Kisah Persahabatan Bung Karno dengan Seorang Pelayan
Selama pengasingan di Brastagi, Presiden Sukarno menyerahkan keselamatan nyawanya kepada seorang lelaki muda dan istrinya.
Rabu, 22 Desember 1948. Pagi sebentar lagi berakhir menyambangi Pulau Sumatra, ketika iring-iringan konvoi 6 kendaraan militer Belanda memasuki Pesanggrahan Brastagi. Setelah berhenti di depan gedung pesanggrahan, tiga orang Indonesia terlihat turun dari salah satu mobil. Mereka adalah para pemimpin Republik Indonesia (RI): Presiden Sukarno, Penasehat Presiden Sutan Sjahrir dan Menteri Luar Negeri Haji Agus Salim.
Para pelayan cepat menyongsong. Karno Sobiran, salah satu dari mereka, langsung membawakan kopor Bung Karno menuju kamar nomor satu. Usai meletakan kopor di kamar utama, dia lantas mengambil minuman untuk disuguhkan kepada Bung Karno.
“Siapa namamu?” tetiba Bung Karno bertanya dalam nada ramah.
“Karno, Pak,” jawab pelayan muda itu.
“Lho kok pakai nama saya?”
“Kebetulan saja, Pak.”
Bung Karno tersenyum sambil mengangguk-anggukan kepala. Sejak itulah, sang pelayan menjadi orang kepercayaan Presiden RI selama dirinya ditawan Belanda di Brastagi. Karno masih ingat jika setiap pagi presiden-nya itu memiliki kebiasaan jalan kaki mengitari pesanggrahan. Anehnya dia selalu melakukannnya sendiri saja. Memang kadang-kadang sekali didampingi Haji Agus Salim namun tak terlihat sama sekali jalan bersama Sjahrir.
“Malah dia seringnya mengajak saya,” ujar Karno kepada jurnalis terkemuka di Medan, Muhammad TWH.
Karno ingat bagaimana penjagaan begitu ketat saat itu. Di sekeliling pesanggrahan ditempatkan beberapa senapan mesin lengkap dengan pengawalan ratusan serdadu Belanda. Para serdadu itu sebagian besar adalah orang Indonesia juga.
“Pak, itu bagaimana, tentara yang menjaga Bapak kebanyakan bangsa kita juga?” tanya Karno saat suatu hari dirinya tengah memijit kaki Bung Karno di kamarnya. Mendengat pertanyaan Karno itu, Si Bung Besar hanya tersenyum.
“Tak apa, No. Mereka tidak mengerti. Sebetulnya mereka yang menjadi tentara Belanda itu diambil oleh Belanda dari bekas romusha Jepang,” jawab Bung Karno seperti dikutip Muhammad TWH dalam bukunya Pemimpin Republik Ditawan Belanda di Brastagi dan Prapatan.
Baca juga: Mereka Ingin Sukarno Mati
Bung Karno juga sering menanamkan rasa nasionalisme ke dalam diri Karno Sobiran. Lewat cerita pengalaman-pengalamannya saat melawan pemerintah Hindia Belanda pada era 1930-an, dia kerap mendorong sang pelayan muda untuk tidak menyerah sebagai bangsa terjajah.
“Ketahulah No, kita ini merdeka karena memang berkah dari Allah…”ujar Sukarno.
Karena sering rajin mendengar “kuliah” dari Bung Karno, tak aneh jika Karno kemudian menjadi sangat loyal terhadap Si Bung Besar. Rasa bakti dan kecintaannya kepada Bung Karno dia tularkan juga kepada istrinya yang bernama Saniah.
Dalam otobiografinya Bung Karno Penjambung Lidah Rakjat Indonesia yang disusun oleh Cindy Adams, Sukarno sempat sekilas mengisahkan soal hubungan baiknya dengan para pelayan di Brastagi.Tanpa menyebut nama, Sukarno menyebutkan jasa Saniah yang selalu melayani makan dan minumnya. Saniah pula yang suatu hari memberinya kabar buruk.
Baca juga: Ketakutan Bung Karno
Suatu hari Saniah datang ke kamar Sukarno dengan tergopoh-gopoh. Dalam wajah yang terlihat sangat ketakutan, dia lantas memberitahu Bung Karno soal peristiwa yang baru saja dialaminya di dapur.
“Saya tadi menanyakan apa yang akan saya masak untuk bapak besok dan opsir yang bertugas menyatakan: tidak perlu. Sukarno akan dihukum tembak besok pagi,”ungkapnya.
Mendengar laporan itu, keringat dingin keluar dari sekujur tubuh Sukarno. Malam itu dia sama sekali tak bisa tidur memikirkan kata-kata Saniah. Namun kemudian terbukti, rencana penembakan itu tak pernah terjadi sama sekali. Entah pihak Belanda membatalkannya atau itu tak lebih hanya upaya mereka untuk menyiksa mental Sukarno.
Tentang ancaman pembunuhan itu, Karno sendiri mengaku pernah diperintahkan oleh seorang opsir Belanda untuk menuangkan racun ke dalam makanan yang akan dihidangkan untuk Bung Karno. Namun perintah itu ditolaknya mentah-mentah. Dalam bahasa Belanda, Karno malah mengumpat-umpat si perwira tersebut.
“Entah kenapa, saat itu saya sama sekali tak merasa takut. Kalau pun kemudian mereka marah dan saya ditembaknya, saya sudah rela dan ikhlas…”kenang Karno.
Soal kisah itu, Karno sama sekali tak pernah menceritakannya kepada siapa pun termasuk kepada Bung Karno. Dia khawatir jika itu disampaikan kepada Si Bung Besar, maka dia akan berkecil hati.
“Tapi saya yakin, Bung Karno telah memiliki firasat bahwa dirinya akan diracun oleh Belanda,” ujar Karno.
Ketiga tawanan Belanda itu memang tak lama diasingkan di Pesanggrahan Brastagi. Setelah 12 hari di sana, Belanda kemudian memindahkan mereka ke Prapat, suatu wilayah dekat Danau Toba. Saat akan meninggalkan Brastagi, Karno masih ingat Presiden Sukarno mendekatinya. Sambil menepuk bahu Karno, dia mengucapkan terimakasih atas segala bantuan Karno dan Saniah.
“No…Jangan tinggalkan shalat ya,” bisiknya sebelum masuk mobil yang membawa dia ke Prapat.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar