani, yang seorang asisten wedana.
Pada hari-hari pertama pelayaran, Armistiani sempat mabuk laut. Itu membuat Armistiani tak bisa bermain bersama Mamang.
“Tapi menjelang petang ia sudah pulih, sehingga dapat membantu saya mengawasi Mamang yang ingin berlarian ke sana ke mari,” aku Soemarno dalam Dari Rimba Raya Ke Jakarta Raya.
Setelah lama berlayar, kapal Pahud singgah sesaat di Balikpapan. Soemarno pun menyempatkan diri menghampiri dokter pemerintah di Balikpapan.
Kapal Pahud lalu berlayar lagi menuju Tarakan. Setibanya di sana, Soemarno, Armistiani dan Mamang berganti kapal untuk menyeberang ke Tanjungselor.
Sebagai dokter pemerintah di Tanjungselor, Soemarno mendapatkan tempat tinggal. Sudah tentu keluarga Soemarno mendapat kawan baru. Salah satunya keluarga Boenjamin. Di Tanjungselor, Mamang tumbuh.
“Mamang, anak sulung, meskipun umurnya sudah dua setengah tahun, tapi belum dapat berbicara dengan jelas. Yang tampak sangat maju keterampilannya, keseimbangan bentuk tubuhnya dan gerak-geriknya,” ingat Soemarno.
Sebagai dokter, Soemarno memperhatikan betul pertumbuhan dan perubahan yang terjadi pada putranya. Ia menyadari keseimbangan tubuh anaknya lebih maju daripada perkembangan bicaranya. Namun sebulan kemudian, Soemarno dapat kejutan.
“Pada suatu pagi Mamang tiba-tiba menyanyikan sebuah bait lagu Belanda—jelas dan lengkap,” sambungnya.
Suatu hari, dr Soemarno kedatangan seorang pasien dari pedalaman. Pasien perempuan itu datang bersama anak laki-lakinya. Anak laki-laki Dayak itu, bernama Ipui, tinggal agak lama di rumah Soemarno.
“Ia menjadi teman akrab Mamang. Apalagi waktu Tanjungselor diserang banjir dan air naik sampai lebih dari satu meter, Ipui merupakan pembantu yang cakap sekali menjaga Mamang agar tidak terjatuh ke dalam air,” aku Soemarno.
Namun, Mamang punya banyak teman. Dia bermain bukan hanya dengan Ipui.
“Teman Mamang selain Ipui juga Tuty dan Budiman, anak Pak Boenjamin.”
Selain mereka, ada teman Mamang yang lain. Mereka adalah anak seorang letnan KNIL bernama Boelhouwer, seorang anak Tionghoa, dan anak tukang potret. Mamang juga mendapat “teman” baru di Tanjungselor, yakni Sri Soesilo. Sri adalah adik Mamang yang lahir di Tanjungselor.
Namun, kebahagiaan Mamang bermain bersama mereka mesti usai. Sebab, ia mesti mengikuti ayahnya yang pindah tugas.
Belum tiga tahun berdinas di Tanjungselor, Soemarno dipindahkan tugasnya. Kali ini dia ditempatkan di Kuala Kapuas, sisi selatan Kalimantan. Bersama Armistiani dan Mamang juga Sri Soesilo, Soemarno memulai kehidupan baru lagi si sana.
Namun belum setahun kehidupan baru itu mereka jalankan, tentara Jepang mendarat di Kalimantan. Suasana pun berubah total. Di Kalimantan, tentara Jepang membunuh banyak orang terpelajar. Sebagai pegawai sipil Belanda, tentu keamanan Soemarno terancam. Maka ketika ada kesempatan pulang ke Jawa, Soemarno tak menyia-nyiakannya. Dia bawa anak-istri kembali ke Jawa.
Lagi-lagi, Soemarno dan keluarga kecilnya harus mengalami masa perang tak lama setelah kembali ke Jawa. Revolusi kemerdekaan Indonesia berkecamuk menyusul kekalahan tentara Jepang. Soemarno berada di sekitar Malang ketika itu. Dia telah menjadi dokter tentara antara 1945-1949 dengan pangkat mayor atau letnan kolonel. Namun perang membuat Mamang harus tinggal di rumahsakit tentara demi keamanan.
Mamang tentu bertumbuh dewasa. Namun dia tidak meniru apa yang dilakukan Soemarno, sebagai dokter dan belakangan pejabat pemerintahan (menteri dalam negeri dan gubernur DKI). Selulus SMA, Mamang sejatinya ingin menjadi penerbang namun gagal. Setelahnya, dia bekerja di bidang pelayaran.
Mamang yang bisa bernyanyi sejak usia 2,5 tahun itu belakangan tinggal di daerah Potlot, dekat Kalibata, Jakarta Selatan. Kawasan rumahnya itu kemudian dikenal sebagai tempat berproses bagi beberapa musisi pop Indonesia. Potlot adalah tempat kelahiran Slank, grup band yang didirikan putra-putra Mamang.
Sebagai sesepuh di Potlot, Mamang adalah sosok yang dihormati. The Sidharta’s, band proyekan yang didirikan Bimbim putranya, didedikasikan untuknya. Laki-laki ramah yang suka memakai ikat kepala ala Jawa Timur-an itu sejak dulu tidak takut anak-anaknya menjadi musisi. Bersama istrinya, Iffet Veceha, Mamang tak segan membantu anak-anaknya. Ketika dulu Slank terjebak narkoba, Mamang dan Iffet tak ragu mendampingi. Bahkan terhadap anggota Slank yang lain.
“Kita sebetulnya merangkul mereka. Kalau mereka keliling untuk konser-konser itu, Bunda sama aku selalu ikut. Kita ketok kamarnya. Pokoknya dirangkul,” ujar Sidharta Mangharudin setahun silam ketika ditemui Historia.
Mamang yang tutup usia pada 6 Maret 2024 lalu, bersama istrinya sukses menjaga anaknya. Slank akhirnya punya reputasi band bebas narkoba.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar