Langsa Diancam, Gubernur Hasan Bertindak Cepat
Senjata pasukannya dilucuti, seorang jenderal Jepang mengancam akan hancurkan sebuah kota di pesisir Aceh.
SUATU hari seorang opsir Jepang datang tergesa-gesa menghadap Gubernur Sumatra Teuku Mohammad Hasan. Dia menyampaikan pesan Panglima Tentara Jepang di Pematang Siantar. Isinya, mendesak Hasan supaya meninjau Kota Langsa karena keadaan sangat genting: akan terjadi pertempuran antara pihak militer Jepang dengan para pejuang Indonesia.
“Mengingat kepentingan keamanan umum dan kepentingan negara, maka desakan Jepang ini saya setujui,” kenang Hasan dalam memoarnya Mr. Teuku Hasan dari Aceh ke Pemersatu Bangsa.
Pada 29 Desember 1945, rombongan Hasan berangkat menuju Langsa. Setengah perjalanan tibalah di Kuala Simpang. Hasan menemui pimpinan tentara Jepang, Mayor Jenderal Sawamura. Laporan Sawamura menyebutkan kejahatan orang-orang Langsa. Mereka telah merampas senjata milik Jepang. Padahal, tentara Jepang telah menyerahkan senjatanya kepada TKR, pimpinan Letkol Bachtiar. Selain itu, TKR merampas pula obat-obatan, uang, beras, pakaian, makanan, kendaraan dan kendaraan Jepang.
Baca juga: Yang Terpaksa Jadi Gubernur
Perampasan yang terjadi membuat tentara Jepang siap siaga menggempur Langsa. Moncong meriam telah diarahkan. Sawamura menuntut senjata yang dirampas dikembalikan. Hasan meneruskan perjalanannya ke Langsa.
Tiba di Langsa, Hasan bertemu dengan T. Hasan Ibrahim, pemimpin laskar rakyat. Dari Ibrahim didapati keterangan tentang tindakan Jepang yang kejam dan kasar. Makanya rakyat Aceh dari seluruh penjuru berduyun-duyun ke Langsa. Bersenjatakan tombak, rencong, bambu runcing, mereka hendak menggempur tentara Jepang.
Pada 30 Desember 1945, diadakanlah rapat antara Gubenur Sumatra dengan pemuka rakyat bertempat di rumah asisten residen. Sepanjang jalan dipenuhi oleh laskar rakyat yang membawa aneka senjata tajam. Mereka berjalan sambil melantunkan kalimat syahadat dan ayat-ayat Al- Qur’an.
Baca juga: Ilmu Komandan di Palagan
“Keadaan suasana waktu itu sangat seram dan tegang, seolah-olah hendak menyerbu saja tentara Jepang yang kejam itu,” kata Hasan.Setelah dengar pendapat, Hasan berkesimpulan pertempuran dengan Jepang buang-buang tenaga dan waktu.
Tengah hari, Hasan berangkat dari Langsa menuju Kuala Simpang untuk berunding dengan Sawamura. Reaksi Sawamura tidak disangka-sangka. Dia tetap bersikukuh agar senjata Jepang dikembalikan. Sawamura lantas memanggil opsir-opsirnya dan memberikan perintah. Seorang kolonel yang bertugas sebagai penerjemah memberi tahu Hasan bahwa Sawamura marah. Ultimatum dilontarkan: besok pagi pukul 6 meriam-meriam akan ditembakan ke Kota Langsa sampai hancur. Hasan melobi pihak Jepang untuk mengulur waktu. Waktu tambahan diberikan hingga pukul 12 untuk pengembalian senjata.
Kembali ke Langsa, Hasan bertindak cepat. Dia meminta komandan TKR dan kepala polisi setempat untuk mencari beberapa pucuk senapan rampasan, lalu menyerahkannya langsung kepada Sawamura. Hasan juga membujuk Hasan Ibrahim agar menyerahkan senjata yang dirampas oleh para laskar. Mendengar anjuran Hasan, Ibrahim menyadari bahaya yang akan menimpa Kota Langsa. Dia berjanji menyerahkan beberapa pucuk senjata kepada Hasan untuk dikembalikan kepada pihak Jepang.
Baca juga: Perang Salib Zaman Revolusi
Pagi hari, tanggal 31 Desember 1945, sudah terkumpul puluhan pucuk senapan di kediaman Hasan. Pukul 9 pagi, semua barang itu diantar oleh staf Hasan, Abdul Xarim MS ke Kuala Simpang. Sebelum jam 12, sampailah senjata rampasan itu kepada pihak Jepang. Kepada rakyat di Langsa, Hasan memberi penjelasan tentang keputusannya untuk mengembalikan senjata rampasan. Maka terhindarlah Kota Langsa dari amukan balatentara Jepang.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar